“Jika Ingin Dihargai, Jadikan Dirimu Bermanfaat. Itu Lebih Penting Dari Pada Pengakuan Apa Pun.” AJIP ROSIDI (Sastrawan Besar Indonesia).
Oleh : Dr. FAHMI RASID,.M.AP
Dosen UM. Jambi
DALAM MASYARAKAT YANG SEMAKIN TERDIGITALISASI, ketika akses informasi begitu luas dan cepat, kualitas manusia kerap diukur melalui gelar akademik. Gelar menjadi simbol status, legitimasi kemampuan, bahkan alat sosial untuk membedakan posisi seseorang dalam struktur masyarakat. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga meresap hingga ke daerah-daerah, termasuk Provinsi Jambi. Namun, di tengah arus modernitas yang memuja formalitas tersebut, kisah hidup Ajip Rosidi melalui buku Tanpa Ijazah hadir sebagai kritik moral yang kuat, sebuah pengingat bahwa martabat manusia hanya dapat berdiri tegak melalui integritas, bukan lembaran sertifikat.
Narasi Ajip Rosidi bukan sekadar romantisme seorang sastrawan besar yang berjuang tanpa ijazah. Kisahnya kini relevan sebagai fondasi analitis untuk memahami fenomena sosial yang mengemuka di Indonesia : maraknya kasus ijazah palsu, kredensial yang diragukan, maupun penyalahgunaan gelar untuk kepentingan kekuasaan. Isu ini semakin menghangat ketika mencuat dugaan penggunaan ijazah palsu oleh sejumlah anggota dewan di berbagai daerah, serta polemik panjang mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, meski pemerintah dan pengadilan telah menegaskan keabsahannya.
Fenomena ini bukan sekadar anomali individual, melainkan gejala struktural yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih memandang gelar sebagai syarat legitimasi moral, padahal kemampuan dan integritas jauh lebih substansial. Di sinilah ajaran teladan Ajip Rosidi menemukan relevansinya.
Integritas Ajip Rosidi sebagai Modal Sosial, Ajip Rosidi lahir dari lingkungan sederhana yang tidak memberi banyak fasilitas, tetapi ia tumbuh dalam semangat belajar yang luar biasa. Tanpa ijazah formal, ia membangun reputasinya sendiri melalui : produktivitas karya sastra dan kebudayaan, partisipasi aktif dalam diskursus intelektual nasional, kontribusi pada pengembangan kebudayaan Sunda, dan pemikiran publik yang melintasi generasi.
Dalam teori social capital, Ajip merupakan model individu dengan modal sosial dan modal kultural yang tinggi. Ia membangun kepercayaan sosial bukan dari titel, tetapi dari dedikasi pada ilmu dan kejujuran intelektual.
Konsep ini sejalan dengan perspektif Pierre Bourdieu yang menilai bahwa legitimasi sosial seseorang dapat dibangun tidak hanya melalui institutionalized capital (gelar), tetapi juga melalui embodied cultural capital yakni kualitas diri, etos, dan kemampuan. Ajip adalah contoh paling jelas dari embodied capital yang murni. Dengan demikian, kisah Ajip bukan hanya inspirasi personal, tetapi juga kritik teoritis terhadap masyarakat yang terlalu bergantung pada penanda formal (ijazah) sebagai pembentuk legitimasi.
Fenomena Ijazah Palsu : Krisis Integritas dalam Sistem Nasional
Fenomena ijazah palsu bukan hal baru di Indonesia. Kepolisian, Kemenristek, dan Kemendikbud telah beberapa kali membongkar sindikat pembuat ijazah bodong. Namun dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ini kian menjadi sorotan publik karena terkait tokoh-tokoh publik, antara lain:
a) Dugaan Ijazah Palsu Oleh Sejumlah Anggota DPRD Di Berbagai Provinsi,
b) Dugaan Penggunaan Gelar Akademik Tanpa Proses Pendidikan Memadai,
c) Polemik Publik Mengenai Ijazah Presiden Jokowi Yang Berulang Kali Dibahas Meski Sudah Berkali-Kali Diklarifikasi Secara Resmi.
