Kerusakan lingkungan di Koto Boyo, Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi, semakin mengkhawatirkan. Lubang-lubang bekas tambang batubara menganga lebar, meluas, membentuk danau luas yang mengancam ekosistem dan kehidupan. Hutan hancur, tanah kehilangan kesuburan, dan pemerintah seolah tutup mata atas kejahatan lingkungan yang terjadi di depan mata. Tim Jambi Link dan Jambi Satu melakukan penelusuran beberapa bulan belakangan. Kami akan mengulasnya untuk publik, secara berseri. Bagaimana cara kerja dunia tambang batubara ini, dari mulut tambang, pergerakan hauling hingga bermuara di jetti. Kami bekerja untuk publik, untuk republik.
****
Alam yang dulu hijau dan penuh kehidupan kini terkubur di bawah deru mesin tambang. Di Koto Boyo, Kabupaten Batang Hari, luka besar menganga. Lubang-lubang bekas tambang batubara yang ditinggalkan tanpa reklamasi telah berubah menjadi danau-danau beracun. Itu mengancam siapa saja yang berani mendekat. Di tempat ini, masa depan menjadi samar—tanah tak lagi subur, air berubah menjadi racun, dan udara membawa kesakitan.
Laporan investigasi Perkumpulan Hijau mengungkap fakta mengerikan: ratusan hektar lahan di Koto Boyo telah berubah menjadi kawah-kawah berisi air berwarna hijau pekat dan kehitaman. Air di lubang-lubang bekas tambang ini telah terkontaminasidan berbahaya bagi manusia dan ekosistem.
“Air di sini berbahaya, hampir setara dengan air aki,” ungkap Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau.
Yang tersisa di Koto Boyo bukan hanya danau-danau beracun. Sejauh mata memandang, terbentang luas lahan mati yang tak bisa lagi ditanami. Hutan yang dulu rimbun, telah berubah menjadi padang tandus yang dipenuhi debu. Udara di sekitarnya dipenuhi partikel halus yang membawa penyakit, terutama saat musim kemarau tiba.
Dampak ekologis yang ditinggalkan tambang batubara sangat mengerikan. Hutan yang kaya akan flora dan fauna kini musnah. Tak ada lagi pepohonan untuk menahan erosi, tak ada lagi habitat bagi burung dan satwa liar.
Tanah pun kehilangan daya serap. Saat hujan, air tak lagi bisa meresap. Polusi udara meningkat drastis. Debu-debu tambang beterbangan. Sumber air bersih tercemar. Suhu meningkat secara ekstrem. Tanpa pepohonan sebagai penyeimbang, wilayah bekas tambang terasa jauh lebih panas, membuat kehidupan semakin sulit.
Seharusnya, sesuai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi setelah operasional mereka berakhir. Namun, fakta di lapangan berkata lain. Lubang-lubang tambang dibiarkan begitu saja, menganga seperti luka yang tak tersembuhkan.
“Mereka sudah meraup keuntungan besar dari batubara, tetapi mereka pergi dan membiarkan kondisi ini tanpa peduli,” ujar Feri Irawan.
“Dana reklamasi yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki lingkungan entah ke mana. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah kejahatan lingkungan yang disengaja!” tegasnya.
Lebih jauh, dugaan kuat adanya permainan antara perusahaan tambang dan oknum pemerintah semakin mencuat. Jika dana reklamasi benar-benar ada, mengapa lahan-lahan ini dibiarkan terbengkalai?
“Kami menduga ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari bencana ini. Dana reklamasi ini harusnya digunakan untuk menutup lubang tambang, menanam kembali pohon, dan mengembalikan lahan ke kondisi semula. Tapi kenyataannya? Tak ada satu pun yang dilakukan! Ini skandal besar yang harus diusut oleh KPK dan Bareskrim!” tegas Feri.

Wilayah HGU Sawit yang Berubah Jadi Tambang Batubara
Menurut Direktur Perkumpulan Hijau (PH), Feri Irawan, kejahatan lingkungan ini berpusat di lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sawit Desa Makmur (SDM), yang luasnya mencapai 14.225 hektar. Namun, alih-alih digunakan untuk perkebunan sawit sebagaimana izinnya, lahan ini justru dijarah menjadi tambang batubara oleh beberapa perusahaan besar.
"Kami mendapati bahwa PT SDM sejak awal memperoleh HGU sawit, tetapi mereka tidak pernah menanam sawit. Yang muncul justru Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di lokasi itu. Ini jelas pelanggaran serius, dan pemerintah harus segera turun tangan," ujar Feri.
Menurut Feri, perusahaan milik keluarga Senangsyah, PT Sawit Desa Makmur (SDM), dituding sebagai dalang utama kehancuran ini. PT SDM awalnya mendapatkan Izin Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 1997 untuk perkebunan kelapa sawit seluas 14.225 hektare.
