DARI PANGGUNG PESANTREN KE KURSI GUBERNUR : “Kiprah Santri Dalam Kepemimpinan Daerah Di Indonesia”

WIB
IST

Harapan Akan Lahirnya Pemimpin-Pemimpin Yang Berhati Bersih, Berpikiran Jernih, Dan Berjiwa Pengabdian. Dari Bilik Sederhana Pesantren, Mereka Belajar Mengabdi,  Dan Dari Ruang-Ruang Kekuasaan, Mereka Membuktikan Bahwa Pengabdian Itu Nyata.

Oleh : Fahmi Rasid

PUSKIDLAT LAM Prov. Jambi

PESANTREN ADALAH RAHIM PERADABAN yang tak pernah kering melahirkan insan-insan tangguh, beriman, dan berilmu. Di sanalah nilai keikhlasan, kesabaran, tanggung jawab, dan disiplin hidup diajarkan bukan sekadar lewat kata-kata, tetapi melalui laku kehidupan sehari-hari. Di pondok-pondok pesantren, ribuan anak muda ditempa dalam kesunyian malam, ditemani lantunan ayat suci, di bawah cahaya lampu temaram yang menyala seadanya. Mereka tidur beralaskan tikar, makan sederhana, namun menyimpan mimpi besar: mengabdi untuk umat dan bangsa.

Dari bilik-bilik sederhana itulah lahir generasi yang kelak menjadi guru, cendekiawan, ulama, hingga pemimpin bangsa. Kini, dari Sabang sampai Merauke, kita menyaksikan semakin banyak alumni pesantren yang mengisi panggung-panggung kekuasaan daerah. Mereka hadir dengan ciri khas kepemimpinan yang berbeda—rendah hati namun tegas, sederhana namun berwibawa, dan yang paling penting, berjiwa melayani.

Salah satu figur yang mencerminkan hal itu adalah H. Hasan Basri Agus (HBA), Gubernur Jambi periode 2010–2015, seorang tokoh yang lahir dari tradisi pesantren dan tumbuh dengan jiwa kesantrian yang melekat kuat. Ia merupakan alumni Pondok Pesantren As’ad Jambi, salah satu pesantren tertua di Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Di pondok itu, HBA muda belajar bukan hanya membaca kitab, tetapi juga membaca kehidupan. Ia mengenal arti disiplin, keikhlasan, dan keteguhan. Di pondok pula ia memahami bahwa kekuasaan sejati bukanlah untuk berkuasa, melainkan untuk mengabdi.

Nilai-nilai kesantrian itu terbawa hingga ia memasuki dunia birokrasi. Setelah menempuh pendidikan formal, HBA meniti karier dari bawah, dengan etos kerja dan kesabaran yang menjadi ciri khas seorang santri. Langkahnya mantap, ketulusannya nyata. Hingga akhirnya, masyarakat memberi kepercayaan besar kepadanya untuk memimpin Kabupaten Sarolangun, dan kemudian seluruh Provinsi Jambi.

Dalam masa kepemimpinannya, HBA dikenal sebagai pemimpin yang membumi. Program unggulannya yang popular adalah SAMISAKE, menjadi bukti nyata keberpihakannya pada pemerataan pembangunan. Ia menggerakkan ekonomi rakyat dari bawah, memperkuat infrastruktur pedesaan, dan membuka peluang bagi masyarakat kecil untuk ikut merasakan hasil pembangunan. Tak hanya membangun jalan dan jembatan, HBA juga membangun harapan : harapan agar setiap warga Jambi dapat hidup lebih baik dan lebih sejahtera.

Program-program sosial seperti bedah rumah, bantuan pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi cerminan kepemimpinan yang berpihak. Semua itu tak lepas dari nilai-nilai pesantren yang melekat di hatinya—nilai kesederhanaan, keadilan, dan kasih sayang terhadap sesama. Ia memimpin dengan hati, bukan sekadar dengan perintah. Ia membangun dengan empati, bukan sekadar dengan kekuasaan.

Jejak HBA memperlihatkan bahwa pesantren bukan penghalang untuk maju, melainkan fondasi kokoh untuk melangkah. Dunia pesantren tidak sempit, karena di sanalah seseorang belajar tentang kehidupan dengan dimensi paling luas: hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Dari pondok, seorang santri belajar menahan lapar, menundukkan ego, dan menghormati perbedaan. Tempaan itu menjadikannya tangguh menghadapi ujian dunia nyata, termasuk dalam dunia politik yang keras dan sering kali penuh godaan.

