“Kalau Ekonomi Bagus, Orang-Orang Sibuk Bekerja Dan Makan Enak. Jadi Demo Itu Bisa Berkurang → Sebuah Pernyataan Yang Menunjukkan Bahwa Stabilitas Ekonomi Membawa Rasa Aman Dan Kepercayaan Masyarakat"
Oleh :
Dr. FAHMI RASID
Dosen UM. Jambi
DALAM SETIAP MASA KEPEMIMPINAN NASIONAL, selalu ada sosok yang menjadi penyeimbang antara gagasan besar dan kenyataan di lapangan. Sosok itu, dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tampak hadir melalui figur Menteri Keuangan yang sederhana dalam tutur, tenang dalam tindakan, dan tegas dalam prinsip. Ia bukan sekadar pengelola keuangan negara, tetapi cermin dari jiwa pemerintahan yang ingin membangun kesejahteraan tanpa jarak dengan rakyatnya.
Fenomena menarik dari Menteri Keuangan ini adalah sikapnya yang low profile, tidak gemerlap di media, namun selalu hadir dalam setiap denyut kebijakan ekonomi. Di tengah kompleksitas dunia fiskal, ia justru menghadirkan kesederhanaan sebagai kekuatan moral. Setiap pernyataannya terasa membumi dan mudah dipahami, bahkan oleh kalangan muda Gen Z yang kini mulai menaruh minat pada literasi keuangan. Kalimatnya yang sempat viral, “kita harus kaya bareng-bareng”, seolah menjadi jembatan emosional antara pemerintah dan rakyat. Ia tidak berbicara dari menara gading, melainkan dari ruang yang sejajar dengan rakyat, mengajak semua untuk tumbuh bersama, tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.
Pandangan ini selaras dengan arah besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang berulang kali menegaskan pentingnya pemerataan ekonomi dan kemandirian bangsa. “Saya hanya tunduk kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto,” ucap sang Menteri dalam salah satu kesempatan publik. Ucapan itu bukan sekadar bentuk loyalitas politik, tetapi simbol disiplin hierarki kenegaraan yang menegaskan bahwa kepentingan rakyat harus berjalan seiring dengan arahan kepala negara. Ia mengerti betul bahwa tanggung jawab fiskal adalah bagian dari visi besar presiden: menjadikan Indonesia kuat di dalam negeri dan disegani di luar negeri.
Menariknya, gaya kepemimpinan yang sederhana ini justru menghadirkan dampak nyata di pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat tren positif sejak awal kabinet bekerja. Para pelaku pasar menilai sinyal stabilitas fiskal dan arah ekonomi nasional semakin jelas. Di tengah ketidakpastian global, Indonesia mampu menampilkan wajah yang optimistis. Rasa percaya diri ini bukan hanya datang dari angka-angka ekonomi, tetapi dari narasi kepercayaan yang dibangun oleh pemimpin yang kredibel, berani, dan jujur. Ketika keuangan negara dikelola dengan tenang, pasar pun ikut tenang.
Dalam kacamata pengamat politik seperti Roki Gerung, fenomena ini bisa dimaknai sebagai pergeseran paradigma kepemimpinan teknokrat di Indonesia. Roki pernah mengatakan bahwa kekuasaan sejati tidak selalu ditunjukkan dengan suara yang keras, melainkan dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang. Pandangan ini seolah menemukan relevansinya dalam diri Menteri Keuangan yang tidak mencari sorotan, tetapi menghasilkan kepercayaan. Ia menjadi “guru keuangan publik” tanpa harus menggurui. Ia menampilkan kepemimpinan yang melayani, bukan memerintah.
Kepada generasi muda, khususnya Gen Z, figur ini menjadi inspirasi baru. Di tengah derasnya arus konsumsi digital dan gaya hidup instan, muncul sosok yang berbicara dengan bahasa sederhana tentang makna kesejahteraan. “Kaya bareng-bareng” bukan hanya ajakan untuk mencari uang, melainkan pesan moral tentang keadilan sosial dan kolaborasi ekonomi. Ia ingin generasi muda memahami bahwa kesejahteraan tidak bisa dibangun sendiri, melainkan melalui gotong royong dalam semangat kebangsaan. Dalam konteks pendidikan ekonomi, pesan ini sangat kuat, mengajak anak muda memahami tanggung jawab sosial dari keberhasilan pribadi.
Sikap low profile sang Menteri juga menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik lainnya. Di saat banyak yang berlomba membangun citra, ia memilih membangun kinerja. Ia berbicara seperlunya, tetapi bekerja sepenuhnya. Publik merasakan bahwa setiap keputusan fiskal diambil dengan hati-hati, tidak tergesa, namun berdampak luas. Dalam banyak kesempatan, ia hadir tanpa protokol berlebihan, bahkan sering turun langsung menemui pelaku usaha kecil dan menengah, mendengar keluhan mereka, dan menyusun kebijakan dari suara akar rumput. Ia mempraktikkan apa yang disebut Presiden Prabowo sebagai “ekonomi kerakyatan yang berdaulat” berpihak, bukan berjarak.
Konteks ini pula yang menjelaskan mengapa kepercayaan publik terhadap arah ekonomi nasional terus meningkat. Dengan komunikasi publik yang mudah dimengerti, ia menutup jurang antara bahasa teknis ekonomi dan pemahaman rakyat biasa. Tidak ada istilah rumit yang membuat masyarakat bingung. Ia tahu, bahasa kebijakan haruslah menginspirasi, bukan menakutkan. Maka, setiap kali ia berbicara, yang muncul bukan kekhawatiran, melainkan harapan.
Fenomena ini memberi pelajaran berharga: dalam mengelola bangsa, yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan finansial, tetapi juga kepekaan sosial. Di tangan pemimpin yang rendah hati, kebijakan ekonomi bisa menjadi alat untuk menumbuhkan solidaritas. Pemerintah bukan sekadar pengelola anggaran, melainkan penjaga moral pembangunan.
Ketika IHSG naik, ketika inflasi terkendali, ketika lapangan kerja mulai terbuka luas, semua itu tidak berdiri sendiri. Ada nilai-nilai kepemimpinan yang menuntun di baliknya. Nilai kesetiaan, ketenangan, dan keberanian untuk tetap berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan pribadi. Itulah yang menjadikan sosok Menteri Keuangan di era Prabowo bukan hanya teknokrat, tetapi teladan kebangsaan.
Maka, bagi kita masyarakat Provinsi Jambi dan seluruh Indonesia, kehadiran figur seperti ini memberi optimisme baru. Bahwa di tengah dinamika global, Indonesia masih punya pemimpin yang bekerja dengan hati, berpikir dengan akal sehat, dan berjalan dengan arah yang jelas. Kita pun percaya, dengan semangat “kaya bareng-bareng”, bangsa ini akan melangkah maju, tidak dengan teriakan, tapi dengan ketulusan dan kerja nyata.(*)
Add new comment