KERINCI – Polemik RS Pratama Kerinci kian meruncing. Setelah sebelumnya proyek senilai Rp 42 miliar ini menuai kritik soal kualitas konstruksi, kini perubahan tipe rumah sakit secara mendadak tanpa prosedur jelas memperbesar potensi skandal hukum.
Pejabat Bupati Kerinci, Asraf, mencoba menjelaskan bahwa perubahan dari RS Tipe D Pratama ke Tipe D dilakukan atas dasar evaluasi kebutuhan masyarakat. Namun, alasan yang dikemukakan justru semakin menimbulkan pertanyaan besar:
“Memang awalnya rumah sakit ini dirancang sebagai Tipe D Pratama, sesuai dengan arahan Kemenkes RI. Namun, setelah evaluasi, ditemukan bahwa masyarakat sekitar lebih membutuhkan RS dengan dokter spesialis, bukan layanan kesehatan setingkat puskesmas,” kata Asraf, Jumat 31 Januari 2024.
Pernyataan ini mempertegas bahwa perubahan tipe dilakukan tanpa dasar regulasi yang jelas. Jika memang Kemenkes hanya merestui RS Tipe D Pratama, mengapa justru pemerintah daerah memaksakan perubahan sepihak tanpa izin final?
Lebih parah lagi, Asraf mengakui bahwa proses perizinan masih dalam pengurusan dan belum tuntas. Artinya, RS ini belum memiliki dasar hukum yang sah untuk beroperasi dalam kapasitas yang lebih besar.
Asraf juga mengungkap alasan lain perubahan tipe RS, yaitu ketimpangan distribusi dokter spesialis setelah pemekaran antara Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.
“Setelah pemekaran, banyak dokter spesialis di Kerinci yang belum tersalurkan dengan baik. Dengan menaikkan tipe RS, maka kita bisa menampung tenaga dokter spesialis tersebut,” kata Asraf.
Namun, narasi ini justru semakin menunjukkan adanya kelemahan dalam perencanaan proyek RS Pratama Kerinci sejak awal.
Jika memang benar ada surplus dokter spesialis di Kerinci, mengapa tidak disalurkan ke rumah sakit yang sudah ada? Mengapa harus "mengakali" tipe RS hanya untuk alasan distribusi tenaga medis?
Fakta bahwa Bukit Kerman sudah memiliki puskesmas semakin memperkuat dugaan bahwa perubahan ini lebih banyak kepentingan lain dibandingkan murni untuk kesehatan masyarakat.
Apalagi, jika RS tetap dipaksakan beroperasi sebagai Tipe D tanpa izin final, maka seluruh layanan dan pengadaan alat kesehatan di dalamnya bisa masuk kategori ilegal.
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS Jambi) langsung bereaksi keras, memperingatkan konsekuensi hukum yang akan terjadi jika perubahan ini tetap dipaksakan.
“Mengubah tipe RS tanpa prosedur yang benar adalah pelanggaran serius. Ini bisa berujung pada penyalahgunaan anggaran, pengadaan alat kesehatan yang tidak sesuai, hingga potensi pidana jika ada unsur manipulasi laporan,” tegas Halid, perwakilan BPRS.
BPRS bahkan mengisyaratkan bahwa perubahan tipe RS ini bisa berujung pada penyelidikan lebih dalam. Jika ditemukan unsur penyimpangan, maka bukan hanya proyek ini yang dipermasalahkan, tetapi juga para pejabat yang terlibat dalam keputusan ini.
Selain permasalahan izin, dugaan ketidaksesuaian fisik proyek RS Pratama Kerinci juga semakin menjadi sorotan.
Warga dan aktivis mendesak BPK RI melakukan audit khusus terkait adanya kejanggalan dalam proyek ini, termasuk potensi ketidaksesuaian spesifikasi yang bisa berujung pada pemborosan anggaran.
Kontraktor proyek ini, PT Bumi Delta Hatten, juga memiliki rekam jejak buruk, termasuk masalah dalam proyek Ruang Terbuka Hijau (RTH) Rp 35 miliar di Kota Jambi.
Fakta bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek ini mundur sejak awal pencairan termin pertama semakin memperkuat kecurigaan adanya masalah besar dalam pengelolaan anggaran.
Publik juga patut mencermati adakah pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan perubahan tipe RS ini?
Apakah perubahan ini dilakukan untuk kepentingan masyarakat, atau sekadar cara memuluskan proyek dan aliran anggaran tanpa kontrol ketat dari pusat?
KPK, Kejaksaan, atau BPK RI Diminta Bertindak
Jika RS Pratama Kerinci tetap dipaksakan beroperasi sebagai RS Tipe D tanpa izin yang sah, maka dampaknya bisa sangat luas:
- Semua layanan yang diberikan berpotensi ilegal, karena tidak sesuai dengan izin awal dari Kemenkes RI.
- Pengadaan alat kesehatan senilai miliaran rupiah bisa bermasalah, karena pengadaannya dilakukan dengan spesifikasi yang tidak sesuai izin awal.
- Pejabat terkait bisa terseret ke ranah hukum, baik dalam kasus penyalahgunaan wewenang, pemborosan anggaran, atau bahkan dugaan korupsi.
Jika pemerintah pusat dan aparat hukum tidak segera turun tangan, bukan tidak mungkin kasus ini akan menjadi skandal besar di Jambi.
Akankah RS Pratama Kerinci berubah menjadi kebanggaan masyarakat, atau justru menjadi proyek gagal yang mencoreng nama daerah?
Add new comment