Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd.
(Wk. Ketua Wantim MUI Provinsi Jambi)
A. Pendahuluan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan sekedar lembaga formal keagamaan, melainkan "tenda besar" (The Great Tent) bagi seluruh elemen umat Islam di Indonesia. Sebagai lembaga yang lahir dari rahim pertemuan para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim, MUI memikul mandat ganda yang sangat strategis: Khadimul Ummah (pelayan umat) dan Shodiqul Hukumah (mitra pemerintah). Di tengah arus globalisasi yang seringkali menggerus nilai-nilai lokal, kehadiran MUI menjadi vital sebagai kompas moral Akhlakul Karimah. Pentingnya peran ini bukan hanya dalam menjaga akidah, tetapi juga dalam memastikan bahwa napas keislaman sejalan dengan komitmen keumatan dan kebangsaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Hefner (2021), institusi keagamaan di Indonesia memiliki peran unik dalam menjaga stabilitas demokrasi melalui pendekatan moral akhlak yang inklusif. Pendahuluan ini menjadi landasan untuk memahami bahwa khidmat MUI adalah bentuk ibadah sosial yang manifestasinya menyentuh aspek politik, ekonomi, hingga budaya.
B. Sejarah, Akuntabilitas, dan Pengabdian MUI: Perspektif Keumatan dan Kebangsaan
Sejarah berdirinya MUI pada 26 Juli 1975 mencerminkan keinginan luhur untuk menyatukan visi ulama dalam mengawal pembangunan nasional. Selama beberapa dekade, MUI telah membuktikan akuntabilitasnya melalui ribuan fatwa yang menjadi panduan hukum positif dan etika moral publik. Pengabdian ini tidak bersifat parsial, melainkan menyeluruh merangkul keberagaman ormas Islam. Akuntabilitas MUI tidak hanya diukur dari tertib administrasi, tetapi dari sejauh mana fatwa-fatwanya mampu meredam konflik dan memberikan solusi serta pembinaan atas keraguan umat. Menchik (2020) berpendapat bahwa otoritas keagamaan di Indonesia, seperti MUI, telah berhasil membangun "toleransi tanpa liberalisme", di mana nilai-nilai agama tetap menjadi fondasi hukum tanpa mengabaikan realitas kemajemukan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pengabdian MUI adalah bentuk nyata dari nasionalisme religius yang menempatkan kepentingan bangsa sebagai bagian dari maqashid syariah.
C. Kriteria Ulama: Pelayan Umat dan Bangsa
Menjadi ulama di era kontemporer menuntut kualifikasi yang melampaui sekedar penguasaan teks. Kriteria utama adalah integrasi antara kedalaman ilmu (tafakkuh fiddin) dan kearifan sosial (hikmah). Ulama hari ini di era global dan digital, yang sangat penting dan strategis keberadaannya adalah mereka yang mampu menerjemahkan bahasa langit ke dalam bahasa bumi serta memberikan solusi nyata bagi kemiskinan, kesenjangan ketidakadilan, dan degradasi moral atau akhlak bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa. Menurut Azra (2022), otoritas keagamaan saat ini harus memiliki kemampuan rekontekstualisasi ajaran Islam agar tetap relevan dengan tantangan modernitas. Ulama pelayan bangsa tidak boleh bersikap eksklusif; mereka harus menjadi jembatan bagi dialog intern umat, antar-umat, dan antara umat dengan pemerintah, sekaligus sebagai penguat kohesi sosial. Dalam pandangan Islam, sangat jelas dan tegas ulama adalah pewaris nabi yang menjadi pemandu (guidance) dan memikul beban penderitaan umatnya, bukan justru menjadi beban bagi umat.
D. Karakter Pemimpin MUI: Merujuk Kitab Klasik dan Kontemporer
Karakter kepemimpinan dalam MUI harus merujuk pada standar ganda yang harmonis. Dalam khazanah klasik, Al-Mawardi (1058) dalam Al-Ahkam as-Sultaniyyah menekankan syarat Al-Adalah (keadilan paripurna) dan Al-Ijtihad (kemampuan intelektual untuk memecahkan masalah baru). Pemimpin harus memiliki keberanian moral untuk mengatakan yang benar di hadapan penguasa maupun massa. Secara kontemporer, Casanova (2020) menyoroti pentingnya pemimpin agama yang memiliki visi pluralisme global namun tetap teguh pada identitas dan integritas iman. Pemimpin MUI diharapkan memiliki karakter mutawasith "washatiyah" (moderat), tidak condong pada ekstrem kiri maupun kanan. Ia harus menjadi figur ayah (abun) bagi umat dan bangsa, yang merangkul dengan cinta, meluruskan dengan ilmu, membina dengan sabar dan ikhlas, bukan dengan caci maki apalagi menghujat perbedaan.
