Diskusi penurunan stunting digelar di Aula Bappeda Provinsi Jambi, Jumat 19 September 2025. Acara dibuka langsung Kabid Perencanaan Pembangunan Manusia (PPM) Bappeda Provinsi Jambi, Nico. Ia menekankan pentingnya kerja lintas sektor dalam mengejar target nasional.
“Stunting bukan hanya urusan kesehatan. Ini menyangkut sanitasi, pendidikan, hingga perilaku masyarakat. Data harus jadi pijakan agar program kita tepat sasaran,” kata Nico saat membuka acara.
Hadir dalam forum itu sejumlah perwakilan OPD, termasuk Ade Irawansyah, Bu Nana, serta tenaga ahli gubernur Prof Muchtar Latif. Diskusi berlangsung untuk membedah peta jalan percepatan penurunan stunting di Jambi.
Prof Muchtar Latif dalam paparannya menyoroti gap antara target dan realisasi.
“Provinsi Jambi menargetkan 12% pada 2024, tapi capaian kita masih 17,1%. Ini sinyal bahwa faktor non-kesehatan, seperti air bersih, jamban, kemiskinan perlu mendapat porsi intervensi lebih besar,” jelasnya.
Mantan Rektor UIN STS Jambi itu menajamkan sorotan ke kantong merah stunting dan kaitannya dengan faktor sosial-ekonomi serta layanan dasar.
“Kalau kita zoom in ke kantong merah, pola besarnya serupa, kemiskinan tinggi, pendidikan rendah, literasi kesehatan rendah, pekerjaan tidak tetap, pendapatan rumah tangga tipis, lalu berujung pada piring makan yang miskin protein,” jelasnya.
Menurut Prof Muchtar, angka stunting yang turun tapi tersendat menandakan masalahnya lintas sektor.
“Intervensi spesifik di sektor kesehatan itu penting, tetapi hanya menyentuh sekitar sepertiga penyebab. Dua pertiga sisanya ada di air bersih, sanitasi, pendidikan ibu, kemiskinan, dan pola asuh. Jika jamban tidak sehat, air tidak layak, kunjungan posyandu rendah, maka gizi yang diberikan akan ‘bocor’ di jalan,” bebernya..
Prof Muchtar menekankan hubungan langsung antara pengangguran, pendapatan, dan status gizi.
“Rumah tangga dengan penghasilan harian tak menentu cenderung mengandalkan karbo murah. Ibu hamil di keluarga seperti ini rawan anemia dan KEK (kurang energi kronis). Lahir bayi BBLR, lalu siklus infeksi–gagal tumbuh berulang. Ini spiral kemiskinan gizi,” bebernya.
Soal layanan dasar, Prof Muchtar lugas.
“Ujung desa kerap hanya disapa ketika program datang. Puskesmas dan posyandu butuh tenaga gizi tambahan, sanitarian aktif, dan alat ukur standar di setiap pos. Ketersediaan obat dan PMTjangan musiman. Kunjungan posyandu harus didorong di atas 80%,” jelasnya.
Ia mendukung langkah pemerintah menyiapkan program di kantong merah.
“Task force lintas OPD perlu turun dengan paket lengkap: jambanisasi cepat, air bersih darurat, bansos bergizi (telur/ikan), kelas ibu hamil & balita, serta home visit untuk kasus merah. Target sederhana tapi terukur: 90% balita terukur ulang, 80% ibu hamil konsumsi Fe sesuai standar, 70% rumah tangga punya jamban sehat & air layak, dan data Web Aksi ter-update penuh,” ujarnya.
Prof Muchtar juga mengingatkan bahasa anggaran.
“Lindungi pos anggaran stunting dari refocusing. Tagging lintas OPDharus jelas—PU untuk air dan sanitasi, Sosial untuk bansos bergizi, Pendidikan untuk literasi gizi & remaja putri, Kesehatan untuk intervensi spesifik. Bappeda jadi dirigen sinkronisasi. Dashboard publik perlu ditampilkan supaya ada kontrol sosial—warga tahu desa mana yang maju, mana yang tertinggal,” bebernya.
Tenaga Ahli Gubernur lainnya, Muawwin MM, menambahkan bahwa pemerintah sudah berada di jalur yang benar.
“Dari 22,4% di 2021 kita berhasil turun ke 17,1% di 2024. Artinya ada progres. Ke depan, desa-desa kantong merah seperti Pemayung di Batanghari, Kumpeh Ulu di Muaro Jambi, hingga Mendahara Ulu di Tanjabtim perlu fokus program . Prioritasnya jambanisasi, akses air, edukasi gizi, dan home visit balita stunting,” ujarnya.
Ia menyebut Batanghari, Muaro Jambi, Tebo, Sungai Penuh, dan Tanjab Timur sebagai contoh wajah berlapis persoalan.
“Di Pemayung (Batanghari), jambanisasi mendesak. Di Kumpeh Ulu (Muaro Jambi), air bersih harus jadi prioritas cepat. Tanah Kampung (Sungai Penuh) butuh penguatan SDM gizi dan home visit untuk balita merah. Mendahara Ulu (Tanjabtim) menuntut sanitasi dan PHBS berbasis komunitas. Satu resep untuk semua wilayah tidak efektif, harus pasang kacamata desa,” jelasnya.
Forum ini juga menyoroti kontribusi intervensi spesifik (kesehatan) yang hanya bisa mengungkit 30% penyebab stunting. Sisanya dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan. Karena itu, Bappeda menegaskan koordinasi lintas OPD akan diperkuat, termasuk integrasi program air bersih, sanitasi, dan bansos bergizi.
Diskusi ditutup dengan rekomendasi membentuk tasku force percepatan di desa-desa dengan prevalensi stagnan atau naik, seperti Batanghari dan Sungai Penuh. Pemerintah optimistis, dengan kolaborasi lintas sektor, Jambi bisa terus menurunkan prevalensi stunting hingga mendekati target nasional.(*)
Add new comment