Oleh Muhammad Ridwansyah
Kepala Pusat Studi Perencanaan Bisnis dan Investasi Universitas Jambi/Ketua Harian Tenaga Ahli Gubernur Jambi
Dinamika aksi massa di beberapa titik di Provinsi Jambi memperlihatkan potensi eskalasi menuju perilaku anarkis. Sesungguhnya fenomena aksi anarkis dapat dibaca melalui teori biaya transaksi (Transaction Cost Economics, Coase 1937; Williamson 1985), di mana ketidakpastian sosial memperbesar biaya koordinasi, kontrak, dan pengawasan dalam kegiatan usaha. Konflik terbuka menaikkan risk premium bagi investor, yang sejalan dengan konsep resiko politik dalam aliran Institutional Economics (North, 1990): stabilitas kelembagaan—termasuk norma adat—menjadi faktor penting bagi keberlangsungan investasi. Pada level makro, teori ekspektasi rasional (Lucas, 1972) menjelaskan bahwa pelaku usaha menyesuaikan keputusan modal berdasarkan ekspektasi stabilitas ke depan; jika aksi anarkis berulang, ekspektasi negatif terbentuk dan minat investasi menurun.
Investor selalu membaca risiko melalui dua lensa: (1) risiko operasional (gangguan logistik, kerusakan aset, keselamatan karyawan) dan (2) risiko regulasi/ketidakpastian (potensi policy reversal, friksi pusat-daerah). Ketika praktik aksi menyentuh kekerasan—perusakan fasilitas umum, blokade jalan distribusi, atau intimidasi—risk premium naik, dan keputusan investasi bisa ditunda atau dialihkan ke provinsi lain.
Dengan kata lain, jika demo-demo di beberapa titik di Jambi tidak segera diurai, pasar membaca sinyal: biaya transaksi naik, kepastian usaha turun. Bukti empiris menunjukkan keterkaitan langsung antara stabilitas sosial dan realisasi investasi. Di Indonesia, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa pasca kerusuhan sosial di Mei 1998, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) anjlok hampir -44% pada tahun tersebut dibandingkan 1997, sebelum kemudian pulih setelah stabilisasi politik berjalan. Kasus serupa terlihat di Sulawesi Tengah saat konflik Poso awal 2000-an, di mana investor perkebunan dan sektor jasa menunda ekspansi hingga kondisi keamanan terkendali.
Sebaliknya, provinsi dengan iklim sosial kondusif seperti Jawa Tengah berhasil menjaga tren investasi tumbuh rata-rata 12–15% per tahun dalam periode 2015–2019, berkat stabilitas sosial dan adanya local wisdom yang menekan eskalasi konflik. Hal ini sejalan dengan analisis Collier & Hoeffler (2004) mengenai “conflict trap”, yang menunjukkan bahwa konflik sosial meningkatkan risiko investasi jangka panjang karena menciptakan lingkaran setan: biaya pengamanan naik, produktivitas turun, dan investor enggan masuk. Dengan demikian, rem sosial berupa kearifan lokal Jambi dapat diposisikan sebagai instrumen efektif untuk menghindari “conflict trap” dan menjaga keberlanjutan arus modal masuk
Momentum peningkatan investasi di Jambi harus dijaga. Laporan dari DPMPTSP Provinsi Jambi menjelaskan peningkatan kinerja yang optimal bahkan melebihi target yang telah ditetapkan. Secara umum pada tahun 2024 kita telah mencapai target investasi yakni sebesar Rp. 11,57 Triliun baik PMA maupun PMDN dari rencana capaian target Renstra Rp. 5,71 Triliun, artinya telah tercapai 202,70% dan target BKPM RI Rp. 11,62 triliun (PMA/PMDN) atau tercapai sebesar 99,60% serta target Nasional Rp. 1.650 triliun dengan realisasi nasioal 1.714 triliun atau sebesar 103,88%.