Munculnya isu-isu ini menunjukkan dua hal :
- Kepercayaan publik terhadap proses verifikasi pendidikan melemah.
- Gelar akademik masih dipandang sebagai alat legitimasi utama, terutama untuk memasuki dunia politik dan birokrasi.
Dalam konteks pemerintahan yang sedang menekankan pembangunan SDM unggul, fenomena ini menjadi ironi. Di satu sisi, negara menuntut integritas; di sisi lain, masyarakat masih terjebak dalam kompetisi simbolik yang mendorong manipulasi.
Akar Masalah: Ketimpangan Akses dan Budaya Simbolik, Analisis dari perspektif sosiologi pendidikan menunjukkan bahwa fenomena ijazah palsu muncul akibat pertemuan dua faktor adalah sebagai berikut : - KETIMPANGAN AKSES PENDIDIKAN
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga Tahun 2023:
a) 41% Angkatan Kerja Indonesia Hanya Berpendidikan SMP Ke Bawah.
b) Tenaga Kerja Dengan Pendidikan Tinggi Hanya Sekitar 10–12%.
c) Di Banyak Daerah, Termasuk Sebagian Wilayah Jambi, Akses Pendidikan Tinggi Terkendala Oleh Faktor Ekonomi Dan Geografis.
Ketimpangan ini mendorong sebagian masyarakat “MENGEJAR” gelar untuk mengatasi tekanan sosial, meski tanpa kemampuan dan proses yang seharusnya. Dalam konteks psikologi sosial, ini disebut fenomena status anxiety—kecemasan sosial untuk terlihat setara dalam lingkungan yang memuja gelar. - BUDAYA SIMBOLIK DAN TEKANAN SOSIAL
Indonesia masih mewarisi kultur kolonial yang mengutamakan formalitas. Gelar akademik dianggap sebagai penanda kelas sosial, bukan sekadar hasil pendidikan. Fenomena ini sangat terlihat dalam dunia birokrasi: untuk menduduki jabatan tertentu, gelar menjadi persyaratan administratif yang absolut. Akibatnya, sebagian individu mencari jalan pintas, meski harus mengorbankan integritas.
Refleksi Lokal: Jambi dan Tantangan Integritas Pendidikan
Di Provinsi Jambi, isu integritas pendidikan juga mendapatkan ruang perhatian. Sebagai salah satu daerah yang sedang memperkuat tata kelola pemerintahan dan kualitas SDM, Jambi secara langsung terdampak oleh kultur nasional mengenai gelar akademik.
Beberapa fenomena penting yang dapat dibaca dalam konteks lokal :
1) Penguatan Kualitas SDM Daerah Sebagai Prioritas Pembangunan; Pemerintah Provinsi Jambi Melalui RPD 2024–2026 Menempatkan Kualitas Pendidikan, Pengembangan Kompetensi Guru, Dan Integritas Aparatur Sebagai Agenda Prioritas. Hal Ini Menunjukkan Kesadaran Bahwa Pembangunan Daerah Tidak Bisa Hanya Bertumpu Pada Infrastruktur, Tetapi Pada Manusia Yang Berkarakter.
2) Risiko Munculnya Kredensial Palsu Di Lingkungan Politik Lokal; Pada Sejumlah Daerah Di Indonesia, Termasuk Beberapa Kabupaten/Kota Di Sumatera, Isu Gelar Palsu Ikut Masuk Dalam Kontestasi Politik Lokal. Majelis Adat, Tokoh Masyarakat, Kampus, Dan Partai Politik Perlu Memperkuat Mekanisme Verifikasi Agar Jambi Tidak Menjadi Bagian Dari Arus Negatif Tersebut.
3) Tantangan Pemerataan Pendidikan; Sebagian Besar Wilayah Jambi Masih Memiliki Disparitas Akses Pendidikan Tinggi, Terutama Di Daerah Pedesaan Seperti Tebo, Bungo, Dan Sarolangun. Ketidakmerataan Ini Berpotensi Menciptakan Tekanan Sosial Bagi Generasi Muda Untuk Mengejar Gelar Apa Pun Caranya.
