Oleh : Dr. FAHMI RASID
Dosen UM. Jambi
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT masih dan akan terus menjadi TULANG PUNGGUNG EKONOMI PROVINSI JAMBI. Hal ini bukan sekadar narasi normatif, tetapi fakta statistik yang tercermin jelas dalam Analisis Isu Terkini Provinsi Jambi 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi. Sektor perkebunan, dengan kelapa sawit sebagai komoditas utama, berkontribusi signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan rumah tangga pedesaan, serta stabilitas ekonomi daerah.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, fluktuasi harga komoditas, dan tekanan lingkungan internasional, kelapa sawit justru menjadi jangkar ekonomi rakyat Jambi. Namun, memasuki tahun 2026, sektor ini dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks: produktivitas yang stagnan, ketimpangan struktur usaha, lemahnya hilirisasi, serta tuntutan keberlanjutan lingkungan. Semua itu menuntut arah kebijakan daerah yang lebih progresif, berbasis data, dan berpihak pada petani rakyat.
Dominasi Perkebunan Rakyat : Kekuatan Sosial-Ekonomi Jambi
Sensus Pertanian 2023 Tahap II yang dirilis BPS Provinsi Jambi menunjukkan fakta krusial: terdapat 271.702 Usaha Tani Perorangan (UTP) kelapa sawit di Provinsi Jambi. Angka ini menegaskan bahwa struktur perkebunan sawit Jambi didominasi oleh perkebunan rakyat, bukan oleh korporasi besar.
Kabupaten Merangin dan Tebo tercatat sebagai wilayah dengan jumlah UTP terbesar—masing-masing 45.360 unit dan 45.075 unit, disusul oleh Muaro Jambi, Batang Hari, dan Bungo. Data ini membantah anggapan bahwa sawit identik dengan modal besar semata. Di Jambi, sawit adalah ekonomi rakyat, dikelola oleh petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada produktivitas kebun.
Ekonom pertanian Universitas Lampung, Prof. Bustanul Arifin, menegaskan bahwa dominasi perkebunan rakyat merupakan kekuatan strategis nasional. : “Perkebunan rakyat adalah tulang punggung sawit Indonesia. Namun kekuatan ini hanya akan berdampak maksimal jika didukung oleh kebijakan teknologi, akses pembiayaan, dan kepastian pasar,” ujarnya. Pernyataan ini relevan bagi Jambi. Tanpa intervensi kebijakan yang tepat, kekuatan kuantitatif petani rakyat justru berisiko menjadi kerentanan struktural.
Ketimpangan Struktur Usaha : Persoalan Klasik yang Belum Tuntas
Di balik besarnya jumlah UTP, struktur usaha sawit di Jambi masih timpang. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah Usaha Perkebunan Besar (UPB) hanya 120 unit, sementara Usaha Tani Lainnya berbadan hukum (UTL) tercatat 87 unit di seluruh provinsi. Ketimpangan ini menciptakan paradoks. Petani rakyat mendominasi jumlah pelaku usaha, tetapi penguasaan rantai nilai, mulai dari pengolahan, distribusi, hingga akses pasar, masih banyak dikendalikan oleh perusahaan besar. Akibatnya, posisi tawar petani tetap lemah, terutama dalam penentuan harga Tandan Buah Segar (TBS).
Pakar geografi ekonomi UGM, Dr. Rika Harini, menilai kondisi ini sebagai persoalan struktural yang berpotensi memperlebar kesenjangan. “Petani berada di sektor hulu dengan risiko tinggi dan nilai tambah rendah, sementara keuntungan terbesar justru dinikmati di sektor hilir. Tanpa kehadiran negara, ketimpangan ini akan terus direproduksi,” tegasnya. Bagi Jambi, isu ini harus menjadi perhatian utama dalam perencanaan pembangunan 2026. Kebijakan sawit tidak boleh berhenti pada produksi, tetapi harus menyasar penguatan posisi tawar petani dalam sistem ekonomi regional.
