Di ketinggian Gunung Labu, Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, warga desa berbondong-bondong merayakan tradisi Gebyar Suro. Tradisi ini telah menjadi penanda waktu untuk bersyukur atas berkah hasil bumi yang melimpah.
Hari itu, langit cerah seolah ikut merestui acara. Suasana desa berubah riuh dengan suara warga yang berkumpul di lapangan utama. Mereka membawa berbagai hasil bumi, buah-buahan, dan sayur-sayuran yang dikumpulkan dan disusun menjadi delapan gunungan besar, simbol dari delapan dusun di desa tersebut.
Gunungan-gunungan itu tampak megah, penuh warna-warni buah dan sayur yang disusun rapi. Sebelum diarak, warga desa bersama-sama melantunkan shalawat, menambah kesakralan acara. Suara shalawat menggema, menyatu dengan semangat kebersamaan yang terasa di setiap sudut desa.
"Walaupun keadaan petani saat ini cukup sulit, Alhamdulillah kita masih bisa sedekah bumi. Antusias warga luar biasa," ujar Sutiyem, salah satu warga dengan wajah sumringah.
Ia mengungkapkan bahwa semangat warga untuk bersedekah tetap tinggi meski tantangan ekonomi tak mudah.
Arak-arakan gunungan menjadi puncak acara. Ribuan warga mengikuti di belakang, berjalan perlahan mengelilingi desa. Semangat gotong royong dan kebersamaan terjalin erat. Setelah diarak, gunungan-gunungan tersebut dibagikan kepada warga dengan cara rebutan, menciptakan kegembiraan tersendiri di antara mereka.
Sedekah hasil bumi ini bukan sekadar tradisi, tetapi wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas rezeki yang diberikan. Suparman menambahkan bahwa acara ini juga mengingatkan warga akan pentingnya berbagi dan bersyukur dalam keadaan apapun.
Malam harinya, Gebyar Suro ditutup dengan pertunjukan musik tradisional Kuda Kepang. Suara gendang dan tabuhan mengiringi tarian, memeriahkan suasana hingga larut malam. Gelak tawa dan canda warga terdengar, menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan dalam menjaga tradisi.
Gebyar Suro di Desa Gunung Labu bukan hanya perayaan tahunan. Ini adalah pengingat akan kuatnya ikatan sosial dan rasa syukur yang mendalam atas berkah alam. Di tengah tantangan, mereka tetap bersatu, saling mendukung, dan merayakan kehidupan dengan penuh suka cita.(*)
Asal Usul dan Makna Tradisi Gebyar Suro
Gebyar Suro merupakan salah satu tradisi yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Desa Gunung Labu, Kayu Aro, Kabupaten Kerinci. Tradisi ini memiliki akar yang kuat dalam budaya dan sejarah masyarakat setempat, serta mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejarah Gebyar Suro
Gebyar Suro pada awalnya adalah sebuah upacara yang digelar untuk menyambut Tahun Baru Islam, yaitu 1 Muharram atau lebih dikenal sebagai Suro dalam penanggalan Jawa. Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, di mana masyarakat mengadakan berbagai ritual untuk mengusir bala dan memohon berkah dari Yang Maha Kuasa.
Di Desa Gunung Labu, tradisi Gebyar Suro telah menjadi penanda waktu untuk bersyukur atas berkah hasil bumi yang melimpah. Kegiatan ini tidak hanya sebagai bentuk perayaan tetapi juga sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan.
Pelaksanaan Gebyar Suro
Pada pagi hari saat pelaksanaan Gebyar Suro, suasana desa di Gunung Labu berubah riuh dengan suara warga yang berkumpul di lapangan utama. Langit cerah seolah merestui acara tersebut. Warga membawa berbagai hasil bumi, buah-buahan, dan sayur-sayuran yang dikumpulkan dan disusun menjadi delapan gunungan besar, melambangkan delapan dusun di desa tersebut.
Gunungan-gunungan itu tampak megah dan penuh warna-warni. Sebelum diarak, warga desa bersama-sama melantunkan shalawat, menambah kesakralan acara. Suara shalawat menggema, menyatu dengan semangat kebersamaan yang terasa di setiap sudut desa.
Makna dan Nilai-nilai Gebyar Suro
Tradisi Gebyar Suro di Gunung Labu sarat dengan nilai-nilai spiritual dan sosial. Gebyar Suro di Desa Gunung Labu bukan hanya perayaan tahunan, tetapi pengingat akan kuatnya ikatan sosial dan rasa syukur yang mendalam atas berkah alam. Tradisi ini menegaskan pentingnya kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur dalam kehidupan masyarakat, meskipun di tengah tantangan yang dihadapi. Tradisi ini merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.(*)
Add new comment