JAMBI – Kelompok I mahasiswa doktoral Prodi Manajemen Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi telah mempresentasi mata kuliah Filsafat dan Sejarah Perkembangan Ilmu.
Kelompok yang beranggotakan tokoh-tokoh kenamaan Jambi seperti Hasan Basri Agus, Nasrun Arbain, Syahrasaddin, dan Sepdinal ini mengupas tuntas evolusi ilmu pengetahuan dalam sesi diskusi akademik mendatang.
Bahan presentasi yang disusun di bawah bimbingan dosen pengampu Prof. Dr. Ahmad Syukri, SS. M.Ag dan Prof. Dr. Minnah El Widdah, M.Ag ini menawarkan perjalanan intelektual yang padat.
Materi tersebut dirancang untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai fondasi rasionalitas manusia, mulai dari era klasik hingga tantangan teknologi modern.
Dalam paparan tersebut, dijelaskan secara tegas perbedaan antara filsafat murni dan filsafat ilmu. Filsafat didefinisikan sebagai bidang yang membahas pemikiran dalam makna luas, bersifat spekulatif, reflektif, dan mencari kebenaran hakiki (ultimate truth).
Sementara itu, Filsafat Ilmu lebih spesifik. Ini mempelajari metode ilmiah dan fondasi rasional dari sains itu sendiri."Filsafat ilmu mencoba memahami bagaimana ilmu pengetahuan dibangun, diuji, dan dipertahankan," demikian bunyi salah satu poin presentasi. Berbeda dengan filsafat yang abstrak, ilmu pengetahuan bersifat empiris, eksperimental, dan mencari kebenaran yang faktual serta terukur.
Prof. Syukri memberikan pandangan menarik bahwa alat ilmu pengetahuan itu tidak hanya akal, tetapi mencakup panca indera, hati, alam, dan wahyu. Beliau menyebutkan, "Filsafat itu olah rasa".
Para pemateri juga menguraikan tiga landasan utama yang menopang sebuah ilmu:
- Ontologi: Berkaitan dengan "apa" yang dikaji atau hakikat realitas objek tersebut.
- Epistemologi: Menjawab "bagaimana" cara mendapatkan pengetahuan tersebut (metodologi).
- Aksiologi: Membahas "untuk apa" ilmu itu digunakan, yang berkaitan dengan nilai dan etika.
Presentasi ini mengajak audiens melintasi waktu dengan garis kronologis yang jelas:
- Yunani Kuno (600 SM - 400 M): Ini adalah masa transisi dari pola pikir berbasis mitos (mitosentris) ke akal (logosentris). Tokoh seperti Thales menganggap air sebagai prinsip dasar segala sesuatu, sementara Aristoteles meletakkan dasar logika formal.
- Zaman Keemasan Islam (400 M - 1400 M): Saat Eropa mengalami masa kegelapan (Dark Ages), dunia Islam justru menjaga warisan sains Yunani. Ciri khas periode ini adalah integrasi wahyu (iman) dan akal. Muncul tokoh besar seperti Al-Khwarizmi (Bapak Aljabar), Ibn Sina (Avicenna) dengan Kanon Kedokteran-nya, dan Al-Haytham sebagai Bapak Optik Modern.
- Renaisans & Modern: Eropa bangkit kembali dengan semangat humanisme. Copernicus menantang geosentrisme dengan heliosentrisme, dan Galileo menekankan pentingnya eksperimen. Puncaknya adalah Sir Isaac Newton yang memandang alam semesta sebagai mesin raksasa yang deterministik.
Memasuki era filsafat sains modern, diskusi menyoroti pandangan Karl Popper. Menurutnya, sebuah teori baru bisa disebut ilmiah jika ia dapat disalahkan (falsifiable). "Sains berkembang bukan dengan pembuktian kebenaran (verifikasi), tetapi melalui upaya penyanggahan," ungkap materi tersebut.
Selain itu, konsep Thomas Kuhn tentang Paradigm Shift juga dibahas. Sains tidak berjalan lurus (linear), tetapi melalui siklus revolusi. Ketika muncul anomali yang tak terjelaskan, terjadilah krisis yang melahirkan paradigma baru.
Di masa kini (1900 M - sekarang), batas antara sains murni dan teknologi makin kabur (Technoscience). Munculnya Fisika Kuantum telah meruntuhkan determinisme kaku Newton, sementara Teknologi Informasi dan AI mengubah cara manusia memproses pengetahuan secara fundamental.
Presentasi ditutup dengan penekanan pada nilai. Perilaku manusia ditentukan oleh berbagai nilai, mulai dari nilai ilmu, agama, ekonomi, hingga budaya . Mengutip kata-kata bijak Albert Einstein yang menjadi penutup presentasi: "Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh.".(*)
Add new comment