Oleh: Hermanto
Wartawan Senior Jogjakarta
Di satu pagi yang belum selesai benar, di sudut kota yang tidak pernah disebut di peta pelancong, Ngasem membuka dirinya seperti halaman pertama dari buku tua. Angin membawa bau kelapa parut, kembang kantil, dan asap dari kayu yang dibakar terlalu cepat. Di antara kios-kios dari triplek yang sudah mulai terkelupas, seseorang menjual jadah tempe yang masih mengepul, dibungkus daun pisang yang belum kering sempurna—meninggalkan bekas basah di telapak tangan pembelinya.
Pasar Ngasem bukan pasar yang ramai dalam arti biasa. Ia tak berteriak. Ia berbisik. Dan dalam bisikannya itu, ia menyimpan bunyi-bunyi kecil yang tak bisa dicatat dengan huruf kapital: gemerisik kertas uang yang diluruskan diam-diam, desah halus seorang ibu yang lelah sejak subuh, suara lontong yang dipotong dengan benang nilon.
Dulu, suara yang paling dominan adalah suara burung. Perkutut, jalak suren, trucukan, anis kembang. Tiap pagi, sebelum matahari menyentuh genteng, lelaki-lelaki dengan peci dan rokok terselip di telinga datang menenteng sangkar, menilai suara, mengamati sorot mata. Mereka berbicara sedikit, tapi mendengar dengan cermat. Sebuah urusan yang lebih mirip meditasi ketimbang perdagangan.
Kini burung-burung telah pergi. Mereka dipindah ke Dongkelan. Ke pasar satwa yang rapi dan steril, tapi dingin. Seperti rumah sakit bagi kenangan. Yang tersisa di Ngasem bukan lagi suara kicau, tapi suara denting piring, tawa bocah, dan percakapan dalam bahasa asing yang terpatah-patah.
Karena Ngasem sekarang hidup dari makanan. Bukan dari burung.

Dari ronde yang dijual di mangkuk logam yang penyok di satu sisi. Dari gethuk yang warna merah jambunya terlalu terang tapi terlalu jujur. Dari cenil yang licin dan manis seperti masa kecil. Dari bubur sumsum yang disiram gula jawa cair yang warnanya mirip sore hari.
Mereka dijual di atas meja kayu yang diganjal batu bata. Ditata seadanya, tapi selalu ada bunga kecil di sampingnya, seperti persembahan yang tulus. Bau gula kelapa, kelapa bakar, daun pandan, dan minyak kelapa goreng menyatu menjadi aroma yang tak bisa dijual di supermarket mana pun.
Para pembeli datang dengan pakaian linen longgar dan kamera yang lebih besar dari kantong bajunya. Sebagian dari Jakarta, sebagian dari Prancis, dan entah mengapa, selalu ada satu dua yang datang dari Korea. Mereka datang pagi-pagi sekali. Tidak untuk sarapan, tapi untuk foto. Mereka tidak bertanya siapa nama penjualnya, tapi menanyakan bahan dan hashtag.
Penjualnya? Mereka tetap. Seorang perempuan tua yang menyimpan pisau di balik taplak plastik. Seorang lelaki bungkuk yang tak banyak bicara, tapi tahu kapan tahu bacemnya sudah pas. Mereka tidak tahu bahwa wajah mereka sudah muncul di ratusan akun Instagram. Mereka tidak paham algoritma, tapi mereka paham kapan minyak cukup panas.
Harga berubah, seperti selalu. Klepon kini tiga ribu. Gethuk lima ribu. Bubur sumsum delapan ribu. Tapi yang dibeli bukan cuma rasa. Yang dibeli adalah masa lalu, dibungkus dalam plastik, lalu dibawa pulang dalam format video berdurasi lima belas detik.
Tapi pasar ini bukan museum. Ia masih hidup. Masih berdenyut. Di satu sudut, seorang bocah menawarkan tisu dan baterai. Di sisi lain, seorang ibu merangkai bunga untuk keperluan sesajen. Di tengah, seorang bapak tua duduk di bangku yang sudah miring, memandang lalu lalang dengan tatapan yang sulit ditebak: marah atau pasrah, lelah atau legawa.
Ngasem tidak berubah untuk menjadi baru. Ia hanya bergeser agar tetap dikenang.
Ia bukan tempat untuk belanja. Ia adalah tempat untuk merasa.
Tempat untuk mengunyah perlahan sesuatu yang tak lagi bisa ditemukan di tempat lain: rasa yang tak rapi, bentuk yang tak sempurna, aroma yang tak dibuat-buat.
Dan mungkin itulah yang dicari orang, ketika datang ke Ngasem:
bukan rasa kenyang. Tapi rasa pulang
Add new comment