Dr Dedek Kusnadi MSi
(Akademisi UIN STS Jambi)
Ruang publik Jambi belakangan ini riuh. Sangat riuh. Dalam demokrasi, keriuhan adalah hal biasa. Riuh adalah pertanda bahwa publik mengawasi. Namun, keriuhan yang kita saksikan hari-hari ini tampaknya telah bergeser dari esensi pengawasan menjadi sesuatu yang lain. Sebuah festival penghakiman yang...maaf...agak tendensius.
Targetnya jelas. Gubernur Al Haris dan program-program strategisnya, terutama yang berlabel multiyears.
Kritik adalah hak. Namun, ketika kritik dilandasi oleh kebencian, ia kehilangan kejernihannya. Ketika sekelompok orang—dengan motif yang patut dipertanyakan—secara brutal menyerang, mengabaikan setiap kerja baik, dan hanya berfokus pada satu-dua titik masalah, maka kita tak lagi berbicara soal kritik. Kita berbicara soal pembunuhan karakter (character assassination) yang dilembagakan.
Ironisnya, mereka menuntut keadilan, namun memulainya dengan "berbuat tidak adil sejak dalam pikiran".
Yang lebih ironis, banyak dari "genderang" kritik ini ditabuh oleh mereka yang kita anggap sebagai kaum terdidik. Para aktivis, dan mungkin saja, para intelektual. Di pundak merekalah seharusnya kita menaruh harapan agar standar diskusi publik tetap tinggi. Kita mengharapkan data, bukan caci maki. Kita mengharapkan logika akademik yang lurus, bukan emosi yang meledak-ledak.
Namun, apa yang dipertontonkan?
Ketika seorang yang (mengaku) berpendidikan mengabaikan fakta-fakta dasar—seperti mekanisme hukum 'Masa Pemeliharaan' dalam sebuah proyek—dan langsung melompat ke kesimpulan 'korupsi', maka logika akademik yang benar itu telah sengaja ditinggalkan.
Ini adalah sebuah paradoks yang menyedihkan. Kaum intelektual yang seharusnya mencerahkan, justru turut serta dalam 'penghakiman prematur'. Mereka seharusnya menjadi penjaga akal sehat, namun malah memilih menjadi provokator emosi. Jika sudah begini, kita patut bertanya. Ini kritik murni, atau ada agenda lain yang didorong oleh kebencian?
Mari kita bedah secara jernih, dengan akal sehat, bukan dengan "buta mata" dan "buta hati".
Fokus utama serangan adalah proyek multiyears (tahun jamak), seperti Islamic Center atau Stadion. Ditemukan keretakan. Ditemukan kebocoran. Lalu kesimpulannya, Gagal! Korupsi! Tangkap!
Apakah semudah itu logika berpikirnya?
Seorang akademisi atau analis yang jujur akan tertawa melihat lompatan logika yang ceroboh ini.
Pertama, mari kita pahami apa itu Masa Pemeliharaan (Defect Liability Period) dalam setiap kontrak konstruksi. Ini adalah klausul wajib dalam hukum konstruksi. Selama periode ini (biasanya 6 bulan hingga setahun setelah serah terima pertama/PHO), jika ada kerusakan, keretakan, atau kebocoran, kontraktor WAJIB memperbaikinya dengan biaya mereka sendiri.
Pemerintah belum dirugikan sepeser pun. Justru, ini adalah momen bagi Pemprov untuk "mencambuk" kontraktor agar bertanggung jawab. Menemukan retak di masa pemeliharaan itu bukan bukti kegagalan, itu adalah bagian dari proses kontrol kualitas.
Kecuali, para pengkritik ini tidak memahami mekanisme dasar ini? Atau mereka pura-pura tidak paham?
Kedua, narasi bahwa Gubernur tidak bekerja sama sekali, bahwa semua usahanya "nol", adalah sebuah kejujuran yang keji. Membangun daerah ini butuh keringat. Menangani masalah warisan yang akut—dari angkutan batubara hingga infrastruktur—adalah kerja maraton, bukan sulap. Menghapus seluruh capaian dan keringat seorang pemimpin hanya karena satu-dua proyek yang masih berjalan dan masih dalam proses perbaikan adalah tindakan yang tidak adil.
