Aksi ribuan warga Pati 13 Agustus 2025 memicu DPRD sepakat gunakan hak angket untuk menyelidiki Bupati Sudewo. Gerindra dan PKB, partai pengusung Sudewo, ikut mendukung langkah pemakzulan. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa motif politiknya? Siapa yang diuntungkan?
***
Aksi unjuk rasa besar terjadi di Alun-alun Pati, Rabu kemarin 13 Agustus 2025. Ribuan warga dari berbagai elemen masyarakat turun gunung. Demonstrasi ini dipicu serangkaian kebijakan kontroversial Bupati Pati, Sudewo, yang memicu kemarahan publik.
Pemicu awalnya adalah keputusan Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%, pajak yang tak pernah naik selama 14 tahun. Kebijakan ini dianggap memberatkan ekonomi rakyat dan menuai protes keras.
Alih-alih meredam situasi, Sudewo sempat menyampaikan pernyataan bernada menantang dengan mempersilakan warga melakukan demo, berapa pun massanya.
“Siapa yang akan melakukan aksi? … Jangan hanya 5.000, 50 ribu pun silakan. Saya tidak akan gentar,” ujarnya tegasnya.
Pernyataan itu lalu viral dan ditafsirkan sebagai tantangan terbuka kepada rakyat. Pernyataan ini melecut emosi masyarakat dan mendorong semakin banyak warga turun ke jalan. Meskipun Sudewo kemudian mencabut kenaikan pajak dan meminta maaf secara terbuka, ia mengklarifikasi bahwa ia “tidak bermaksud menantang rakyat”. Tapi, kepercayaan publik telanjur terkikis. Warga tetap melanjutkan rencana demonstrasi dan bahkan meluaskan tuntutan mereka.
Selain isu pajak, fokus protes meluas ke berbagai kebijakan lain yang dinilai merugikan warga. Panitia aksi melaporkan sekitar 25 ribu orang telah mengonfirmasi keikutsertaan dalam demonstrasi besar ini.
Massa terdiri dari beragam kelompok, mulai dari petani dan warga desa, kalangan tenaga pendidikan, hingga tokoh agama dan aktivis lokal. Hal ini tercermin dalam lima tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi 13 Agustus 2025, yaitu: (1) mendesak Sudewo turun dari jabatan Bupati, (2) menolak penerapan lima hari sekolah (kebijakan sekolah 5 hari dinilai meresahkan sebagian masyarakat), (3) menolak renovasi Alun-alun Pati beranggaran Rp2 miliar (dianggap pemborosan tidak mendesak), (4) menolak pembongkaran total Masjid Jami’ Alun-alun Pati yang bersejarah, dan (5) mempersoalkan proyek videotron senilai Rp1,39 miliar.
Bahkan, ratusan mantan pegawai RSUD Soewondo Pati turut hadir menuntut dipekerjakan kembali. Kombinasi banyak isu inilah yang membuat aksi massa kian membesar secara signifikan.
Pada hari aksi, kondisi semula damai berubah ricuh menjelang siang. Kepolisian mengungkap adanya “kelompok lain” yang menyusup di tengah demonstrasi dan memicu kericuhan. Sekitar pukul 10.30 WIB, menurut Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto, muncul sekelompok orang tak dikenal yang melakukan tindakan anarkis.
Mereka melempari aparat dengan batu, botol minuman, buah busuk, hingga tongkat. Provokasi inilah yang membuat situasi memanas dan chaos tak terhindarkan. Polisi sudah berupaya persuasif mencegah aksi anarkis, namun kelompok provokator tersebut tidak menghiraukan imbauan.
Akibat bentrokan, 34 orang terluka (termasuk 7 polisi) dan polisi menahan 11 orang yang diduga provokator penyusup. Hingga kini, pihak berwenang belum mengungkap asal-usul “kelompok lain” ini. Keberadaan provokator menyiratkan bahwa ada upaya mobilisasi pihak tertentu yang menunggangi aksi damai untuk menciptakan kekacauan.