Rem Sosial
Bali kerap dijadikan contoh daerah yang berhasil memanfaatkan modal sosial untuk menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan pariwisata. Tradisi adat dengan konsep “Tri Hita Karana” menjadi fondasi kuat bagi kohesi sosial, sehingga konflik jarang bereskalasi menjadi anarkis. Mekanisme pararem yang ditegakkan mampu menjadi “rem sosial” yang efektif, menjaga ketertiban tanpa biaya represif besar. Keberhasilan Bali menunjukkan bahwa modal sosial berbasis kearifan lokal dapat memperkuat stabilitas sosial sekaligus meningkatkan daya tarik investasi.
Dalam konteks Jambi, rem sosial berbasis kearifan lokal berperan sangat penting sebagai kelembagaan informal yang menurunkan biaya transaksi, menahan gejolak ekspektasi negatif, serta menjaga iklim kondusif bagi investasi. Dengan kata lain, seloko dan adat berfungsi memperkuat tata kelola sosial tanpa perlu biaya represif yang tinggi.
Dalam tradisi Melayu Jambi, tutur kata yang santun selalu dikedepankan—“kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepala nan satu, kami hatur sembah nan sebuah; ampun kepada yang tuo, maaf kepado yang banyak”—bukan sekadar basa-basi, melainkan kode etika publik untuk menurunkan tensi dan menata dialog. Seloko semacam ini mengajarkan bahwa ruang protes pun perlu nilai: marwah, tertib, dan mufakat.
Di tengah ketidakmenentuan arah aksi (yang mudah ditarik menuju tindakan destruktif), beberapa seloko berikut relevan sebagai “rem sosial”:
• “Duduk samo rendah, tegak samo tinggi.” Menekankan egalitas dalam musyawarah: tuntutan boleh keras, caranya tetap beradab.
• “Berat samo dipikul, ringan samo dijinjing.” Solidaritas menolak kekerasan yang merugikan sesama warga dan pelaku usaha lokal (toko, UMKM)—kerusakan fasilitas umum akhirnya ditanggung bersama.
• “Jangan telunjuk lurus, kelingking berkait; jangan menggunting kain dalam lipatan.” Mengingatkan orator, korlap, dan elite agar transparan—jangan memprovokasi dari belakang layar.
• “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Aksi di Jambi harus menjunjung adat setempat: aspirasi sah, tapi cara menyampaikan wajib mengindahkan hukum dan nilai lokal.
• “Tegak rumah karena sendi, tegak negeri karena budi.” Negeri yang kokoh bukan hanya oleh hukum positif, tetapi juga budi pekerti dalam berekspresi—termasuk saat marah.
Peran kunci pemimpin menurut adat
Kondusivitas bukan berarti menutup ruang kritik. Justru, ruang kritik diperkuat dengan adat sebagai pagar. Bila aksi terlanjur memanas, ingat seloko: “Keruh aek tengok ke hulu Senak aek tengok ke muaro.” Tujuan akhirnya satu: marwah terjaga, aspirasi tersampaikan, ekonomi tak terganggu. Dengan begitu, capaian investasi yang sudah diraih Jambi tidak luntur oleh kabut kekisruhan, dan minat investor tetap bertahan, bahkan tumbuh, karena mereka melihat Jambi mampu merajut perbedaan menjadi mufakat.
Seloko tersebut juga menegaskan pentingnya pemimpin turun langsung ke akar rumput untuk memahami sumber persoalan, bukan hanya menerima laporan dari bawahan. Tradisi ini selaras dengan praktik Pejabat Tidur di Dusun (Pertisun) untuk mengunjungi warga dan menyerap aspirasi masyarakat setempat.
Namun, kehadiran simbolik saja tidak cukup; diperlukan tindak lanjut berupa alokasi anggaran yang proporsional, agar problem yang ditemui di lapangan tidak sekadar menjadi catatan, tetapi memperoleh porsi nyata dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, seloko ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang sejati bukan hanya hadir secara fisik, tetapi juga mampu menyalurkan sumber daya fiskal ke titik-titik kebutuhan yang paling mendesak, sehingga keadilan pembangunan benar-benar terasa hingga lapisan bawah.
Add new comment