Oleh: Prof. Mukhtar Latif, MPd.
(Ketua ICMI Orwil Jambi - Guru Besar UIN STS Jambi)
Fenomena Kafe di Jambi
Beberapa tahun terakhir, Kota Jambi mengalami fenomena unik: ledakan jumlah kafe. Dari pusat kota hingga ke pinggiran, bangunan-bangunan dengan desain industrial, minimalis, atau bertema alam tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Kafe tak lagi sekadar tempat menyeruput kopi, tetapi telah bertransformasi menjadi ruang komunal multifungsi.
Tren ini tidak luput dari perhatian media lokal. Jambi Ekspres, misalnya, menyoroti isu ini dalam artikelnya yang mempertanyakan, "Café di Jambi Semakin Banyak, Tren Asyik atau Mulai Kelewatan?" (Anonim, 2025). Pertanyaan ini menggarisbawahi kegamangan publik antara menyambut tren gaya hidup baru yang "asyik" atau menganggapnya sebagai ekses yang "berlebihan." Data menunjukkan bahwa puluhan kafe baru bermunculan dalam rentang waktu 2022–2023, dengan banyak yang bertahan karena sukses menarik perhatian segmen pasar utama: Generasi Z. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran budaya yang signifikan, di mana kafe menjadi panggung bagi budaya pop dan ruang ekspresi bagi Gen Z.
Konsep dan Sejarah Kafe di dunia
Secara historis, kafe di Eropa abad ke-17 dikenal sebagai "sekolah sepeser pun," tempat para intelektual dan filsuf berkumpul untuk bertukar ide dan berdebat (Habermas, 1989, hlm. 36). Konsepnya adalah "ruang publik ketiga" (third place), tempat netral di luar rumah (pertama) dan tempat kerja/sekolah (kedua), yang berfungsi sebagai wadah interaksi sosial dan diskusi publik (Oldenburg, 1999).
Kafe di Jambi saat ini mengadopsi konsep tersebut, namun dengan sentuhan modern dan digital. Desainnya yang "Instagramable" dan fasilitas Wi-Fi super cepat bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan dasar. Konsep ini menjembatani warisan fungsi sosial kafe dengan tuntutan gaya hidup digital Gen Z. Perubahan konsep ini mempertegas bahwa kafe adalah cerminan dari dinamika sosial dan budaya masyarakat urban kontemporer (Wirawan & Setiawan, 2023).
Kafe Tempat Hiburan vs Mengasah Kecerdasan
Bagi Gen Z, kafe memiliki dualisme fungsi yang menarik. Di satu sisi, kafe adalah tempat hiburan dan relaksasi. Aktivitas hangout, mendengarkan musik, dan menikmati estetika kafe adalah manifestasi dari budaya pop yang menekankan pada kenyamanan dan pengalaman visual. Kafe menjadi ruang pelarian dari rutinitas dan tekanan akademis (Prasetyo, 2021).
Di sisi lain, kafe juga dimanfaatkan sebagai ruang untuk mengasah kecerdasan. Banyak mahasiswa atau freelancer memilih kafe sebagai kantor kedua untuk belajar kelompok, mengerjakan tugas akhir, atau bekerja remote. Keberadaan Wi-Fi, kopi yang memicu konsentrasi, dan suasana yang tidak formal justru menciptakan kondisi yang optimal untuk produktivitas (Wibowo & Handayani, 2024, hlm. 112). Dengan kata lain, Gen Z mampu menyeimbangkan tuntutan gaya hidup (hiburan) dan tuntutan profesional/akademis (kecerdasan) di ruang yang sama.
Tiada Hari Tanpa Kafe: Ajang Bikin Konten, Belajar, dan Silaturahim
Popularitas kafe di kalangan Gen Z didorong oleh tiga pilar utama: bikin konten, belajar, dan silaturahim. Kafe adalah jantung dari budaya konten. Desain interior yang unik dan penyajian makanan/minuman yang estetik wajib diabadikan untuk diunggah di Instagram atau TikTok. Bagi Gen Z, kafe berfungsi sebagai studio mini yang mendukung personal branding dan eksistensi di media sosial (Dewi, 2022).
Selain itu, kafe menjadi spot bagi aktivitas belajar dan silaturahim. Mereka datang untuk bertemu teman, berdiskusi pembelajaran, proyek, bisnis atau sekadar bertukar kabar. Kafe memfasilitasi kebutuhan mendasar Gen Z akan koneksi sosial dan kolaborasi informal. Tren ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak melihat kafe sebagai pemborosan, tetapi sebagai investasi sosial dan fungsional yang mendukung keberlangsungan relasi dan aktivitas produktif mereka (Sari & Mulyadi, 2024). Budaya FoMo (Fear of Missing Out) dan kebutuhan akan koneksi internet yang stabil semakin menguatkan kafe sebagai destinasi wajib harian.
Penutup
Ledakan kafe di Jambi adalah cerminan dari pergeseran gaya hidup Gen Z yang mengintegrasikan budaya pop, digital, dan fungsionalitas dalam satu ruang. Kafe telah melampaui definisinya sebagai penjual minuman, bertransformasi menjadi arena bagi ekspresi diri, koneksi sosial, dan produktivitas.
Fenomena ini adalah indikator kuat bahwa Gen Z di Jambi memiliki kebutuhan akan ruang publik yang inklusif dan adaptif. Ke depan, kafe yang mampu bertahan adalah yang berhasil menyeimbangkan estetika untuk konten, kenyamanan untuk silaturahim, dan infrastruktur untuk belajar/bekerja. Kafe di Jambi tidak hanya menjual kopi, tetapi menjual pengalaman, gaya hidup, dan ruang yang mendukung dinamika Generasi Z.
Daftar Bacaan:
Habermas, J. (1989). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society. MIT Press.
Oldenburg, R. (1999). The great good place: Cafes, coffee shops, bookstores, bars, hair salons, and other hangouts at the heart of a community. Marlowe & Company.
Prasetyo, H. (2021). Generasi Z dan Budaya Konsumsi: Studi Fenomenologi Kafe. Pustaka Pelajar.
Wibowo, A., & Handayani, S. (2024). Geografi Sosial Kota: Ruang Publik dan Identitas Generasi Muda. Graha Ilmu.
Wirawan, D., & Setiawan, B. (2023). Fenomena Coffee Shop: Perspektif Bisnis dan Sosiologi. Bumi Aksara.
Jurnal:
Anonim. (2025, 10 Oktober). Café di Jambi Semakin Banyak, Tren Asyik atau Mulai Kelewatan? Jambi Ekspres. [Sumber berita, dicantumkan sebagai referensi pendukung].
Dewi, P. (2022). Peran Media Sosial dalam Pembentukan Gaya Hidup Nongkrong Generasi Z. Jurnal Ilmu Komunikasi, 15(2), 150–165.
Sari, E., & Mulyadi, J. (2024). Third Place Digital: Studi Kafe sebagai Ruang Kolaborasi dan Silaturahim Generasi Z. Jurnal Sosiologi Kontemporer, 9(1), 45–60.
Setiawati, R. (2023). Dampak Instagrammable Kafe terhadap Minat Kunjungan Konsumen di Kota Besar. Jurnal Pariwisata Budaya, 12(3), 301–315.
Sudjana, T. (2021). Transformasi Fungsi Ruang Publik: Studi Kasus Coffee Shop di Era Digital. Jurnal Desain dan Budaya, 8(1), 77–90.
Add new comment