E. Dinamika Keumatan dan Kebangsaan di Era Global dan Digital
Era digital telah mengubah lanskap dakwah dan interaksi sosial. Otoritas ulama kini ditantang oleh fenomena "ustaz google" dan disrupsi informasi. Bayat (2023) menjelaskan bahwa kehidupan beragama di era modern sangat dipengaruhi oleh dinamika ruang publik digital yang seringkali memicu polarisasi. MUI harus hadir sebagai filter atas derasnya arus hoaks dan narasi kebencian yang mengancam integritas umat dan kebangsaan. Digitalisasi bukan musuh, melainkan alat atau media wasilah untuk memperluas jangkauan khidmat. Transformasi digital dalam sertifikasi halal dan edukasi fatwa ekonomi syariah adalah bukti adaptasi MUI di era global dan digital. Namun, di tengah kemajuan ini, MUI tetap harus waspada terhadap dampak sekularisme digital yang dapat menjauhkan umat dari akar spiritualnya. Woodward (2021) mencatat bahwa keberhasilan Islam Indonesia di masa depan bergantung pada bagaimana lembaga seperti MUI menyeimbangkan tradisi pesantren, kehidupan keumatan, keagamaan dan kebangsaan dengan kemajuan teknologi informasi sebagai instrumen kemajuan dan kemodernan sebagai sebuah keniscayaan.
F. Penutup
MUI dalam menjalankan misi Khadimul Ummah yang diemban adalah amanah peradaban. MUI harus tetap berdiri teguh sebagai penjaga gawang moralitas akhlak bangsa. Sinergi antara pemikiran klasik yang kokoh dan pendekatan kontemporer yang dinamis akan menjadikan MUI lembaga yang selalu relevan (shalihun likulli zaman wa makan). Dengan semangat inklusif keumatan dan kebangsaan yang berketuhanan, MUI akan terus menjadi obor bagi perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih beradab, berkeadilan dan sejahtera.
Referensi:
- Al-Ghazali, I. (1111). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Ma'rifah. (Kitab Klasik)
- Al-Mawardi. (1058). Al-Ahkam as-Sultaniyyah wal-Wilayat ad-Diniyyah. Mesir: Darul Hadits. (Kitab Klasik)
- An-Nawawi, I. (1277). Al-Minhaj fi Syarh Sahih Muslim. Kairo: Matba'ah Al-Misriyyah. (Kitab Klasik)
- Asy-Syatibi. (1388). Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Kairo: Dar Ibn Affan. (Kitab Klasik)
- Azra, A. (2022). Recontextualizing Islam in Indonesia: Contemporary Religious Authority. London: Routledge. (Inggris Terbaru)
- Bayat, A. (2023). Revolutionary Life: The Everyday of the Arab Spring. Cambridge: Harvard University Press. (Inggris Terbaru)
- Casanova, J. (2020). Global Religious Pluralism and Secularism. New York: Oxford University Press. (Inggris Terbaru)
- Hefner, R. W. (2021). Islam and Institutional Religious Freedom in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. (Inggris Terbaru)
- Ibnu Khaldun. (1406). Muqaddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr. (Kitab Klasik)
- Latif, Y. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan: Historiografi, Konsepsi, dan Aktualisasi. Jakarta: Gramedia.
- Mas'udi, M. F. (2021). Fiqh Tata Negara: Kewargaan, Kekuasaan, dan Keadilan. Jakarta: LP3ES.
- Menchik, J. (2020). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. New York: Cambridge University Press. (Inggris Terbaru)
- Mubarak, M. Z. (2022). The Contemporary Face of Indonesian Islam. Singapore: ISEAS Publishing.
- Shihab, M. Q. (2022). Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Tangerang: Lentera Hati.
- Woodward, M. (2021). Indonesian Islam: A Spiritual and Political Life. London: Bloomsbury Publishing. (Inggris Terbaru)
Add new comment