“Sejarah Akan Mencatat, Bahwa Energi Kepemimpinan Sejati Tidak Pernah Padam Dimakan Usia. Yang Abadi Adalah Pengabdian, Keikhlasan, Dan Cinta Kepada Rakyat.
HBA Adalah Cerminan Dari Itu Semua”
DALAM LINTASAN SEJARAH PERADABAN MANUSIA, selalu ada tokoh-tokoh yang membuktikan bahwa usia bukanlah batas, melainkan justru menjadi anugerah. Seiring dengan bertambahnya usia, yang sesungguhnya bertambah adalah kedalaman pengalaman, kejernihan pandangan, dan keluasan kebijaksanaan. Maka pepatah lama yang menyebut bahwa usia hanyalah angka menjadi semakin terasa relevan jika kita menengok perjalanan para pemimpin bangsa di berbagai belahan dunia. Mereka yang telah memasuki usia senja, justru tampil dengan energi yang seakan tak pernah padam, membawa semangat baru sekaligus memberikan pijar bagi generasi yang lebih muda.
Di Provinsi Jambi, salah satu sosok yang mewujudkan pepatah tersebut adalah Drs. H. Hasan Basri Agus, MM, atau yang akrab disapa HBA. Ia adalah figur yang namanya tak asing lagi bagi masyarakat Jambi, dari hulu hingga hilir, dari dusun-dusun kecil hingga ke kota besar. Rekam jejaknya panjang, berliku, namun penuh dengan ketulusan pengabdian. HBA bukan hanya seorang politisi, melainkan juga birokrat tulen yang mengawali kariernya dari pangkat terendah golongan 1.A, lalu menapak tangga demi tangga hingga pernah menjadi camat di tiga tempat berbeda, menjabat eselon II di Kabupaten Batang Hari, menduduki posisi Kepala Biro UP Setda Provinsi Jambi, menjadi Sekretaris Daerah Kota, hingga dipercaya sebagai Bupati Sarolangun. Dari sana, kariernya berlanjut ke jabatan yang lebih tinggi, yakni Gubernur Jambi, dan kini ia mengemban amanah sebagai anggota DPR RI dua periode berturut-turut, duduk di Komisi VIII yang membidangi agama, sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Bila ditarik jauh ke belakang, jejak hidup HBA sesungguhnya adalah kisah tentang perjuangan seorang anak pondok pesantren yang lahir dan tumbuh di Kota Seberang, Jambi. Di pesantren Assad Jambi, ia ditempa bukan hanya oleh disiplin ilmu agama, tetapi juga oleh nilai-nilai kemandirian, ketekunan, dan pengabdian. Latar belakang itu membentuk karakternya sebagai sosok yang teguh dalam prinsip, santun dalam bertutur, namun kuat dalam pengambilan keputusan. Dari seorang ajudan gubernur Jambi di masa mudanya, HBA perlahan tapi pasti menorehkan prestasi, hingga menjadi salah satu tokoh politik dan birokrasi paling berpengaruh di provinsi ini.
Apa yang membuat perjalanan ini menarik adalah konsistensi HBA dalam mengabdi. Ia tidak pernah terburu-buru, melainkan menapak setiap anak tangga dengan kerja keras. Saat menjadi camat, ia turun langsung ke lapangan, mendengar suara rakyat kecil, memahami denyut kehidupan masyarakat di desa maupun kota kecamatan. Ketika menjabat eselon II di Batanghari, ia memperlihatkan kemampuannya mengelola birokrasi dengan tertib dan penuh inovasi. Sebagai Kepala Biro UP Setda Provinsi, ia menata sistem pemerintahan dengan rapih, dan sebagai Sekda Kota ia mengharmoniskan antara kepentingan politik dan administrasi. Saat dipercaya menjadi Bupati Sarolangun, HBA menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang paripurna, mengantarkan daerah tersebut pada kemajuan yang signifikan, sebelum akhirnya dipercaya rakyat untuk memimpin Jambi sebagai Gubernur.
Pengabdian HBA tidak berhenti di situ. Kini, sebagai wakil rakyat di Senayan, ia menjadi salah satu tokoh yang vokal memperjuangkan isu-isu keumatan dan sosial kemasyarakatan. Duduk di Komisi VIII, ia terlibat aktif dalam pembahasan mengenai agama, pemberdayaan sosial, hingga penanggulangan bencana. Hal ini selaras dengan kiprahnya di daerah, di mana HBA saat ini memimpin Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Jambi, sebuah organisasi kemanusiaan yang selalu hadir di garis depan ketika masyarakat membutuhkan pertolongan. Dedikasinya di bidang sosial juga tercermin dalam perannya sebagai Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Jambi, tempat ia menjaga marwah budaya Melayu agar tetap kokoh di tengah arus modernisasi.
Jika ditelusuri lebih dalam, sosok HBA adalah representasi dari perpaduan ulama dan umaro yang sejak dulu diyakini sebagai fondasi kepemimpinan yang ideal. Dari latar belakang pondok pesantren, ia menyerap nilai religiusitas dan kedekatan dengan ulama, sementara dari perjalanan birokrasi, ia menguasai tata kelola pemerintahan yang profesional. Kombinasi ini menjadikan dirinya tokoh yang bisa merangkul berbagai kalangan, mulai dari masyarakat adat, tokoh agama, hingga politisi lintas partai. Tidak berlebihan bila banyak orang menyebut bahwa di dalam diri HBA terkandung nilai keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas, antara tradisi dan modernitas, antara budaya lokal dan dinamika nasional.
