Tenaga Ahli Gubernur Jambi, Arpani M.Si, membeberkan analisis tajam soal penyebab defisit APBD Provinsi Jambi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Dalam paparannya di Diskusi Rabuan Series bertema “Menavigasi Tekanan Fiskal”, Arpani menyebut defisit merupakan gabungan antara kegagalan teknokratis dan tekanan politik.
Menurut Arpani, 60–70 persen pendapatan Jambi masih bergantung pada dana transfer pusat. Kinerja PAD dinilai stagnan, digitalisasi pemungutan belum optimal, dan banyak potensi pendapatan belum tergarap.
“Ketergantungan pusat ditambah lemahnya optimalisasi PAD menciptakan risiko fiskal yang terus berulang,” ujarnya.
Belanja pegawai mendominasi 30–40 persen APBD, sementara program multiyears dan belanja populis menjadi beban jangka panjang. Arpani juga menyoroti proyeksi pendapatan yang tidak realistis serta lemahnya koordinasi antara Bappeda, BPKAD, dan OPD.
Kondisi ini diperparah oleh infrastruktur multiyears yang mempersempit ruang fiskal dan kewajiban Dana Bagi Hasil (DBH) ke kabupaten/kota yang kerap tertunda.

Fluktuasi harga komoditas unggulan seperti CPO dan batubara serta inflasi energi turut memicu pembengkakan biaya proyek (cost overrun). Menjelang pilkada, belanja sosial populis dan dorongan DPRD untuk program aspiratif non-prioritas disebut memperparah tekanan anggaran.
Sebagai solusi, Arpani menawarkan “jalan reformasi fiskal daerah” yang meliputi:
- Perencanaan berbasis proyeksi realistis.
- Penguatan kelembagaan pemungut PAD.
- Efisiensi belanja dan pengendalian proyek multiyears.
- Digitalisasi PAD secara menyeluruh.
- Menjadikan disiplin fiskal sebagai budaya, bukan sekadar formalitas.
“Ketergantungan pusat plus belanja ambisius adalah ketidakseimbangan struktural yang harus dibenahi lewat reformasi menyeluruh,” tegasnya.(*)
Add new comment