Sawit Watch Desak Penegakan Hukum Pidana Kehutanan! Kemenhut Bongkar 317.253 Hektar Kebun Sawit Ilegal

WIB
IST

BOGOR – Polemik perkebunan sawit dalam kawasan hutan kembali memanas! Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025 (Kepmenhut 36/2025) yang mengungkap 317.253 hektar kebun sawit ilegal yang permohonan penyelesaiannya ditolak.

Namun, ke mana arah penyelesaian kebun-kebun sawit yang ditolak ini? Akankah dikelola negara, dikembalikan ke hutan, atau justru berpotensi menjadi "bancakan" kelompok tertentu?

Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, menilai kebijakan ini merupakan bagian dari transparansi pemerintah dalam penertiban kawasan hutan. Namun, ia mengingatkan bahwa tanpa tindak lanjut hukum, kebijakan ini bisa menjadi macan ompong.

"Kami mendesak aparat hukum segera mengambil langkah tegas! Jangan hanya transparan di atas kertas, tapi juga lakukan proses hukum pidana kehutanan terhadap perusahaan sawit ilegal!" ujar Surambo, Minggu (16/2/2025).

Surambo juga menyoroti ketidakjelasan langkah pemerintah terhadap kebun-kebun sawit yang ditolak penyelesaiannya.

"Apakah akan diambil alih BUMN, dikembalikan ke hutan, atau ada opsi lain? Jangan sampai celah ini dimanfaatkan oleh kelompok tertentu!" tambahnya.

Yang mengejutkan, dalam daftar 436 perusahaan sawit yang bermasalah, terdapat nama-nama besar dalam industri kelapa sawit seperti:
🔹 Sinarmas Agro
🔹 Musim Mas
🔹 Wilmar
🔹 Duta Palma
🔹 Eagle High Plantations
🔹 Astra Agro
🔹 Triputra
🔹 Cargill
🔹 Sampoerna Agro
🔹 Bumitama

Padahal, banyak dari mereka memiliki sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO.

"Bagaimana mungkin perusahaan yang memiliki sertifikat keberlanjutan ternyata mengelola kebun ilegal dalam kawasan hutan? Ini jelas menimbulkan pertanyaan besar!" kata Surambo.

Sawit Watch meminta RSPO segera membekukan sertifikat keberlanjutan bagi perusahaan yang terbukti melakukan ekspansi ilegal.

"Kalau RSPO serius dengan prinsip keberlanjutan, mereka harus mencabut sertifikasi perusahaan yang terlibat dalam perusakan hutan!" tegasnya.

Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, menyoroti bahwa Kepmenhut 36/2025 memang membawa transparansi. Namun, masih ada banyak wilayah abu-abu dalam penyelesaian kebun-kebun sawit yang ditolak.

"Apakah mereka otomatis masuk dalam skema pemidanaan Pasal 7 Perpres 5/2025, atau masih ada celah untuk mereka menguasai kawasan itu kembali? Ini harus diperjelas!" ujar Zazali.

Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan bahwa UU Cipta Kerja justru membuat kebijakan ini semakin kabur.

"Ada celah dalam Pasal 110A dan 110B yang membuat perusahaan bisa lolos hanya dengan membayar denda administratif! Ini jelas tumpang tindih dan merugikan upaya menghentikan deforestasi," tegasnya.

Kuasa hukum Sawit Watch, John D. Sinurat, mengonfirmasi bahwa mereka telah mengajukan permohonan uji materi Pasal 110B UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kami ingin memastikan hukum yang adil! Jangan sampai perusahaan besar dibiarkan bebas hanya dengan membayar denda, sementara petani kecil terus dikejar!" ujarnya.

Sawit Watch menegaskan bahwa kepastian hukum harus ditegakkan agar kebijakan ini tidak hanya menjadi formalitas di atas kertas.

Penerbitan Kepmenhut 36/2025 seharusnya menjadi momentum penegakan hukum yang lebih serius terhadap perusahaan sawit yang beroperasi secara ilegal.

Akan tetapi, jika tidak ada langkah konkret dari aparat hukum, bukan tidak mungkin ratusan ribu hektar kawasan hutan yang ditolak penyelesaiannya akan kembali dikuasai secara ilegal oleh korporasi besar.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.