HBA bukan satu-satunya bukti. Di berbagai daerah, santri-santri lain juga menorehkan kiprah cemerlang dalam kepemimpinan daerah. Di Nusa Tenggara Barat, ada Dr. Zulkieflimansyah, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, yang membawa semangat inovasi ke tanah seribu masjid. Gaya kepemimpinannya yang intelektual dan rasional berpadu indah dengan spiritualitas Islam yang ia bawa sejak di pondok. Di bawah kepemimpinannya, NTB bangkit dengan pariwisata halal yang mendunia.

Masih di NTB, ada pula Dr. KH. Muhammad Zainul Majdi, yang dikenal luas sebagai Tuan Guru Bajang (TGB), seorang hafiz Al-Qur’an dan doktor tafsir lulusan Al-Azhar Kairo. Ia membangun NTB dengan sentuhan spiritual yang kuat, menyeimbangkan pembangunan fisik dengan pembangunan akhlak masyarakat.

Di Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menjadi sosok inspiratif bagi santri perempuan. Lahir dari lingkungan pesantren Tambak Beras Jombang, ia membuktikan bahwa perempuan santri dapat menjadi pemimpin modern yang kuat, rasional, dan penuh empati. Di tangannya, Jawa Timur berkembang sebagai salah satu provinsi paling maju, dengan kebijakan yang menyentuh pesantren, perempuan, dan kaum miskin secara bersamaan.

Sementara itu, di Jawa Barat, H. Ahmad Heryawan (Aher) yang pernah mondok di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut, menorehkan sejarah sebagai gubernur dua periode dengan berbagai penghargaan nasional. Di bawah kepemimpinannya, Jawa Barat tampil sebagai provinsi yang religius dan inklusif, dengan pembangunan sosial yang berkeadilan.

Kisah-kisah ini menjadi mozaik indah tentang bagaimana nilai-nilai pesantren melahirkan pemimpin yang berkarakter. Mereka mungkin datang dari latar berbeda ada yang dari pesantren tradisional, ada pula dari pesantren modern namun benang merahnya sama : semua ditempa dalam tradisi keikhlasan dan kesabaran yang membuat mereka tahan uji di tengah kerasnya dunia kekuasaan.

Di Provinsi Jambi sendiri, selain HBA, banyak kepala daerah dan tokoh masyarakat yang memiliki akar kuat dalam tradisi pesantren. Sebut saja Dr. dr. H.Maulana, Wali Kota Jambi, pernah menempuh pendidikan di madrasah, yaitu MAN 1 Palembang (Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Palembang) pada tahun 1994, yang aktif memperkuat pendidikan keagamaan dan menjalin hubungan erat dengan berbagai pesantren, termasuk Ponpes As’ad. Beberapa kepala daerah di kabupaten seperti Sarolangun, Merangin, dan Tanjung Jabung juga dibesarkan dalam kultur pesantren atau madrasah, serta terus menjalin kedekatan dengan para ulama sebagai penuntun moral pemerintahan mereka.

Fenomena serupa juga terlihat di luar Jambi: Bupati Pasuruan KH. Irsyad Yusuf, alumnus Pesantren Sidogiri, yang menggagas program Pesantren Berdaya; Bupati Lombok Timur HM Sukiman Azmy, yang mengangkat nilai pesantren dalam kebijakan sosial; serta Wali Kota Tasikmalaya Muhammad Yusuf, yang menegaskan identitas “kota santri” dalam arah pembangunan daerahnya. Semua menunjukkan bahwa nilai-nilai pesantren kini bukan lagi milik masa lalu, tetapi napas yang menuntun arah kepemimpinan masa depan.

Jika ditarik lebih luas lagi ke tingkat nasional, sejarah bangsa ini juga mencatat betapa kuat peran santri dalam dunia politik dan kenegaraan. Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, misalnya, adalah santri tulen dari Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Banten. Dari dunia pesantren ia menapaki jalan dakwah, menjadi ulama besar, dan akhirnya menduduki jabatan tinggi kenegaraan sebagai simbol keterpaduan antara agama dan negara. Sosoknya yang teduh mencerminkan wajah Islam yang moderat, santun, dan bijaksana.

