Reputasi Bengawan Kamto, tokoh bisnis papan atas di Jambi, kini berada di ujung tanduk. Dari showroom Hino dan Yamaha, hotel bintang empat, hingga pabrik kelapa sawit, jejaring bisnisnya terentang luas. Tapi pada 22 Juli 2025, langkah bisnisnya tergelincir ke ranah hukum. Kejaksaan Tinggi Jambi menetapkannya sebagai tersangka keempat dalam perkara dugaan korupsi fasilitas kredit Bank BNI senilai Rp 105 miliar.
Tak main-main. Kredit investasi dan modal kerja yang seharusnya digunakan untuk membangun pabrik kelapa sawit dan mendanai kemitraan dengan petani, justru diduga menyimpang. Dana cair, pabrik berdiri setengah jalan, dan yang tersisa hanyalah jejak laporan serta dokumen yang belakangan ditengarai penuh manipulasi.
Bengawan Kamto dikenal sebagai Presiden Komisaris Swiss-Belhotel Jambi, hotel elite yang kerap menjadi tempat menginap para pejabat dan pebisnis. Bengawan Kamto tak pernah membayangkan akan menghabiskan hari-hari di Lapas Kelas IIA Jambi. Yuniornya, Victor Gunawan, yang tercatat sebagai manager di Swissbell Hotel dan Direktur di PT PAL itu, sudah duluan menjadi penghuni Lapas di kasus yang sama.
Itulah kenyataannya. Surat Perintah Penahanan dikeluarkan pada 22 Juli 2025. Pria dengan portofolio bisnis mengilap itu kini menjalani masa tahanan 20 hari pertama. Kamto dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara panjang.
Statusnya sebagai Komisaris Utama PT Prosympac Agro Lestari (PT PAL) membuatnya tak bisa lepas tangan. Penyidik meyakini, ia tahu dan turut mengatur proses pengajuan serta pencairan dana.
PT PAL, yang dalam berbagai publikasi mengusung mimpi membangun pabrik CPO berkapasitas 45 ton per jam di Sungai Gelam, menggandeng petani dalam skema kemitraan. Visi perusahaan indah, inklusif, berkelanjutan, dan mensejahterakan 12 ribu petani kecil.
Realitasnya berbelok. Dana pinjaman dari Bank BNI diduga tidak digunakan sebagaimana rencana. Tiga orang telah lebih dulu ditahan, mantan direktur PT PAL, pejabat internal, dan manajer bisnis BNI Palembang. Semua menambah kuat dugaan adanya persekongkolan.
Kejati Jambi bahkan menyita pabrik sawit PT PAL di Desa Sidomukti. Aset strategis yang sempat dipromosikan sebagai “kebanggaan” itu kini menjadi barang bukti penyidikan.
Sebelum Bengawan Kamto ditahan, polemik lain sempat meletup. Pihak swasta bernama PT MPPJ melakukan pengambilalihan paksa terhadap pabrik PT PAL. Mereka menunjukkan perjanjian pengikatan jual beli, lengkap dengan klausul kontroversial.
Pihak pembeli berjanji membantu menyelesaikan perkara hukum di Kejaksaan. Sementara PT MMJ, pihak yang mengklaim membeli pabrik sah berdasarkan putusan pengadilan, merasa kecolongan. Perseteruan bisnis menjadi teater terbuka. Semuanya terjadi saat proses hukum tengah berjalan.
Tidak sedikit yang menyebut Bengawan Kamto sebagai “Raja Otomotif Jambi”. Ia mengendalikan PT Jaya Indah Motor (JIM), diler Hino dan Suzuki, dan juga PT Selaras Jaya Indah Motor, penguasa distribusi Yamaha. Tapi kini, bayang-bayang kasus korupsi mulai mengintai bisnis-bisnis itu. Investor diam-diam menunggu. Reputasi goyah bisa berdampak domino, pelanggan resah, karyawan gelisah, mitra enggan melanjutkan kerjasama.
Fakta menarik lainnya, pada 27 Maret 2024, Kamto dan istrinya tercatat menjual seluruh saham mereka di PT Wahana Jaya Indah Jambi (WJIJ), perusahaan otomotif yang mereka dirikan, kepada dua pihak, yakni PT Wahana Wirawan dan PT Indomobil Wahana Trada. Dokumen resmi Indomobil.com menyebutkan, transaksi ini bagian dari restrukturisasi bisnis yang disetujui RUPS WJIJ.
WJIJ adalah salah satu diler kendaraan terbesar di Jambi. Apakah penjualan ini sekadar keputusan korporasi biasa? Atau pertanda bahwa Kamto sedang “bersih-bersih” portofolio sebelum badai datang? Belum ada jawaban pasti. Tapi waktu penjualan dan penetapan tersangka BK hanya terpaut 4 bulan.
Kasus ini menunjukkan bisnis sebesar apapun rapuh bila tata kelola keuangannya tidak transparan. Kredit sebesar Rp 105 miliar bukan angka kecil. Jika penyimpangan benar terjadi, maka bukan hanya hukum yang bicara, tapi juga kepercayaan pasar.
Bank pelat merah seperti BNI kini ikut jadi sorotan. Bagaimana mungkin fasilitas kredit sebesar itu cair tanpa verifikasi ketat? Apakah ada kecolongan? Atau... lebih dari itu?
Langkah Kejati Jambi menahan komisaris utama perusahaan, menyita aset, dan menyelidiki jaringan internal menunjukkan gelombang baru penegakan hukum. Tak peduli sebesar apa gurita bisnisnya, jika dasar pijaknya rapuh, maka ia akan ambruk oleh bobotnya sendiri.(*)
Add new comment