Lawan Politik Sudewo dalam Pilkada Pati 2024
Sudewo naik menjadi Bupati Pati periode 2025-2030 setelah menang dalam Pilkada Serentak 27 November 2024. Pada pilkada itu, ia berpasangan dengan Risma Ardhi Chandra sebagai calon Wakil Bupati, dan diusung koalisi besar 8 partai (Gerindra, PKB, NasDem, PSI, Golkar, Gelora, Perindo, PKN). Sudewo-Risma meraih 53,5% suara, mengungguli dua paslon lawan.
Adapun lawan-lawan politik Sudewo dalam Pilkada Pati 2024 adalah sebagai berikut:
- Paslon Nomor 2: Wahyu Indriyanto – Suharyono. Pasangan ini memperoleh posisi runner-up dengan 42,8% suara sah. Wahyu Indriyanto adalah figur lokal yang menjabat Kepala Desa Gadingrejo, Kecamatan Juwana, sebelum maju pilkada. Ia diusung oleh koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bersama Partai Demokrat dan PKS, dengan dukungan juga dari mantan Bupati Pati dua periode, Haryanto. Kehadiran Haryanto (eks bupati 2011-2022) sebagai pengarah tim sukses Wahyu mengindikasikan kubu ini didukung jejaring kekuatan politik lama Pati. Suharyono, calon Wakil Bupati pasangan Wahyu, adalah birokrat senior. Ia pernah menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pati (2017-2021). Profil duet ini merepresentasikan kombinasi tokoh pemerintahan desa dan birokrasi daerah, dengan Wahyu sebagai kader PDIP lokal yang disokong pula oleh Demokrat dan PKS. Koalisi PDIP-Demokrat-PKS bagi Wahyu-Suharyono memiliki basis 14 kursi PDIP, 5 kursi Demokrat, 5 kursi PKS di DPRD Pati (total 24 kursi), menjadikannya penantang kuat meski akhirnya kalah suara rakyat.
- Paslon Nomor 3: Budiyono – Novi Eko Yulianto. Pasangan ini meraih posisi buncit dengan perolehan sekitar 3,7% suara saja. Budiyono bukan nama baru di kancah politik Pati. Ia adalah Wakil Bupati Pati periode 2012-2017 (mendampingi Bupati Haryanto pada periode pertama). Budiyono maju lagi di 2024 sebagai calon Bupati dengan dukungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PAN. Afiliasi politiknya lekat dengan PPP, partai Islam tradisional yang cukup berpengaruh di Pati (PPP memiliki 6 kursi DPRD Pati). Novi Eko Yulianto, calon wakilnya, adalah figur muda yang menjabat Kepala Desa Jakenan, Pati. Kombinasi Budiyono–Novi merepresentasikan unsur mantan pejabat daerah berpadu tokoh desa. Kendati hanya didukung dua partai (PPP dan PAN) dan perolehan suara mereka kecil, kehadiran paslon ini penting dicatat karena basis massanya mungkin berasal dari konstituen muslim tradisional dan jaringan Budiyono semasa menjabat wabup.
Wahyu Indriyanto (Kades, kini politisi PDIP) dan Budiyono (mantan Wabup, tokoh PPP) adalah dua lawan politik utama Sudewo dalam Pilkada 2024. Wahyu-Suharyono diusung oleh koalisi PDIP-Demokrat-PKS, sedangkan Budiyono-Novi oleh PPP-PAN.
Keduanya kalah dari Sudewo-Risma yang didukung koalisi Gerindra, PKB, NasDem, Golkar, dan lainnya. Dalam pilkada, Sudewo sendiri dikenal sebagai kader Partai Gerindra (ia mantan anggota DPR RI Fraksi Gerindra), sementara wakilnya Risma Ardhi Chandra bergabung ke PKB sesaat sebelum pencalonan dan mewakili unsur Nahdliyin dalam duet tersebut. Kontestasi Pilkada Pati 2024 mempertemukan blok Gerindra-PKB (Sudewo-Risma) melawan blok PDIP cs (Wahyu-Suharyono) dan blok PPP cs (Budiyono-Novi).