Dalam konteks ini, kisah Ajip Rosidi menjadi sangat relevan bagi generasi muda Jambi: bahwa keberhasilan tidak selalu ditentukan oleh gelar, melainkan oleh kemampuan dan kerja keras.
Kontras Moral : Ajip Rosidi vs Para Pemburu Gelar
Ketika Ajip Rosidi dihormati karena karyanya, sebagian individu di negeri ini justru mencari jalan pintas melalui gelar palsu. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran moral. Ajip menunjukkan bahwa : Reputasi Dibangun Oleh Ketekunan, Bukan Formalitas, Legitimasi Sosial Lahir Dari Karakter, Bukan Titel, Posisi Dan Penghormatan Didapat Dari Karya, Bukan Simbol Kosong.
Sebaliknya, mereka yang memalsukan ijazah memilih jalan instan, mengorbankan integritas diri dan merusak tatanan sosial. Dalam jangka panjang, mereka merugikan : kepercayaan publik, kualitas birokrasi, kesempatan bagi orang yang benar-benar berjuang, serta moralitas bangsa. Kontras ini adalah cermin yang seharusnya menggugah refleksi nasional maupun lokal.
Mengembalikan Esensi Pendidikan
Dalam teori pendidikan modern, learning society adalah masyarakat yang menghargai proses belajar seumur hidup, bukan sekadar gelar. Ajip Rosidi adalah representasi paling murni dari konsep ini. Pendidikan, pada hakikatnya, adalah : kemampuan berpikir kritis, kemampuan bekerja jujur, pemahaman moral, kebiasaan belajar sepanjang hayat.
Jika masyarakat Indonesia, termasuk Jambi, kembali memahami esensi ini, maka obsesi terhadap gelar palsu akan hilang dengan sendirinya.
Integritas sebagai Fondasi SDM Unggul Indonesia
Pemerintah pusat telah mencanangkan agenda pembangunan SDM unggul melalui berbagai kebijakan, mulai dari program beasiswa hingga transformasi pendidikan. Namun tanpa integritas, semua itu tidak akan melahirkan manusia unggul, hanya akan melahirkan “manusia bergelar”. Ajip Rosidi menjadi contoh bahwa integritas adalah modal terbesar seorang manusia.
Tanpa ijazah pun ia dihormati karena karakter. Sebaliknya, individu dengan ijazah palsu kehilangan kehormatan karena kebohongan. Di tingkat daerah seperti Jambi, integritas bukan hanya tuntutan moral, tetapi kebutuhan strategis. Pembangunan daerah membutuhkan : birokrasi berintegritas, politisi yang jujur, pendidik yang kompeten, dan generasi muda yang tidak tergoda jalan pintas.
Membangun Bangsa dengan Nilai, Bukan Gelar
Kisah Ajip Rosidi adalah kritik moral terhadap budaya gelar yang berlebihan. Fenomena ijazah palsu menunjukkan bahwa bangsa sedang menghadapi krisis integritas. Dalam konteks nasional maupun daerah seperti Jambi, persoalan ini menuntut perbaikan sistem pendidikan, mekanisme verifikasi kredensial, serta budaya kerja yang menempatkan kemampuan di atas formalitas. Ajip mengingatkan kita bahwa :
- Ijazah Bukan Indikator Moral,
- Gelar Bukan Jaminan Kemampuan,
- Integritas Adalah Fondasi Peradaban.
Bangsa akan maju bukan oleh banyaknya gelar yang dilekatkan pada pejabatnya, tetapi oleh kualitas karakter masyarakatnya. Warisan terbesar Ajip Rosidi bagi Indonesia adalah pesan sederhana namun mendalam: masa depan bangsa tidak ditentukan oleh ijazah yang digantung di dinding, tetapi oleh integritas yang melekat di hati.(*)
Add new comment