Hari masih pagi ketika kami mengemasi tas dan meninggalkan penginapan di Kerinci View Homestay. Udara dingin menggigit kulit. Di android terlihat suhu di sini, pagi ini Ahad 6 April 2025, mencapai 16 derajat celcius.
Tapi, semangat memburu jejak Sang Menteri menghangatkan suasana. Lebaran kali ini, ada yang istimewa di wilayah ujung barat Jambi ini. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, memilih mengisi liburan lebaran di Kerinci. Tak hanya berlebaran, Yusril beserta istri dan anak-anaknya juga menyempatkan waktu berlibur di salah satu destinasi anyar nan eksotis: Rawa Bento.
Kami mendengar kabar kalau "Om Menteri" sudah lebih dulu menelusuri rawa tertinggi di Sumatera ini. Rencana kami untuk bertemu langsung pupus. Tapi, semangat untuk merasakan apa yang dinikmati om Menteri tetap menyala. Maka, pagi itu kami melaju.

Dari homestay ke lokasi, hanya butuh 15 menit berkendara. Dulu, untuk menyusuri rawa Bento ini, kita bisa langsung dari sungai, yang berada di depan Kerinci View Home Stay. Tapi, sudah beberapa bulan belakangan jalur dari sini di tutup.
Kami pun bergerak, dengan semangat 45. Dari home Stay, kami menyusuri jalanan mulus poros Sungai Penuh–Padang. 5 menit berkendara, lalu berbelok ke sebuah jalan kecil. Jalan setapak ini masih bertanah dan berbatu. Sempit sekali. Masih bisa dilalui mobil. Saking sempitnya, kalo papasan, terpaksa satu kendaraan harus mengalah dulu. Minggir. Mencari tempat yang agak lapang.
Lima menit setelahnya, kami tiba. Rawa Bento membentang seperti cermin alam raksasa. Ia memantulkan bayangan Gunung Kerinci yang berdiri gagah di arah barat, seakan mengawasi kami dari kejauhan.
Rawa Bento terletak di ketinggian 1.375 meter di atas permukaan laut. Rawa Bento menjadi bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Rawa ini benar-benar menawarkan pengalaman wisata yang belum banyak dijamah. Ini adalah bentang alam air tawar tertinggi di Sumatera, dengan ekosistem unik yang dihuni berbagai jenis burung, kerbau liar, dan tumbuhan rawa.
Kami registrasi di pos masuk. Biaya Rp 500.000 per perahu untuk sekali perjalanan. Satu perahu bisa memuat hingga delapan orang. Jadi, kalau anda datang sendirian, atau hanya berdua dengan pasangan, terpaksa harus menunggu sampai ada penumpang lain berjumlah 8 orang. Untuk biayanya, anda bisa berbagi bersama 8 orang itu.
Kami bertujuh, bersama istri dan anak-anak, lengkap dengan jaket pelampung. Kami naik ke perahu yang melaju pelan membelah air sungai yang tenang. Langit cerah, udara sejuk, dan kabut tipis masih menggantung di permukaan rawa.
Perjalanan susur rawa memakan waktu sekitar 30 menit. Pemandangan sepanjang perjalanan begitu menakjubkan. Burung-burung rawa terbang rendah. Beberapa hinggap di dahan. Mereka seolah menyapa dan menyambut kami yang baru datang. Di kejauhan, tampak sekelompok kerbau sedang bermain. Kerbau ini dibiarkan bebas di habitat alaminya oleh sang pemilik. Beberapa burung kuntul berdiri santai di punggung kerbau. Sebuah pemandangan yang kece sekali.
Lihatlah...Pohon-pohon rawa di sana berdiri tenang. Mereka menciptakan siluet indah di tengah lanskap hijau dan biru.
