JAKARTA – Kasus mengejutkan kembali mencuat dari dunia bantuan sosial (bansos). Sebanyak 571 ribu penerima bansos tercatat terlibat dalam aktivitas judi online, berdasarkan hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Data ini mencuat usai PPATK mencocokkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) para penerima bansos dengan data transaksi perbankan di salah satu bank BUMN. Hasilnya, ratusan ribu NIK penerima bansos justru aktif bermain judol—judi online yang kini makin meresahkan.
“Baru dari satu bank saja sudah terdeteksi 571 ribu NIK penerima bansos terlibat judi online. Bahkan, ada yang terkait korupsi dan pendanaan terorisme,” ungkap Kepala PPATK Ivan Yustiavandana di Kompleks Parlemen, Kamis (10/7/2025).
Temuan ini langsung memicu gelombang keprihatinan publik. Pasalnya, dana bansos seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin—seperti makan, pendidikan, hingga biaya kesehatan—alih-alih malah disalurkan ke situs judi daring.
Ironi ini kian menyakitkan mengingat bansos adalah program perlindungan sosial pascapandemi, yang menyasar kelompok rentan dan prasejahtera.
Merespons laporan ini, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menegaskan pemerintah tidak akan tinggal diam. Penelusuran intensif tengah dilakukan, dan sanksi siap dijatuhkan.
“Para pengguna bansos untuk judi online akan kita beri sanksi. Bisa pengurangan bantuan, bisa juga dicabut hak bantuannya,” tegasnya, Minggu (13/7/2025).
Cak Imin juga memperingatkan seluruh penerima bantuan agar tidak main-main dengan uang negara yang diberikan untuk kesejahteraan rakyat.
“Jangan digunakan untuk judi online. Kita akan telusuri 500 ribu orang itu,” katanya tegas.
Dukungan atas tindakan tegas pemerintah datang dari legislatif. Ketua DPR RI Puan Maharani mendorong evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme bansos.
“Kalau dipakai untuk judi online, itu sudah menyimpang. Pemerintah harus perbaiki sistem verifikasinya,” ujar Puan dalam keterangan pers.
Kasus ini menunjukkan lemahnya verifikasi data dan minimnya pengawasan dalam sistem distribusi bansos. Ketidaktepatan sasaran, lemahnya evaluasi, serta tidak terintegrasinya sistem lintas lembaga membuat celah penyalahgunaan makin terbuka.
Tak hanya berpotensi membocorkan keuangan negara, fenomena ini juga memperparah ketimpangan sosial dan merusak fondasi moral kebijakan sosial pemerintah.
Momen ini seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk melakukan reformasi total terhadap tata kelola bansos: mulai dari sistem verifikasi berbasis NIK yang lebih ketat, integrasi dengan perbankan, hingga pemantauan digital terhadap penggunaan dana bantuan.
Tanpa pembenahan serius, uang rakyat akan terus mengalir ke praktik ilegal—meninggalkan kelompok rentan dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung selesai.(*)
Add new comment