Begitu pula Muhaimin Iskandar (Cak Imin), alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, yang sukses meniti karier politik hingga menjadi Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua DPR RI. Gaya kepemimpinannya yang cair, komunikatif, dan berakar kuat pada kultur pesantren menjadikannya tokoh santri yang berpengaruh di kancah nasional.

Dari kalangan perempuan, ada Yenny Wahid, putri KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tumbuh di lingkungan pesantren dan kini dikenal sebagai aktivis, politisi, sekaligus pegiat perdamaian lintas agama. Kiprahnya menegaskan bahwa nilai-nilai pesantren mampu melahirkan pemimpin yang berpikiran terbuka dan berjiwa pluralis.

Dari HBA di Jambi, TGB di NTB, Khofifah di Jawa Timur, Aher di Jawa Barat, hingga KH. Ma’ruf Amin, Cak Imin, dan Yenny Wahid di tingkat nasional — semuanya adalah bukti bahwa pesantren tidak hanya mendidik calon ulama, tetapi juga menyiapkan calon pemimpin bangsa. Mereka datang dari ruang-ruang sederhana, tapi membawa cahaya besar bagi negeri.

Pesantren telah membuktikan diri sebagai inkubator kepemimpinan dan moralitas bangsa. Pondok-pondok pesantren tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga pemimpin publik, pengusaha, cendekiawan, hingga pejabat negara yang berkarakter kuat. Kepemimpinan santri memiliki ciri khas yang membedakannya: berbasis nilai, berpihak kepada rakyat, dan berakar pada kesabaran. Dalam dunia politik yang sering kali diwarnai transaksi dan intrik, pemimpin berlatar pesantren hadir sebagai penyeimbang nurani. Mereka tetap tenang di tengah badai fitnah, tetap jujur di tengah godaan, dan tetap rendah hati di tengah sanjungan.

Kepemimpinan santri seperti HBA di Jambi adalah cermin dari kekuatan nilai itu. Ia menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan kelemahan, melainkan sumber kekuatan moral. Ia membuktikan bahwa religiusitas bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi pembangunan yang berkeadilan. Ia menjadi saksi bahwa santri pun bisa menjadi gubernur yang modern tanpa meninggalkan akar tradisinya.

Kisah ini juga membawa pesan kepada para orang tua di pelosok negeri agar tidak ragu mengirimkan anak-anaknya ke pesantren. Jangan takut anak tertinggal zaman, sebab di pondok mereka belajar bukan hanya membaca kitab, tapi juga membaca kehidupan. Mereka ditempa untuk kuat secara spiritual, tangguh secara mental, dan cerdas secara sosial. Dari pesantren lahir generasi yang siap memimpin dengan hati dan nurani, bukan sekadar dengan gelar dan ambisi.

Jika di Jambi ada HBA, di Jawa Timur ada Khofifah, di NTB ada TGB dan Zulkieflimansyah, di Jawa Barat ada Aher, di Banten ada Ma’ruf Amin, di Jombang ada Cak Imin, dan di Pesantren Tebuireng tumbuh sosok-sosok seperti Yenny Wahid; maka, di masa depan akan lahir lagi banyak pemimpin yang menapak dari bilik pesantren menuju kursi kepemimpinan dengan membawa semangat pengabdian. Karena pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan menara nurani bangsa yang tak pernah padam.

Dari panggung pesantren menuju kursi gubernur, hingga ke panggung kenegaraan, adalah perjalanan panjang yang ditempuh dengan kesabaran dan keikhlasan. Para santri pemimpin ini membawa pesan bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang pelayanan dan pengabdian. Pesantren telah membuktikan diri sebagai benteng moral bangsa sekaligus ladang subur bagi lahirnya pemimpin yang kuat, jujur, dan berjiwa rakyat.

Selama pesantren tetap menyalakan lentera ilmu dan akhlak, Indonesia akan selalu memiliki harapan. Harapan akan lahirnya pemimpin-pemimpin yang berhati bersih, berpikiran jernih, dan berjiwa pengabdian. Dari bilik sederhana pesantren, mereka belajar mengabdi; dan dari ruang-ruang kekuasaan, mereka membuktikan bahwa pengabdian itu nyata.

>>>>>terima kasih<<<<<

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network