Produktivitas dan Efisiensi : Agenda Mendesak Menuju 2026
Analisis Isu Terkini Provinsi Jambi 2025 menempatkan isu produktivitas sebagai tantangan utama sektor perkebunan. Banyak kebun rakyat masih menghadapi persoalan klasik : tanaman tua, penggunaan bibit tidak unggul, keterbatasan pupuk, serta minimnya akses pembiayaan formal. Laporan FAO menunjukkan bahwa produktivitas sawit rakyat di Indonesia rata-rata 30–40 persen lebih rendah dibandingkan perkebunan besar. Kondisi ini juga tercermin di Jambi, terutama pada kebun-kebun rakyat yang belum diremajakan. Oleh karena itu, Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) harus menjadi agenda prioritas kebijakan daerah 2026. Pemerintah Provinsi Jambi perlu memperkuat sinergi dengan pemerintah pusat, perbankan, BPDPKS, serta lembaga pendamping petani. PSR tidak boleh berhenti sebagai program administratif, tetapi harus dipastikan benar-benar meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani.
Hilirisasi Sawit: Dari Komoditas Mentah ke Sumber Nilai Tambah
Salah satu kelemahan utama sektor sawit Jambi adalah minimnya hilirisasi. Hingga kini, sebagian besar produksi sawit masih dijual dalam bentuk TBS atau Crude Palm Oil (CPO), dengan nilai tambah yang terbatas di daerah.
Pakar manajemen dan perubahan, Prof. Rhenald Kasali, menekankan pentingnya inovasi dan hilirisasi dalam pembangunan ekonomi daerah. ; “Daerah penghasil tidak boleh puas hanya menjual bahan mentah. Tanpa hilirisasi, kita kehilangan peluang ekonomi, lapangan kerja, dan kedaulatan industri,” ujarnya. Hilirisasi sawit di Jambi dapat diarahkan pada pengembangan industri turunan seperti minyak goreng, oleokimia, biodiesel, hingga bio-energi. Selain meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), langkah ini juga menciptakan efek berganda bagi perekonomian lokal.
Sawit dan Keberlanjutan: Tantangan Global, Tanggung Jawab Lokal
Isu keberlanjutan menjadi tantangan tak terelakkan. Tekanan global terhadap praktik sawit berkelanjutan semakin kuat, terutama terkait deforestasi, emisi karbon, dan konflik lahan. Tokoh lingkungan nasional, Dr. Emil Salim, menegaskan bahwa masa depan sawit Indonesia bergantung pada transformasi ekologis. : “Sawit tidak boleh diposisikan sebagai musuh lingkungan. Yang bermasalah bukan komoditasnya, tetapi tata kelolanya,” tegasnya. Bagi Jambi, pendekatan sawit berkelanjutan berbasis petani rakyat menjadi kunci. Pendampingan sertifikasi ISPO, penguatan kelembagaan koperasi petani, serta integrasi sawit dengan konservasi lingkungan harus menjadi bagian integral kebijakan daerah 2026.
Peran Strategis Pemerintah Daerah Provinsi Jambi, Bappeda dan Instansi Teknis terkait.
Data statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi memberikan gambaran objektif mengenai posisi strategis sektor kelapa sawit dalam struktur ekonomi daerah. Dominasi perkebunan rakyat, luas sebaran wilayah, serta kontribusinya terhadap lapangan kerja dan pendapatan masyarakat pedesaan menjadikan sawit sebagai sektor yang tidak dapat dikelola secara parsial dan sektoral. Dalam konteks inilah, Pemerintah Provinsi Jambi, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Instansi Teknis terkait memegang peran kunci dalam menata arah kebijakan sawit secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Sebagaimana tertuang dalam RPJMD Provinsi Jambi Tahun 2025–2029, visi pembangunan daerah menekankan terwujudnya Provinsi Jambi yang MANTAP, berdaya saing, dan berkelanjutan. Visi tersebut dijabarkan ke dalam misi pembangunan yang antara lain menekankan penguatan ekonomi berbasis sumber daya lokal, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sektor kelapa sawit, sebagai komoditas unggulan daerah, secara substantif berada di jantung pencapaian visi dan misi tersebut.
Dalam dokumen RPJMD 2025–2029, isu penguatan sektor pertanian dan perkebunan rakyat ditempatkan sebagai salah satu prioritas pembangunan ekonomi daerah. Hal ini selaras dengan kondisi riil Jambi, di mana lebih dari 270 ribu usaha perkebunan sawit dikelola oleh petani rakyat. Oleh karena itu, Bappeda tidak hanya berfungsi sebagai koordinator perencanaan, tetapi juga sebagai policy integrator yang memastikan bahwa kebijakan sawit terhubung secara konsisten dengan arah pembangunan jangka menengah daerah.
