Dari Ajudan ke Gubernur : Jejak Loyalitas dan Didikan Keras Sang Guru Abdurahman Sayuti

WIB
IST

“Dari Sang Guru, Ia Belajar Arti Disiplin. Dari Rakyat, Ia Belajar Makna Pengabdian. Dan Dari Kehidupannya Sendiri, Ia Belajar Bahwa Menjadi Pemimpin Bukanlah Tentang Siapa Yang Paling Berkuasa, Tetapi Siapa Yang Paling Bertanggung Jawab”.

Oleh : Dr. Fahmi Rasid

PUSDIKLAT LAM Prov. Jambi

SETIAP PEMIMPIN BESAR selalu memiliki guru yang menanamkan nilai-nilai kehidupan dalam dirinya. Seorang guru tidak selalu hadir di ruang kelas, melainkan seringkali tampil dalam bentuk teladan, teguran, dan ketegasan yang membentuk karakter muridnya. Begitulah kisah Hasan Basri Agus (HBA) dan Gubernur Jambi terdahulu, Alm.ABDURAHMAN SAYUTI. Dua nama yang terikat dalam garis perjalanan panjang pengabdian, satu sebagai guru, satu sebagai murid; satu mengajarkan, satu menyerap dan mewariskan kembali nilai-nilai kepemimpinan kepada generasi berikutnya.

HBA, yang kini dikenal sebagai salah satu tokoh penting Jambi, tidak lahir tiba-tiba di panggung kepemimpinan. Ia ditempa, diasuh, dan dididik dalam kultur disiplin dan loyalitas yang ketat. Saat muda, ia adalah ajudan bagi Gubernur Jambi kala itu, Abdurahman Sayuti, sosok yang dikenal keras, disiplin, namun penuh kasih dalam caranya memimpin. Dari kedekatan itu, lahir hubungan batin yang tidak sekadar administratif, tetapi seperti antara guru dan murid dalam madrasah kehidupan.

Sebagai ajudan, HBA tidak hanya mengawal jadwal dan protokol. Ia menjadi saksi hidup bagaimana keputusan besar diambil dengan kebijaksanaan dan keberanian, bagaimana waktu dijaga dengan disiplin tinggi, dan bagaimana tanggung jawab dijalankan tanpa mengenal lelah. Abdurahman Sayuti adalah sosok yang menuntut kesempurnaan dalam bekerja, dan HBA menyerapnya dengan sepenuh hati. Setiap teguran yang datang, setiap koreksi yang diterima, menjadi bahan pembelajaran yang membentuk wataknya hingga kelak ia sendiri menjadi seorang pemimpin yang disegani.

Dari tangan keras Abdurahman Sayuti, HBA belajar bahwa disiplin bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan bentuk cinta terhadap tanggung jawab dan rakyat. Ia memahami bahwa menjadi pemimpin berarti melayani dengan hati, bukan memerintah dengan kuasa. Dari situ pula HBA tumbuh menjadi pribadi yang tidak cepat puas, selalu terukur dalam langkah, dan tegas dalam prinsip. Didikan keras itu menanamkan padanya pemahaman bahwa kesetiaan bukan sekadar mengikuti, tetapi menjaga kehormatan dan kepercayaan.

Tahun demi tahun berlalu, dan roda sejarah pun berputar. Sang ajudan akhirnya menapaki jejak sang guru  menjadi Gubernur Jambi. Saat itulah nilai-nilai yang dahulu ditanamkan Abdurahman Sayuti menemukan wujudnya. HBA memimpin dengan disiplin, namun penuh empati; tegas, namun hangat; kuat dalam prinsip, namun lembut dalam tindakan. Ia tidak meniru gurunya dalam bentuk, tetapi meneruskan jiwanya dalam semangat.

Ketika HBA duduk di kursi gubernur, rakyat Jambi melihat sosok yang bekerja bukan untuk sorotan kamera, melainkan untuk kepentingan masyarakat. Ia hadir dalam kerja-kerja nyata, dalam ketepatan waktu, dalam kehadiran yang tulus di tengah rakyat kecil. Nilai-nilai itulah yang dahulu ia pelajari dalam diam dari sang guru — bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang hadir sebelum diminta, bekerja sebelum diperintah, dan bertanggung jawab bahkan tanpa pengawasan.

Sebagai gubernur, HBA dikenal sangat memperhatikan pendidikan. Ia percaya bahwa masa depan Jambi tidak bisa dibangun hanya dengan infrastruktur, tetapi dengan kecerdasan. Ia menggagas program beasiswa untuk 25 orang putra-putri Jambi setiap tahun agar menempuh pendidikan S3. Sebuah langkah besar dan visioner di masa itu. Ia ingin membuka pintu kesempatan bagi anak-anak daerah agar tidak tertinggal dalam kompetisi nasional dan global. Ia tahu, daerah akan maju bila memiliki generasi berilmu dan berpikiran luas.

