Oleh: Dr. Jamilah
Dosen UIN STS Jambi
Di tengah krisis ekologis global yang kian mengkhawatirkan mulai dari perubahan iklim, kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, hingga punahnya keanekaragaman hayati umat manusia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah pembangunan yang kita lakukan benar-benar berpihak pada kehidupan? Dalam situasi inilah, ekoteologi hadir bukan sekadar sebagai konsep akademik, tetapi sebagai panggilan moral dan spiritual bagi umat beragama untuk mengambil peran aktif dalam menjaga bumi.
Ekoteologi adalah sebuah pendekatan teologi yang menempatkan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kata “eko” berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti rumah, sementara teologi adalah kajian tentang Tuhan. Dengan demikian, ekoteologi memaknai bumi sebagai “rumah bersama” yang dipercayakan Tuhan kepada manusia untuk dijaga, dirawat, dan diwariskan kepada generasi mendatang dalam keadaan yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Selama ini, krisis lingkungan sering dipahami semata-mata sebagai persoalan teknis atau ekonomi. Padahal, akar persoalannya jauh lebih dalam, yakni krisis nilai dan krisis spiritual. Ketika manusia memandang alam hanya sebagai objek eksploitasi, sumber daya yang boleh diambil tanpa batas, maka kehancuran lingkungan menjadi keniscayaan. Ekoteologi menawarkan cara pandang alternatif: alam bukan sekadar benda mati, melainkan ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik dan kesucian.
Prinsip pertama ekoteologi adalah kesadaran ekologis. Manusia bukan penguasa mutlak alam, melainkan bagian dari ekosistem yang saling terhubung. Setiap tindakan manusia menebang hutan, membuang limbah, membakar lahan, atau menggunakan energi secara berlebihan akan kembali berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri. Kesadaran ini menuntut perubahan cara berpikir: dari antroposentris menuju ekosentris, dari eksploitatif menuju koeksistensi.
Prinsip kedua adalah kesucian alam. Dalam perspektif teologis, alam adalah ayat-ayat Tuhan yang terbentang. Gunung, sungai, hutan, dan laut bukan sekadar lanskap, tetapi tanda-tanda kebesaran Ilahi. Merusak alam berarti merusak amanah Tuhan. Oleh karena itu, menjaga lingkungan bukan hanya tindakan etis, melainkan juga ibadah. Spiritualitas tidak cukup diwujudkan dalam ritual personal, tetapi harus terjelma dalam sikap ramah lingkungan dan kepedulian terhadap kehidupan semesta.
Selanjutnya, keadilan ekologis menjadi pilar penting ekoteologi. Kerusakan lingkungan hampir selalu berdampak paling besar pada kelompok rentan: masyarakat adat, nelayan kecil, petani, dan generasi mendatang. Ketika hutan dibabat atau sungai tercemar, mereka yang pertama kali kehilangan sumber kehidupan. Ekoteologi menegaskan bahwa keadilan sosial tidak dapat dipisahkan dari keadilan ekologis. Membela lingkungan berarti membela manusia, terutama mereka yang paling lemah.
Prinsip keempat adalah keterlibatan spiritual. Ekoteologi menolak dikotomi antara iman dan aksi. Spiritualitas sejati justru mendorong keterlibatan aktif dalam upaya pelestarian lingkungan. Doa, zikir, dan ibadah seharusnya melahirkan kepekaan ekologis, bukan sikap apatis. Dalam konteks ini, tokoh agama, pendidik, dan pemimpin umat memiliki peran strategis untuk menanamkan nilai-nilai ekoteologis dalam kehidupan sehari-hari.
Ekoteologi memiliki relevansi luas dalam berbagai bidang. Dalam pendidikan lingkungan, pendekatan ekoteologi mampu menjembatani sains dan nilai spiritual. Anak-anak dan generasi muda tidak hanya diajarkan fakta tentang perubahan iklim, tetapi juga ditanamkan rasa tanggung jawab moral dan spiritual terhadap alam. Pendidikan semacam ini membentuk karakter ekologis yang berkelanjutan.
Dalam aktivisme lingkungan, ekoteologi menjadi sumber energi moral. Banyak gerakan lingkungan lahir dari kesadaran iman bahwa menjaga bumi adalah tugas suci. Aktivisme tidak lagi dipandang sebagai perlawanan semata, tetapi sebagai wujud kasih dan kepedulian terhadap ciptaan Tuhan. Pendekatan ini juga mampu membangun dialog lintas agama dalam isu lingkungan, karena kepedulian terhadap bumi adalah nilai universal.
Sementara itu, dalam pengembangan berkelanjutan, ekoteologi menawarkan kerangka etis agar pembangunan tidak terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang merusak. Pembangunan sejati adalah pembangunan yang menghormati daya dukung alam, menjaga keseimbangan ekosistem, dan memastikan keberlanjutan hidup manusia serta makhluk lain.
Dalam konteks Indonesia, ekoteologi menjadi sangat relevan. Indonesia dianugerahi kekayaan alam luar biasa, tetapi juga menghadapi ancaman serius berupa deforestasi, degradasi lahan, pencemaran laut, dan krisis iklim. Pendekatan teknokratis saja tidak cukup. Diperlukan gerakan kesadaran kolektif yang berakar pada nilai budaya dan keagamaan masyarakat. Ekoteologi dapat menjadi jembatan antara kebijakan publik, kearifan lokal, dan spiritualitas keagamaan.
Sebagai penutup, ekoteologi mengingatkan kita bahwa krisis lingkungan adalah cermin dari krisis batin manusia. Menyelamatkan bumi berarti membenahi cara pandang, nilai, dan relasi kita dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Bagi umat beragama, menjaga lingkungan bukan pilihan tambahan, melainkan konsekuensi iman. Ekoteologi mengajak kita untuk menjadikan bumi bukan sekadar tempat tinggal sementara, tetapi rumah yang dirawat dengan cinta, tanggung jawab, dan kesadaran spiritual demi masa depan kemanusiaan.
Referensi
- Lynn White Jr.. The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Science, Vol. 155, No. 3767, 1967.
→ Tulisan klasik yang membuka diskursus hubungan agama, etika, dan krisis lingkungan. - Seyyed Hossein Nasr. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Allen & Unwin, 1968.
→ Menegaskan krisis lingkungan sebagai krisis spiritual manusia modern. - World Council of Churches. Justice, Peace and Integrity of Creation. Geneva, berbagai publikasi.
→ Landasan teologis global tentang keadilan ekologis dan keberlanjutan. - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Status Lingkungan Hidup Indonesia.
→ Referensi konteks empiris kerusakan dan tantangan lingkungan di Indonesia.
Add new comment