Motif Politik?
Hanya beberapa jam setelah massa menduduki gedung dewan, DPRD menggelar rapat paripurna kilat dan dengan suara bulat menyepakati penggunaan hak angket dan pembentukan Pansus pemakzulan Bupati Sudewo. Langkah DPRD ini dikomandoi oleh fraksi-fraksi oposisi (PDIP, PPP, Demokrat, PKS) yang dominan.
Bahkan, fraksi partai pendukung Sudewo pun ikut menyetujui (Gerindra, PKB, Golkar). Kesepakatan bulat ini menunjukkan bahwa elite politik di sana sepakat “menggoyang” Sudewo, terlepas dari partai asalnya, seiring derasnya tuntutan rakyat.
Sekretaris Fraksi PDIP DPRD Pati, Danu Iksan, terang-terangan menyatakan paripurna angket digelar untuk menjawab tuntutan massa di depan kantor bupati.
Mantan Bupati Haryanto (yang dekat dengan PDIP dan mendukung Wahyu) kemungkinan memiliki pengaruh terhadap aparatur dan jejaring masyarakat yang dulunya loyal padanya. Tidak tertutup kemungkinan jaringan ini memberikan dukungan moril terhadap aksi protes, mengingat banyak mantan pejabat dan pegawai daerah yang ikut turun ke jalan setelah posisinya tergeser oleh kebijakan Sudewo.
Fakta bahwa massa berhasil menduduki gedung DPRD dan menunggu sidang paripurna menunjukkan adanya koordinasi, oposisi di dewan pun “melayani” massa dengan segera mengetok hak angket. Sinkronisasi tuntutan di jalan dan manuver di dewan ini mengindikasikan oposisi politik ikut mengorkestrasi ritme tekanan terhadap Sudewo.
Partai Pendukung Sudewo Berbalik Dukung Hak Angket dan Pemakzulan
Salah satu yang mencolok dari krisis politik Pati 2025 adalah retaknya solidaritas partai-partai pengusung Sudewo. Partai Gerindra dan PKB, dua partai utama yang mengusung Sudewo-Risma di pilkada, justru ikut menyetujui hak angket di DPRD untuk menyelidiki kebijakan Bupati. Bahkan Gerindra, partai Sudewo sendiri, menyatakan menghargai penuh keputusan DPRD Pati yang menyetujui hak angket dan pansus pemakzulan tersebut. Apa yang menyebabkan partai pendukung berbalik arah sejauh itu?
Para wakil partai di DPRD Pati menyebut langkah hak angket diambil demi menjalankan mekanisme demokrasi dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Pimpinan DPRD Pati menyatakan keputusan bulat di paripurna hak angket diambil.
“menimbang banyak masyarakat yang terluka dan mencermati kondisi di masyarakat saat ini,” ujarnya.
Artinya, tekanan massa dan kegaduhan publik dijadikan landasan bagi semua fraksi, termasuk Gerindra dan PKB, untuk mendukung investigasi terhadap Bupati.
Fraksi Gerindra melalui anggotanya, Yeti, berpendapat hak angket diperlukan untuk menjamin transparansi pemerintahan dan memulihkan kondusivitas Pati sebagai Bumi Mina Tani. Adapun Fraksi PKB melalui anggota Mahdun secara tegas menilai kebijakan Bupati tidak berpihak kepada masyarakat, merujuk pada polemik kenaikan PBB yang meski sudah dibatalkan tetap menimbulkan kegaduhan.
Kedua partai ini mengakui bahwa Sudewo telah membuat kesalahan serius yang memicu keresahan luas, sehingga perlu sikap tegas demi kepentingan rakyat.