Apa yang dilakukan HBA sejatinya sejalan dengan praktik kepemimpinan para politisi gaek di tingkat nasional maupun internasional. Lihatlah Presiden Prabowo Subianto yang kini, di usia lebih dari 70 tahun, justru memimpin Indonesia menuju cita-cita besar Indonesia Emas 2045. Ia membuktikan bahwa energi kepemimpinan bisa terus membara meskipun usia bertambah. Megawati Soekarnoputri, walaupun tidak lagi menjabat di pemerintahan, masih menjadi salah satu tokoh politik paling berpengaruh di negeri ini. Jusuf Kalla, dengan ketenangan dan kejernihan pandangan, terus menjadi rujukan bangsa dalam isu-isu kebangsaan, perdamaian, dan ekonomi. Bahkan Luhut Binsar Pandjaitan, yang usianya juga tidak muda lagi, tetap menjadi sosok sentral dalam berbagai kebijakan strategis nasional.
Di dunia internasional, kisah Mahathir Mohamad dari Malaysia adalah bukti paling nyata bahwa usia senja bukanlah penghalang. Ia kembali memimpin negaranya di usia lebih dari 90 tahun, menunjukkan kepada dunia bahwa visi, pengalaman, dan tekad bisa menjadi sumber energi yang tak ada habisnya. Semua contoh ini memperlihatkan bahwa semakin matang usia, semakin berharga pula pandangan dan arah kebijakan yang bisa ditawarkan seorang pemimpin.
Sejarah membuktikan bahwa energi kepemimpinan tidak lekang dimakan usia. Dari Prabowo hingga Mahathir, dari Megawati hingga Jusuf Kalla, kita melihat contoh bahwa pengalaman panjang justru memperkuat kapasitas seorang pemimpin. Di Jambi, HBA adalah cerminan nyata dari hal itu. Dari anak pondok di Kota Seberang, dari ajudan gubernur hingga gubernur, dari camat hingga anggota DPR RI, dari tokoh adat hingga pemimpin kemanusiaan, ia adalah figur yang paripurna. Oleh sebab itu, ke depan Jambi membutuhkan sosok dengan karakter serupa : bijak, berpengalaman, religius, berakar pada adat, sekaligus visioner. Karena membangun daerah bukan hanya soal usia, melainkan soal cinta, komitmen, dan kemampuan menjaga harmoni antara tradisi dan pembangunan
Jambi sendiri sebagai provinsi memiliki tantangan yang tidak ringan. Sumber daya alam yang melimpah di sektor perkebunan, pertanian, energi, dan pariwisata belum sepenuhnya memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Persoalan sosial, pendidikan, dan kesehatan masih membutuhkan perhatian yang serius. Dalam situasi semacam ini, diperlukan sosok pemimpin yang tidak hanya memiliki energi muda, tetapi juga kebijaksanaan dan pengalaman panjang. HBA dengan segala rekam jejaknya, adalah jawaban bagi kebutuhan itu. Belakangan ini, sepak terjang HBA kian terasa dominan. Ia tampil di berbagai forum sosial dan kemasyarakatan, menguatkan peran lembaga adat, memperkokoh nilai kemanusiaan melalui PMI, dan di Senayan ia terus memperjuangkan aspirasi masyarakat Jambi. Tidak sedikit yang menilai bahwa kiprah HBA ini bukan hanya nostalgia, melainkan cermin dari relevansi yang masih sangat nyata. Masyarakat Jambi, dari hulu hingga hilir, mulai kembali menaruh harapan kepadanya. Mereka melihat bahwa sosok HBA, dengan rekam jejak dan pengabdiannya, layak DIPERTIMBANGKAN KEMBALI untuk Eksis di era digitalisasi saat ini.
Tentu regenerasi kepemimpinan tetap penting. Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa ada momen-momen ketika rakyat justru memanggil kembali pemimpin seniornya untuk menakhodai daerah. HBA, dengan kearifan lokalnya, dengan pemahaman mendalam terhadap birokrasi dan adat, serta dengan jejaring nasional yang dimilikinya, adalah sosok yang memiliki modal besar untuk kembali mengantarkan Jambi ke arah kemajuan. Bukan soal ambisi pribadi, melainkan panggilan sejarah dan kehendak masyarakat.
Maka, tidaklah berlebihan bila kita mengatakan bahwa Jambi membutuhkan figur seperti HBA : seorang pemimpin yang menyatukan ulama dan umaro, seorang tokoh yang menjaga adat sekaligus memajukan pembangunan, seorang pejuang kemanusiaan yang selalu hadir saat rakyatnya membutuhkan. Usia senja bukanlah penghalang, bahkan justru menjadi sumber energi dan inspirasi.
Ke depan, perjalanan Jambi akan menghadapi banyak tantangan sekaligus peluang. Dalam menghadapi itu semua, masyarakat tentu membutuhkan kepemimpinan yang kuat, bijaksana, dan berakar pada nilai-nilai luhur. HBA telah membuktikan dirinya sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia menjaga warisan tradisi, membangun di masa kini, dan menyiapkan jalan untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat nanti, rakyat Jambi dari hulu hingga hilir akan kembali meminta HBA untuk memimpin mereka, demi kemaslahatan umat dan kesejahteraan masyarakat.
Sejarah akan mencatat, bahwa energi kepemimpinan sejati tidak pernah padam dimakan usia. Yang abadi adalah pengabdian, keikhlasan, dan cinta kepada rakyat. HBA adalah cerminan dari itu semua.(*)
Wo Bujang
Add new comment