Jejak Polemik HGU PT Prima Mas Lestari di Jambi

WIB
IST

Pemerintah daerah akhirnya turun tangan menyikapi kisruh perizinan Hak Guna Usaha (HGU) PT Prima Mas Lestari (PML). Senin (28/7/2025), Bupati Bungo H. Dedy Putra menggelar pertemuan dengan Bupati Merangin H. M. Syukur di Rumah Dinas Bupati Bungo. Pertemuan ini, khusus membahas persoalan legalitas HGU perusahaan sawit itu.

Kedua kepala daerah sepakat mendorong penyelesaian administratif HGU PML secara kolaboratif sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

“Kita ingin persoalan HGU ini ditangani secara profesional, transparan, dan mengedepankan sinergi antar pemerintah daerah demi kepentingan masyarakat luas,” ujar Bupati Bungo, Dedy Putra.

Pernyataan itu diamini Bupati Merangin yang mengapresiasi inisiatif membuka ruang diskusi konstruktif. Langkah dua bupati lintas kabupaten ini menjadi titik awal koordinasi penataan perkebunan sawit berkelanjutan di Jambi. Ini mengingat HGU PT PML mencakup areal perkebunan yang melintasi dua kabupaten, Bungo dan Merangin.

Bupati Bungo menegaskan pentingnya kepastian hukum agar investasi perkebunan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Janji ke Warga Batu Kerbau Tak Kunjung Terpenuhi

Jauh sebelum langkah para bupati, konflik antara PT PML dan warga sudah bergejolak. Warga Dusun Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat (Bungo), berulang kali memprotes operasional PML yang dianggap merugikan desa.

Puncaknya pada Oktober 2022, setelah aksi demonstrasi warga, digelar pertemuan di kantor Camat Pelepat yang menghasilkan 8 poin kesepakatan antara perusahaan dan perwakilan masyarakat. PML berjanji akan memenuhi tuntutan warga yang meliputi, antara lain:

  • Dana Karang Taruna: Bantuan tunai Rp800 ribu per bulan untuk karang taruna Dusun Batu Kerbau.
  • Perbaikan Jalan: Perbaikan jalan poros dusun sebagai prioritas oleh perusahaan.
  • Program CSR: Mengaktifkan kembali program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) secara bertahap melalui pemerintah dusun.
  • Tenaga Kerja Lokal: Merekrut lebih banyak tenaga kerja lokal untuk dipekerjakan di perkebunan PT PML.
  • Kompensasi Galian C: Memberikan kontribusi Rp30 ribu per truk untuk material galian C (pasir/batu) yang diambil di wilayah dusun.

Kesepakatan bertanggal 10 Oktober 2022 yang ditandatangani pimpinan PML, tokoh masyarakat, dan disaksikan Camat serta aparat setempat itu awalnya disambut harapan tinggi. Namun, hingga tiga tahun berlalu tak satu pun janji tersebut terealisasi.

“Janji perusahaan akan memenuhi tuntutan masyarakat hanya isapan jempol saja, buktinya sudah 3 tahun tidak ada realisasinya,” keluh seorang tokoh masyarakat Batu Kerbau yang terlibat dalam perjanjian itu.

Warga masih menanti dana karang taruna yang tak kunjung cair, jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, hingga program CSR dan rekrutmen pemuda lokal yang tak pernah dijalankan perusahaan.

Pihak perusahaan pun mengakui hal ini. Humas PT PML, Apit, menyebut kesepakatan 2022 tersebut memang belum ditindaklanjuti manajemen.

“Benar, kesepakatan belum direalisasikan, saya sudah ajukan ke manajemen perusahaan untuk direalisasikan,” ujarnya kepada wartawan awal 2025 lalu. Apit beralasan perjanjian itu dibuat sebelum ia menjabat. Namun ia mengaku telah melapor ke atasannya agar komitmen yang sudah ditandatangani segera dipenuhi.

Camat Pelepat, Nasrun, S.Pd, juga membenarkan ia berulang kali mengingatkan perusahaan.

“Masalah ini sudah saya sampaikan ke humas perusahaan untuk segera ditindaklanjuti,” ujarnya, sembari berharap janji yang diingkari PML tersebut tidak dibiarkan berlarut.

Kenyataannya, hingga awal 2025, tidak ada perubahan di lapangan, aspirasi warga Batu Kerbau masih terabaikan.

Beroperasi Tanpa HGU, Kewajiban Plasma Diabaikan

Selain persoalan dengan warga, PT PML mendapat sorotan tajam terkait legalitas lahannya. Perusahaan ini ternyata beroperasi tanpa mengantongi HGU atas ribuan hektare kebun sawit yang dikelolanya. Data LSM Perkumpulan Hijau mengungkap, PT PML termasuk dalam 67 perusahaan perkebunan di Jambi yang tidak memiliki sertifikat HGU sama sekali.

Di Kabupaten Bungo sendiri terdapat 7 perusahaan sawit tanpa HGU, salah satunya PT Prima Mas Lestari dengan izin lokasi 12.774 hektare dan IUP 6.100 hektare.

Ia mempertanyakan bagaimana mungkin ratusan ribu hektare lahan dikelola perusahaan tanpa legalitas yang jelas. Lemahnya pengawasan diduga membuka peluang praktik ilegal hingga potensi korupsi perizinan di sektor perkebunan.

Tak hanya soal HGU, kewajiban perusahaan untuk membangun kebun plasma 20% untuk masyarakat sekitar juga terabaikan. Regulasi pemerintah (PP No. 18/2021) mewajibkan setiap perusahaan sawit mengalokasikan minimal 20% dari total lahannya bagi kebun plasma kemitraan masyarakat.

