JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan untuk menghapus ketentuan presidential threshold atau ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena dinilai melanggar hak politik dan prinsip keadilan dalam demokrasi.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (4/1/2025).
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan bahwa ketentuan ambang batas yang menggunakan hasil Pemilu DPR sebelumnya untuk menentukan hak partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah bentuk diskriminasi.
“Ambang batas ini menghilangkan hak konstitusional partai politik baru atau yang tidak memiliki suara atau kursi signifikan di DPR pada pemilu sebelumnya,” jelas Saldi. Ia menambahkan, penetapan angka ambang batas juga tidak didasarkan pada rasionalitas yang kuat dan cenderung melanggengkan kepentingan partai besar.
Menurut Saldi, penggunaan presidential threshold sejauh ini telah membatasi demokrasi dengan mengarah pada sistem politik yang memaksakan logika parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Hal ini bertentangan dengan kedaulatan rakyat yang diamanatkan dalam UUD 1945.
MK juga mencatat bahwa penerapan presidential threshold selama ini mendorong kontestasi politik yang hanya menghasilkan dua pasangan calon dalam setiap pemilu. Hal ini, menurut MK, memperparah polarisasi politik di masyarakat dan berpotensi mengancam keutuhan bangsa.
“Pemilu serentak memang menyatukan proses legislatif dan eksekutif, tetapi mandat rakyat diberikan secara terpisah. Menggunakan hasil pemilu legislatif untuk menentukan ambang batas eksekutif adalah tidak relevan,” ujar Saldi.
Keputusan ini menunjukkan perubahan pendirian MK terhadap presidential threshold dibandingkan putusan-putusan sebelumnya. MK menegaskan bahwa ambang batas ini, berapa pun besarannya, adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan keadilan.
“Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak sesuai dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” lanjutnya.
Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, menyampaikan dissenting opinion (pendapat berbeda). Mereka berpendapat bahwa presidential threshold masih relevan dalam menjaga stabilitas sistem politik di Indonesia.
Keputusan ini membuka jalan bagi partai politik baru atau kecil untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi ambang batas suara atau kursi DPR. Langkah ini dipandang sebagai upaya memperluas inklusivitas dan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua partai politik.
Perkara ini dimohonkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna, yang menilai ketentuan presidential threshold sebagai bentuk pembatasan terhadap hak politik rakyat.
Dengan putusan ini, dinamika politik menuju Pemilu 2029 dipastikan akan berubah drastis, dengan peluang lebih besar bagi kontestasi demokrasi yang lebih luas dan inklusif.(*)
Add new comment