Tak berhenti di sana, ia juga memprakarsai gagasan Sekolah Rakyat, tempat di mana masyarakat kecil bisa mendapatkan akses pendidikan alternatif. Gagasan ini lahir dari hati yang peka terhadap ketimpangan sosial. Ia memahami bahwa banyak anak di desa-desa yang tak mampu masuk sekolah formal, namun memiliki semangat belajar yang luar biasa. Melalui Sekolah Rakyat, HBA ingin menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, bukan hak istimewa.

Nilai-nilai kepemimpinan yang diwariskan Abdurahman Sayuti tampak jelas dalam cara HBA bekerja: fokus pada tanggung jawab, tidak banyak bicara, tapi menuntaskan pekerjaan dengan hasil yang bisa dirasakan rakyat. Dari sang guru, ia belajar bahwa jabatan bukan kebanggaan, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Itulah mengapa HBA selalu menjaga jarak dari kemewahan, menolak hidup berlebihan, dan memilih kesederhanaan sebagai jalan hidup.

Sebagai putra asli Jambi dari Dusun Sungai Abang, HBA membawa kebanggaan tersendiri bagi masyarakat di sana. Ia tidak melupakan akar, tidak menghapus jejak asalnya. Justru dari tanah Seberang Kota Jambi itulah ia menimba nilai kerja keras, kejujuran, dan pantang menyerah. Ketika ia menjadi gubernur, masyarakat Seberang merasakan perhatian nyata. Jalan diperbaiki, fasilitas publik diperkuat, dan generasi muda diberi ruang berkembang. “Orang Mudik  yang tetap rendah hati,” begitu mereka menyebutnya. Ungkapan sederhana itu menggambarkan hubungan emosional yang kuat antara HBA dan masyarakat yang membesarkannya.

Jejak kepemimpinannya bahkan menembus batas daerah. Ia membangun Asrama Mahasiswa Jambi di Mesir, bentuk kepedulian terhadap anak-anak Jambi yang menuntut ilmu di tanah para ulama. Ia ingin mereka merasa memiliki tempat yang layak, meski jauh dari kampung halaman. Di situ terlihat bagaimana HBA memahami makna luas dari tanggung jawab: seorang pemimpin daerah tetap harus memikirkan warganya di mana pun mereka berada.

Kini, sebagai anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan sosial, keagamaan, dan pemberdayaan masyarakat, HBA kembali membawa semangat gurunya ke level nasional. Ia berbicara bukan hanya sebagai politisi, tetapi sebagai sosok yang pernah menghayati arti pelayanan dari bawah. Dalam setiap forum, dalam setiap kebijakan, jejak nilai-nilai Abdurahman Sayuti tetap tampak hidup dalam dirinya — disiplin, tegas, jujur, dan berpihak pada rakyat.

Warisan kepemimpinan Abdurahman Sayuti bukanlah dokumen atau simbol fisik, tetapi karakter yang tertanam dalam diri muridnya. Dan HBA telah membuktikan bahwa nilai-nilai itu tidak pernah hilang, bahkan semakin kokoh seiring waktu. Ia adalah cermin bahwa kepemimpinan sejati diwariskan lewat keteladanan, bukan perintah; lewat tindakan, bukan kata-kata.

Kisah HBA adalah kisah tentang perjalanan manusia yang ditempa oleh kerasnya didikan, namun tumbuh menjadi pemimpin yang hangat dan berjiwa sosial. Dari sang guru, ia belajar arti disiplin. Dari rakyat, ia belajar makna pengabdian. Dan dari kehidupannya sendiri, ia belajar bahwa menjadi pemimpin bukanlah tentang siapa yang paling berkuasa, tetapi siapa yang paling bertanggung jawab.

Hari ini, ketika generasi muda Jambi tumbuh di tengah dunia digital yang serba cepat, kisah HBA dan sang guru memberi pesan moral yang kuat: bahwa dalam setiap keberhasilan sejati selalu ada proses panjang yang penuh kerja keras dan kejujuran. Bahwa karakter tidak bisa dibangun dalam semalam, dan bahwa loyalitas serta integritas adalah dua hal yang tak boleh hilang dari jiwa seorang pemimpin.

Dari ABDURAHMAN SAYUTI KE HASAN BASRI AGUS, warisan kepemimpinan itu terus hidup, berpindah dari tangan ke hati, dari tindakan ke teladan. Sebuah warisan yang tidak bisa dibeli, tidak bisa diwariskan lewat darah, tetapi hanya bisa diteruskan lewat ketulusan pengabdian.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network