Di padang rumput yang membentang hijau itu, di sinilah kami diturunkan. Tanpa pelabuhan, tanpa dermaga. Hanya rerumputan basah yang jadi tempat pijakan pertama kami. Tapi anak-anak? Mereka tak peduli. Begitu menapak, mereka langsung melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
“Ayo ke sanoooo!” teriak Almer, sambil menunjuk arah semak kecil yang tampak seperti benteng mini. Arkan, Aslan bergegas menyusul. Mereka, tertawa, menggoda, mengejar. Beberapa jatuh terguling di rumput yang licin, lalu bangkit lagi tanpa tangis. Celana mereka kotor. Tapi mata mereka berbinar.
Kami duduk tak jauh dari mereka, di atas kursi lipat yang dibawa pemandu wisata. Meja kecil juga diturunkan, lengkap dengan cemilan dan minuman hangat. Kami nonaktifkan ponsel. Tak ada suara notifikasi. Hanya desir angin dan derit kursi yang tergoyang.
Anak-anak tak kehabisan akal. Beberapa mulai bermain kejar-kejaran. Tak satu pun dari mereka memegang ponsel, atau tablet. Tidak ada yang mengeluh bosan. Justru, mereka seperti menemukan dunia baru yang belum pernah mereka kenal.
Kami tak sendiri. Di sana, ada seorang pasangan muda, bersama si kecilnya turut menikmati keindahan rawa Bento. Sang istri terlihat mondar-mandir dengan gelisah.
“Saya kebelet pipis,” katanya jujur.
Sang suami tampak bertanya ke tim pemandu wisata.
"Ke sana saja bang...," katanya sambil menunjuk ke arah semak-semak dan hutan.
Semua tertawa. Memang tak ada toilet di sini. Maka, dengan malu-malu dan ditemani sang suami, mereka menyelinap ke semak, mengikuti tradisi manusia purba: menyatu dengan alam bukan sekadar menikmati, tapi juga memanfaatkan.
Waktu berjalan tanpa terasa. Dalam satu jam, tak ada yang meminta pulang. Tak ada yang berkata lelah. Seolah-olah tempat ini punya sihir yang menunda semua rasa jenuh. Tapi waktu tetaplah waktu. Kami harus kembali ke titik awal.
Anak-anak sempat protes. “Sebentar lagi lah,” pinta mereka. Malaikat kecilku, Almeera mendadak murung. Ia berdiam diri, sambil geleng-geleng. Ia melempar sinyal enggan pulang.
"Adek mau di sini..," kata istriku.
Ia mengangguk pelan.
Tapi perahu sudah siap. Dengan sedikit rayuan, anak-anak pun mau beringsut. Dengan langkah pelan dan enggan, mereka naik satu per satu, membawa kembali kehangatan dan cerita dari padang rumput itu.
Kami kembali naik ke perahu dan menyusuri rute pulang. Canda dan tawa masih bergema di atas air. Satu per satu, kami menyimpan foto-foto indah dari spot-spot menawan. Tak heran jika tempat ini mulai dilirik sebagai destinasi unggulan Kerinci. Ada juga pilihan berkemah di tepi rawa, dengan paket Rp 700.000—lengkap dengan tenda dan fasilitas dasar, cocok untuk wisatawan yang ingin bermalam dan lebih menyatu dengan alam.
Perjalanan kami hari itu memang tak berjumpa dengan Om Menteri. Tapi kami paham kenapa Om Menteri memilih tempat ini untuk melepas penat di masa libur Lebaran. Di sini, alam bicara dengan caranya sendiri. Lewat udara sejuk, pemandangan agung Gunung Kerinci, dan kesunyian yang menyegarkan. Sebuah pelarian dari hiruk pikuk politik dan hukum di ibu kota.
Namun, kami masih bertanya-tanya, gimana kalau-kalau om Menteri kebelet buang air di sana?
Jika Anda mencari tempat baru untuk dijelajahi di Sumatera, Rawa Bento bisa jadi jawabannya. Bukan hanya panorama, tapi juga pengalaman spiritual: menyatu dengan alam di ketinggian, di atas rawa, di bawah kaki gunung tertinggi di Sumatera.
Cobalah sendiri. Siapa tahu, Anda juga akan jatuh cinta seperti kami.(*)
Galeri Foto :












Add new comment