Partai pendukung juga mempertimbangkan bahwa prosedur harus ditegakkan. Wakil Sekretaris Dewan Syuro PKB, Maman Imanulhaq, mengingatkan bahwa pemakzulan kepala daerah tidak boleh dilakukan secara vandalis atau inkonstitusional, melainkan harus melalui mekanisme demokrasi di DPRD dan institusi terkait.
Ucapan ini merujuk pada situasi di Pati, di mana desakan mundur muncul dari “people power”. Maman menegaskan tekanan massa semata tidak cukup untuk menjatuhkan kepala daerah. Ada tata cara yang harus diikuti. Pernyataan ini sekaligus sinyal bahwa PKB mendukung langkah konstitusional (hak angket) ketimbang membela Sudewo secara buta.
Ia juga mengapresiasi bahwa Sudewo sudah minta maaf dan mencabut kebijakan kontroversial, namun tetap menekankan pentingnya komunikasi politik yang baik agar gejolak tak terjadi lagi. Secara implisit, PKB pusat memberi lampu hijau kepada kader-kadernya di Pati untuk mengambil sikap demi menyelamatkan situasi, bukan sekadar membela kepala daerah dari partainya.
Dari sisi Gerindra, teguran internal ternyata sudah pernah diberikan kepada Sudewo sebelum situasi memburuk. Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Bahtra Banong, mengungkap bahwa partainya telah menegur dan meminta Bupati Sudewo untuk meminta maaf terkait pernyataan-pernyataannya yang menjadi polemik di masyarakat.
Hal ini mengacu pada ucapan Sudewo yang viral menantang warga demo. Gerindra pusat tampaknya menyadari sejak dini bahwa citra Sudewo memburuk, sehingga menginstruksikan perbaikan sikap. Namun, ketika krisis memuncak, Gerindra tidak menghalangi fraksinya di DPRD Pati mendukung angket.
Bahtra Banong menyatakan tidak mempermasalahkan keputusan Fraksi Gerindra di Pati untuk ikut Pansus angket, karena hak angket justru akan menjadi forum klarifikasi bagi Bupati atas segala isu. Sikap ini menegaskan bahwa Gerindra mengutamakan penegakan mekanisme ketimbang membela figur, apalagi jika figur tersebut dinilai “kebijakannya tidak pro-rakyat dan menimbulkan kegaduhan”.
Beberapa faktor lain mengapa Gerindra dan PKB berbalik arah mendukung pemakzulan, adalah komunikasi politik Sudewo yang buruk. Dalam beberapa bulan awal memimpin (dilantik Februari 2025), Sudewo telah menelurkan sejumlah kontroversi (PBB 250%, wacana 5 hari sekolah, proyek mercusuar seperti videotron, dsb).
Partai koalisi menilai kesalahan Sudewo terlalu berat untuk ditutupi. Apalagi, terdapat isu dugaan pelanggaran sumpah jabatan, seorang anggota DPRD dari Demokrat, Joni Kurnianto, menuding Sudewo melanggar sumpah jabatan Bupati sehingga layak diangket.
Hal ini terkait keputusan sepihak Sudewo dalam pengisian jabatan Direktur RSUD Soewondo dan pergeseran anggaran 2025 tanpa konsultasi luas. Tindakan semacam itu tentu membuat tidak nyaman bukan hanya oposisi, tapi juga partai pendukung jika mereka merasa tak dilibatkan. Hak angket dianggap perlu untuk menyelidiki kebijakan-kebijakan tersebut demi transparansi.
Patut dicatat, peta politik DPRD Pati pasca Pemilu Legislatif 2024 ternyata tidak menguntungkan koalisi Sudewo. Total 50 kursi DPRD Pati dikuasai PDIP (14), PPP (6), Demokrat (5), PKS (5), Gerindra (6), PKB (6), Golkar (5), NasDem (3). Partai-partai pengusung Sudewo (Gerindra, PKB, Golkar, NasDem) hanya mengumpulkan 20 kursi, kalah suara dari kombinasi oposisi.