Berdasarkan investigasi Perkumpulan Hijau, terdapat beberapa perusahaan tambang batubara yang beroperasi di atas lahan yang seharusnya digunakan untuk perkebunan sawit tersebut. Berikut adalah daftar perusahaan yang mengelola tambang di HGU PT SDM:
1️⃣ PT TBT – Luas area: 3.220 hektar
2️⃣ PT BMS – Luas area: 1.380 hektar
3️⃣ PT KMW – Luas area: 2.000 hektar
4️⃣ PT DKC – Luas area: 1.472 hektar
Selain itu, terdapat beberapa perusahaan tambang batubara yang berada di bawah kendali Rizal Senangsyah, yakni:
5️⃣ PT BHS – Luas area: 1.946 hektar
6️⃣ PT BBMM – Luas area: 198,70 hektar
7️⃣ PT KAI – Luas area: 199,10 hektar
8️⃣ PT ASSBB – Luas area: 1.945 hektar
9️⃣ PT BHI – Luas area: 2.000 hektar

Sementara itu, PT SDM sendiri dimiliki oleh Andi Senangsyah. Anehnya, sejak memperoleh HGU Sawit seluas 14.225 hektar, PT SDM sama sekali tidak pernah menanam sawit.
"Ini pelanggaran serius. Bagaimana mungkin izin HGU untuk perkebunan sawit justru berubah menjadi tambang batubara? Jika begini, seharusnya izin HGU dicabut dan perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan yang telah mereka timbulkan," tegas Feri.
Kasus ini sebenarnya bukan rahasia lagi di pemerintahan. Sebab, mantan Gubernur Jambi, Fachrori Umar, pernah menyurati pemerintah pusat untuk segera mencabut izin HGU PT SDM.
Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Alih-alih dicabut, tambang batubara di kawasan HGU ini justru semakin merajalela dan semakin brutal dalam eksploitasi lingkungan.
"Kami minta Komisi III dan Komisi XII DPR RI, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, serta Presiden Prabowo untuk turun langsung ke lokasi dan mengusut kejahatan lingkungan ini! Ini bukan hanya pelanggaran administratif, ini kejahatan lingkungan yang terjadi secara terang-terangan!" tegas Feri.
Menurutnya, jika pemerintah tetap membiarkan kejahatan ini terjadi, maka akan menjadi preseden buruk bagi daerah lain. HGU sawit bisa kapan saja berubah menjadi tambang, tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas.
Celah Korupsi di Balik Alih Fungsi HGU Sawit Jadi Tambang Batubara?
Kasus ini juga memunculkan dugaan kuat adanya permainan antara oknum pejabat, pengusaha, dan perusahaan tambang. Beberapa pertanyaan besar yang perlu diungkap, antaralain bagaimana bisa HGU sawit tiba-tiba berubah menjadi izin tambang batubara? Apakah ada suap atau permainan dalam penerbitan izin tambang di lahan HGU? Siapa pejabat yang berperan dalam memberikan izin operasi tambang di kawasan ini? Ke mana perginya dana reklamasi dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan?
Menurut Feri, penegak hukum harus segera bertindak untuk mengusut kasus ini, karena jelas ada pelanggaran hukum yang sangat serius.
"Pemerintah pusat, khususnya Presiden Prabowo, harus turun tangan dan menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perusakan lingkungan ini," katanya.
Tambang di Koto Boyo Pernah di Police Line Mabes Polri
Ternyata, di masa lalu, salah satu lokasi tambang di Koto Boyo pernah dipolice line langsung oleh Mabes Polri. Kejadian ini terkait dengan perselisihan pengelolaan tambang dan dugaan penyalahgunaan investasi dalam bisnis batubara.
Seorang sumber yang mengetahui detail kasus ini mengungkap bahwa konflik tersebut melibatkan pemilik konsesi berinisial R dan seorang investor berinisial N. N diduga telah menggelontorkan investasi besar, namun terjadi konflik kepentingan yang berujung pada laporan hukum ke Mabes Polri.
"Kasus ini sudah terjadi beberapa tahun lalu. Laporan diajukan ke Mabes Polri, dan lokasi tambang pernah dipolice line. Waktu itu masalahnya terkait investasi dan pengelolaan tambang," ujar sumber tersebut.
Kejadian ini mengindikasikan adanya pola sistemik dalam pengelolaan tambang di Jambi, di mana pemilik konsesi awalnya bekerja sama dengan investor, tetapi ketika produksi mulai berjalan, konflik terkait hak pengelolaan dan pembagian keuntungan pun muncul.
Biasanya, kasus semacam ini bisa diselesaikan melalui jalur hukum perdata. Namun, karena kasus ini sampai ditangani Mabes Polri, berarti ada indikasi pelanggaran hukum yang lebih serius.
"Jika hanya konflik bisnis biasa, seharusnya kasus ini diselesaikan di ranah perdata. Tapi kalau sampai masuk ke Mabes Polri dan dipolice line, berarti ada yang lebih besar di baliknya. Kemungkinan ada permainan dokumen, izin, dan kejahatan investasi," ujarnya.(Bersambung)
Add new comment