Tak Seperti Kisah Benjamin Button, Sepatutnya Kita Mencintai Takdir Layaknya Bernadya dan Nietzsche

WIB
IST

Oleh :

Ahmad Inung

Pernahkan Anda mengandaikan bisa mengulang kehidupan masa lalu? Saya yakin hampir semua orang pernah memiliki imajinasi liar itu; bergerak mundur untuk mendapatkan kembali kesempatan atau membuat keputusan yang berbeda sehingga keadaan tidak seperti saat ini.

Perasaaan yang hampir serupa juga berlaku bagi mereka yang jatuh cinta, namum dalam situasi yang sudah tidak lagi memungkinkan, “Andai kita dipertemukan lebih dulu mungkin ceritanya akan berbeda.”

Saat kita merasa berada dalam keadaan yang tidak sesuai harapan atau jalan hidup sedang bergerak ke arah yang salah, yang dirasa karena beberapa keputusan yang kita ambil di masa lalu, kita cenderung berharap mampu memutar waktu ke belakang. Kita menginginkan waktu seperti sebuah lorong, di mana arus hidup bisa bergerak maju-mundur sesuai dengan keinginan kita. Kita berharap punya kemampuan menyetel mundur gerak jarum jam sesuai kemauan jalan hidup kita. Lantas, bagaimana jika kehidupan memang bisa seperti itu? Kemungkinan apa yang akan terjadi?

Harapan-harapan liar itulah yang diangkat dalam film The Curious Case of Benjamin Button (2008). Film bergenre drama fantasi romantis yang dibintangi Brad Pitt dan Cate Blanchett ini mengisahkan seorang laki-laki yang jalan hidupnya mundur, terlahir tua, dan meninggal dalam keadaan bayi. Laki-laki itu bernama Benjamin Button. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Bayi merah Benjamin Button yang tampak mengerikan—keriput dan renta—kemudian dibuang oleh ayahnya di depan sebuah panti jompo.

Film ini berlatar berakhirnya Perang Dunia I, ketika banyak orang sedih lantaran kehilangan orang-orang tercintanya yang harus mati di arena peperangan. Ketika Perang Dunia I berakhir, banyak orang berharap tak ada lagi perang yang merenggut nyawa orang-orang terkasih. Bagi mereka yang telah kehilangan, kenangan akan masa lalu yang indah bersama orang-orang tercinta terus menghantui isi kepala. Dalam kesedihan ini, orang terus-menerus berharap seluruh kenangan indah bisa direngkuh ulang.

Ketika kehidupan publik mulai normal, Tuan Gateau, seorang ahli pembuat jam, diminta membuat jam untuk dipasang di sebuah stasiun kereta. Digerakkan oleh kesedihan karena kehilangan dan harapan kembalinya kenangan indah masa lalu, dengan sengaja, ia membuat jam dengan jarum yang bergerak mundur, sebagai kenangan bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercintanya di Perang Dunia I, seperti halnya Tuan Gateau sendiri yang telah kehilangan anak laki-lakinya. Seakan keinginan ini dikabulkan Tuhan, Benjamin Button terlahir memenuhi harapan itu. Hidupnya bergerak mudur seperti jarum jam buatan Tuan Gateau.

Namun, hidup ini tidak seperti kisah hidup Benjamin Button. Bahkan, jika kita diberi pengalaman untuk menjalani kehidupan bergerak mundur sebagaimana imajinasi liar kita—seperti dalam kasus aneh Benjamin Button—kehidupan akan jauh lebih mengerikan detik demi detiknya.

Bayangkan! Benjamin Button menjalani masa kecilnya di tengah orang-orang tua di panti jompo yang menjalani hari-harinya sekedar menunggu ajal menjemput. Namun pada saat yang sama, Benjamin Button tak bisa melawan takdirnya, bahwa di dalam tubuh renta-tuanya tersimpan jiwa anak-anak. Dia tidak bisa melalui keindahan kanak-kanaknya bersama dengan teman sebaya karena dia diperlakukan seperti orang tua.

Gadis kecil seumuran yang dicintainya, Daisy Fuller, hanya bisa direngkuhnya sesaat ketika mereka berdua berada dalam waktu “seumuran” yang singkat. Kebersamaan antara Benjamin dan Daisy hanya sekelebatan pertemuan dua orang kekasih karena keduanya bergerak berlawanan. Benjamin menuju ke usia bayinya, sedang Daisy bergerak ke usia tuanya.

Tak ada kebahagiaan dalam kehidupan seperti ini. Hanya keberanian yang menyedihkan yang membuat Benjamin Button bisa menjalani hidupnya hingga akhir. Sebelum menjemput ajalnya, Benjamin Button hidup menggelandang sendirian. Tak ada kawan. Dia secara fisik adalah bocah, tapi sebetulnya adalah laki-laki yang mendekati ajalnya. Melalui bantuan petugas sosial, Benjamin akhirnya mati sebagai bayi dipelukan Daisy yang telah menjadi seorang nenek renta.

***

Apapun pengertian kita tentang waktu, apakah ia dipahami sebagai perputaran bumi mengelilingi matahari ataukah “kekinian” yang abadi, kita mengalami waktu dalam arus kehidupan yang bergerak menuju “masa depan”. Dalam arus hidup menuju akhir ini, tidak setiap episodenya sesuai dengan yang kita inginkan. Hidup adalah tenunan tawa dan tangis, bahagia dan sedih. Kita tak bisa hanya memilih salah satunya. Yang harus kita lakukan adalah mengatakan “ya” untuk hidup ini apa adanya.

Inilah yang disebut Nietzsche sebagai amor fati (love of fate), mencintai takdir. Istilah amor fati digunakan untuk menggambarkan sebuah pandangan filosofis yang menerima hidup ini secara total dan menyeluruh, tidak hanya dalam kebahagiaannya, tetapi juga dalam penderitaan dan kehilangan.

Dalam buku yang berjudul The Gay Science, Nietzsche menyatakan: “I want to learn more and more to see as beautiful what is necessary in things; then I shall be one of those who make things beautiful. Amor fati: let that be my love henceforth! I do not want to wage war against what is ugly. I do not want to accuse; I do not even want to accuse those who accuse. Looking away shall be my only negation. And all in all and on the whole: someday I wish to be only a Yes-sayer.”

“Aku ingin belajar terus menerus untuk melihat segala sesuatu sebagai keindahan. Kemudian, aku akan menjadi orang yang membuat segalanya indah. Amor fati: biarlah itu yang menjadi kecintaanku dalam mengarungi hidup ke depan. Aku tidak ingin berperang melawan apa yang dianggap jelek. Aku tak ingin menuduh, aku bahkan tak ingin menuduh kepada mereka yang selama ini suka menuduh. Aku menolak memalingkan muka. Ala kulli hal: suatu hari nanti, aku hanya ingin menjadi manusia yang berkata “ya” untuk hidup ini,” demikian terjemahan bebasnya.

Jika dari awal tulisan ini terasa terlalu berat, mari kita belajar pada Bernadya, musisi muda kelahiran Surabaya, yang bahkan belum genap berusia 21 tahun. Di dalam lagunya yang berjudul “Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”, dia menulis lirik yang sangat indah:

Ada waktu-waktu

Hal buruk datang berturut-turut

Semua yang tinggal, juga yang hilang

Seberapa pun absurdnya pasti ada makna

Selayaknya Bernadya hingga Niezsche, tak ada pilihan selain menerima kehidupan ini apa adanya, tanpa kompromi. Amor fati!

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.