Inilah puncak dari politisasi yang tidak sehat. Mendorong-dorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertindak.
Apa yang kita lihat? Ada sekelompok orang yang seolah ingin mendikte KPK, memaksakan kehendak agar lembaga itu bergerak. Ini adalah preseden yang sangat berbahaya.
Dalam negara hukum, ada alur yang jelas. Ada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai auditor resmi negara. BPK akan menghitung. Apakah ada kerugian negara? Apakah bisa dipulihkan? Apakah ada kesalahan administrasi atau niat pidana (mens rea)?
Melompati BPK dan auditor internal (APIP), lalu berteriak-teriak "KPK... KPK...!" di jalanan, itu bukan advokasi hukum. Itu adalah teror opini.
Apa dampaknya? Ini yang sering tidak dipikirkan oleh para kritikus yang didorong kebencian.
- Birokrasi Lumpuh (Chilling Effect): Jika setiap pejabat yang menjalankan proyek besar diancam akan "di-KPK-kan", apa yang akan terjadi? Mereka akan berhenti bekerja. Mereka akan memilih "aman" daripada mengambil risiko membangun. Program mandek, tender batal, pembangunan terhenti. Siapa yang rugi? Rakyat Jambi sendiri.
- Degradasi Lembaga Hukum: KPK adalah lembaga superbody yang terhormat. Menggunakannya sebagai "alat gertak" politik untuk isu yang masih dalam ranah teknis-administratif (masa pemeliharaan) adalah pelecehan terhadap muruah KPK itu sendiri.
Gubernur Al Haris, seperti pemimpin lainnya, adalah manusia yang sedang bekerja. Dia bukan malaikat yang tanpa cela, tapi dia juga bukan iblis yang semua kerjanya salah.
Saya ingin menutup ini dengan sebuah ajakan. Mari kita berbuat adil sejak dalam pikiran.
Jika Anda ingin mengkritik, kritiklah dengan data. Jika ada proyek retak, pertanyaannya harus proporsional. "Apakah sudah PHO? Bagaimana progres penagihan klaim di masa pemeliharaan kepada kontraktor? Siapa konsultan pengawasnya?"
Bukan terburu-buru berteriak, "Penjarakan Gubernurnya!"
Ini tidak fair. Ini tidak adil bagi seorang pemimpin yang jelas-jelas telah berkeringat, yang setiap hari berjibaku dengan masalah kompleks daerah. Jangan biarkan kebencian politik sesaat membutakan kita dari gambaran yang lebih besar.
Rakyat Jambi butuh pembangunan, bukan kegaduhan yang dipolitisasi. Dan pembangunan butuh pemerintahan yang bekerja tenang, bukan yang setiap hari diteror dengan ancaman pidana atas masalah yang sebenarnya masih bersifat teknis.
Berhentilah "memaksa" KPK. Biarkan BPK bekerja. Dan biarkan Gubernur beserta jajarannya bekerja menagih tanggung jawab kontraktor. Jangan sampai, atas nama "anti-korupsi", kita justru membunuh pembangunan itu sendiri.
Pada akhirnya, kita harus berani melihat gambaran besarnya. Gubernur Al Haris kini jelas sedang 'dikepung'. Ini bukan lagi kritik konstruktif, ini adalah serbuan isu tendensius yang nyaris menjadi 'teror opini' negatif.
Pola serangannya terlalu rapi untuk disebut kebetulan. Isu multiyears digoreng, angkutan batubara dipanaskan, dan desakan ke KPK terus diorkestrasi.
Ini memaksa kita bertanya. Siapa sebenarnya aktor yang begitu gigih memborbardir pemerintahan ini tanpa jeda? Apakah mereka murni aktivis terdidik yang (kebetulan) emosional, atau ada "konduktor" intelektual yang memainkan irama ini dari balik panggung? Ada agenda tersembunyi apa di balik upaya sistematis mendelegitimasi seorang gubernur yang sedang bekerja?
Jika tujuannya adalah "menghabisi" secara politik,--bukan lagi mengawasi--, maka ini adalah preseden buruk bagi demokrasi Jambi. Dan yang pasti, rakyat tidak mendapat apa-apa selain kegaduhan.(*)
Add new comment