Faktanya, hingga kini PT PML belum merealisasikan kebun plasma untuk warga di sekitar konsesinya.

Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan bagi komunitas lokal yang seharusnya ikut sejahtera dari hadirnya perkebunan. Kalangan DPRD dan aktivis di Jambi pun mendesak pemerintah lebih tegas. Langkah yang diharapkan termasuk audit menyeluruh izin perkebunan dan publikasi daftar perusahaan tak ber-HGU, agar pengawasan melibatkan masyarakat luas.

Masalah Lingkungan, Galian C hingga PETI

Polemik PML juga merembet ke dugaan pelanggaran lingkungan. Warga Batu Kerbau menuding aktivitas penambangan material (galian C) oleh perusahaan di wilayah dusun mereka ikut menjadi sumber masalah. Dalam poin kesepakatan 2022, PT PML sebenarnya setuju memberikan kompensasi Rp30 ribu per rit (trip) untuk material galian C yang diambil dari desa.

Kenyataannya, penambangan tanah urug/pasir oleh PML di sekitar dusun diduga tidak berizin. Sehingga ilegal secara hukum. Masyarakat mengeluhkan kerusakan lingkungan akibat galian tersebut, sementara janji kontribusi perusahaan tak terealisasi.

Permasalahan lingkungan kian kompleks dengan kehadiran pabrik kelapa sawit (PKS) milik PT PML. PKS ini diduga beroperasi tanpa izin lengkap dan tidak memenuhi standar pengolahan limbah. Bahkan muncul tudingan bahwa limbah pabrik dibuang ke sungai sehingga mencemari air di sekitar perkebunan. Persoalan legalitas izin PKS dan pembuangan limbah ini tengah dipertanyakan oleh warga dan pegiat lingkungan, yang mendesak dinas terkait untuk turun memeriksa.

Lebih memprihatinkan, di dalam area konsesi PT PML marak aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Lokasi perkebunan yang terpencil dimanfaatkan oknum penambang ilegal untuk menjalankan tambang emas di alur-alur sungai kecil kawasan tersebut.

Pihak perusahaan dinilai lalai karena membiarkan PETI berlangsung di lahannya. Puncaknya, pada Mei 2020 terjadi insiden bentrokan terkait PETI di Dusun Batu Kerbau. Aparat Polres Bungo yang turun menertibkan PETI dengan alat berat di area itu mendapat perlawanan sengit.

Tim kepolisian dibagi dua. Satu tim menuju mess PT PML sebagai basecamp, tim lainnya menyergap lokasi tambang ilegal. Sempat satu ekskavator dan seorang pelaku PETI diamankan, namun rombongan polisi dihadang sekelompok warga (mayoritas ibu-ibu) bersenjatakan parang di jalan keluar.

Situasi memanas, Kapolsek Pelepat AKP Suhendri terluka terkena tusukan senjata tajam dan harus dievakuasi ke klinik PT PML untuk mendapat perawatan. Massa yang beringas juga merusak kendaraan petugas, memaksa polisi mundur. Pelaku PETI yang tadinya ditangkap terpaksa dilepaskan kembali demi meredakan ketegangan dan menyelamatkan petugas yang disandera.

Insiden tersebut menyorot betapa maraknya PETI dalam konsesi PT PML hingga memicu kerusuhan. Praktik tambang emas ilegal ini merusak lingkungan sungai dan sawah, tetapi berlangsung seolah tanpa pengawasan. Kala itu, tidak terlihat upaya berarti dari pihak perusahaan untuk mencegah atau menertibkan PETI di arealnya, sehingga penambang leluasa beroperasi. Kondisi ini menambah catatan buruk PT PML dalam aspek lingkungan dan kepatuhan hukum di lapangan.

Konsesi Ribuan Hektare Belum Bersertifikat

Hingga pertengahan 2025, PT Prima Mas Lestari tak kunjung memiliki sertifikat HGU atas lahan perkebunannya. Padahal izin lokasi perusahaan mencapai 12.774 hektare dan sudah mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk 6.100 hektare lahan sawit di wilayah Bungo (sebagian lahan bahkan masuk kabupaten tetangga).

Artinya, ribuan hektare kebun yang telah berproduksi sejak beberapa tahun terakhir itu dikelola tanpa dasar hak guna lahan yang sah. Operasi tanpa HGU ini menimbulkan tanda tanya di masyarakat, bagaimana mungkin perusahaan sebesar PML bisa menjalankan bisnis di atas tanah yang statusnya belum jelas? Situasi ini juga rawan menimbulkan sengketa lahan di kemudian hari, serta dicurigai membuka celah penyimpangan seperti perambahan kawasan hutan dan praktik suap perizinan.

Pemerintah daerah pun ditantang keseriusannya menertibkan hal ini. Langkah koordinasi Bupati Bungo dan Bupati Merangin memberi secercah harapan bagi penuntasan polemik berkepanjangan tersebut. Bola kini di tangan pemerintah untuk menegakkan aturan.

Penertiban HGU PT PML beserta kewajiban-kewajiban perusahaan (dari kebun plasma, CSR, hingga lingkungan) harus segera direalisasikan agar kejadian serupa tak terulang. Publik menanti tindakan konkret, bukan sekadar wacana. Warga Batu Kerbau yang sudah tiga tahun menunggu janji, berharap kali ini hak mereka diperhatikan. Sementara itu, penegak hukum diharapkan proaktif mengusut dugaan pelanggaran lingkungan di area PT PML.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.