Perencanaan sawit ke depan tidak dapat lagi diposisikan sebagai urusan teknis Dinas Perkebunan semata. Kompleksitas persoalan sawit, mulai dari produktivitas kebun rakyat, keterbatasan hilirisasi, konflik lahan, hingga tuntutan keberlanjutan lingkungan, menuntut pendekatan lintas sektor dan lintas perangkat daerah. Dalam kerangka RPJMD 2025–2029, Bappeda memiliki mandat strategis untuk menyinergikan kebijakan sektor pertanian, perindustrian, lingkungan hidup, koperasi dan UMKM, keuangan daerah, hingga pendidikan dan riset.
Sebagai contoh, agenda peningkatan produktivitas sawit rakyat tidak hanya berkaitan dengan penyediaan bibit unggul dan pupuk, tetapi juga menyangkut akses pembiayaan perbankan, penguatan kelembagaan petani, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Di sinilah peran Bappeda menjadi krusial dalam mengorkestrasi program lintas OPD agar sejalan dengan target RPJMD dan RKPD tahunan.
Lebih jauh, RPJMD Provinsi Jambi 2025–2029 juga menekankan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan inklusif. Prinsip ini sangat relevan dengan struktur sawit Jambi yang didominasi oleh perkebunan rakyat. Tanpa perencanaan berbasis data dan keberpihakan yang jelas kepada petani kecil, pembangunan sawit berisiko memperdalam ketimpangan antara pelaku usaha hulu dan hilir. Oleh karena itu, Bappeda perlu memastikan bahwa kebijakan hilirisasi, industrialisasi, dan pengembangan kawasan ekonomi tidak mengabaikan kepentingan petani sebagai aktor utama sektor ini.
Dalam konteks keberlanjutan, visi dan misi Gubernur Jambi juga menegaskan komitmen terhadap pembangunan yang ramah lingkungan dan berketahanan iklim. Sawit, yang kerap menjadi sorotan dalam isu lingkungan global, harus dikelola secara lebih bertanggung jawab. RPJMD 2025–2029 telah memuat arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, termasuk pengendalian alih fungsi lahan dan penguatan tata kelola lingkungan. Bappeda berperan memastikan bahwa kebijakan sawit terintegrasi dengan target perlindungan lingkungan hidup, pengurangan emisi, serta adaptasi terhadap perubahan iklim.
Dengan demikian, peran strategis Pemerintah Daerah dan Bappeda bukan sekadar menyusun dokumen perencanaan, tetapi memastikan bahwa setiap program dan kebijakan sawit benar-benar menjadi instrumen pencapaian visi Gubernur Jambi: meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperkuat daya saing ekonomi daerah, serta menjaga keberlanjutan lingkungan.
Tanpa perencanaan yang berbasis data, terintegrasi, dan berpihak pada petani rakyat, potensi besar sawit Jambi justru dapat berubah menjadi beban sosial dan ekologis. Sebaliknya, dengan peran Bappeda yang kuat dan konsisten dalam kerangka RPJMD 2025–2029, kelapa sawit dapat ditata sebagai fondasi pembangunan daerah yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, sejalan dengan arah kepemimpinan dan visi besar Gubernur Jambi.
.
Menatap 2026 dengan Kebijakan yang Berani dan Berkeadilan
Perkebunan kelapa sawit Jambi telah terbukti menjadi penggerak utama ekonomi rakyat. Dengan lebih dari 271 ribu usaha perkebunan rakyat, Jambi memiliki modal sosial dan ekonomi yang luar biasa. Memasuki 2026, tantangan yang dihadapi menuntut kebijakan yang lebih berani, adil, dan berkelanjutan. Jika pemerintah daerah mampu menata ulang arah kebijakan sawit, berbasis data, berpihak pada petani, mendorong hilirisasi, dan menjaga keberlanjutan, maka sawit tidak hanya akan bertahan sebagai komoditas unggulan, tetapi menjadi fondasi kesejahteraan jangka panjang masyarakat Jambi.
Referensi Singkat
• Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. Analisis Isu Terkini Provinsi Jambi 2025
• RPJMD 2025-2029
• BPS Provinsi Jambi. Sensus Pertanian 2023 Tahap II
• Bustanul Arifin. Ekonomi Pertanian Indonesia
• FAO. Smallholder Oil Palm Productivity Report
• Emil Salim. Pembangunan Berkelanjutan Indonesia
Add new comment