Artinya, walau koalisi besar di eksekutif, Sudewo minoritas di legislatif. Dengan kondisi demikian, Gerindra dan PKB di DPRD mungkin menyadari percuma bertahan melawan arus, karena toh oposisi punya cukup suara (30 kursi) untuk menggulirkan angket. Daripada terpental dan terisolasi, lebih strategis bagi fraksi Gerindra-PKB untuk ikut arus oposisi, dengan harapan masih bisa memengaruhi isi penyelidikan pansus dari dalam, ketimbang memblokir sia-sia.
Di tengah panasnya demonstrasi 13 Agustus, muncul kabar nasional yang menambah beban Sudewo. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa Sudewo saat menjadi anggota DPR RI diduga turut menerima aliran dana suap proyek pembangunan jalur kereta api (kasus korupsi di Dirjen Perkeretaapian Kemenhub). KPK membuka kemungkinan memanggil Sudewo untuk dimintai keterangan.
Partai Gerindra pusat pun langsung mengomentari isu ini tanpa membela Sudewo, menunggu perkembangan penyidikan KPK. Ini sinyal kuat bahwa Gerindra siap melepas Sudewo jika terbukti bermasalah hukum, sehingga tak keberatan DPRD mengusutnya di level daerah.
Singkatnya, partai-partai pendukung Sudewo ikut mendukung hak angket dan wacana pemakzulan karena kombinasi tekanan rakyat, kesadaran akan kesalahan kebijakan Sudewo, kalkulasi politik di DPRD, serta kekhawatiran skandal yang mencuat. Semua faktor itu membuat biaya politik mempertahankan Sudewo lebih tinggi daripada melepasnya. Dengan mendukung hak angket, Gerindra dan PKB mencoba berdiri di sisi konstitusi dan rakyat, alih-alih tenggelam bersama figur yang tengah kehilangan legitimasi.
Merenggangnnya hubungan Bupati dan dewan terjadi akibat faktor komunikasi politik Sudewo yang buruk. Beberapa elit partai daerah barangkali tersinggung dengan gaya Sudewo. Contohnya, Sudewo dikenal enggan berkonsultasi dengan DPRD soal kebijakan krusial (terlihat dari isu pergeseran anggaran sepihak dan pengangkatan pejabat tertentu yang dipersoalkan PKS/Demokrat).
Hal ini bisa menciptakan jarak dengan tokoh Gerindra/PKB lokal. Maka ketika Sudewo tersudut, mereka tidak punya beban emosional untuk meninggalkannya. Malah, ini jadi momen menegaskan bahwa partai bukan sekadar “stempel” Bupati, tapi punya sikap ketika Bupati menyimpang.
Bagaimana dengan Jambi? Apakah hubungan Kepala daerah dan legislatif baik-baik saja?
Jika Bupati Sudewo dimakzulkan melalui mekanisme hak angket DPRD → rekomendasi DPRD → persetujuan Gubernur → penetapan Mendagri, maka sesuai ketentuan Pasal 78 dan 79 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, jabatan Bupati yang kosong akan digantikan oleh Wakil Bupati untuk sisa masa jabatan.
Dalam kasus Pati saat ini, Wakil Bupati Pati adalah Risma Ardhi Chandra, kader PKB yang menjadi pasangan Sudewo pada Pilkada 2024.
Jika Sudewo diberhentikan secara tetap (bukan cuti atau nonaktif sementara), maka Risma otomatis akan dilantik menjadi Bupati Pati definitif hingga akhir periode 2025–2030.(*)
Comments
Setuju dprd Kab. Pati, menggunakan Hak Angket !
Untuk Contoh dan Pelajaran bagi Pejabat yg se-mena2 bagi daerah lainnya di Indonesia.
Add new comment