Langit Kota Jambi belum sepenuhnya terang ketika langkah-langkah pelan mulai mengalir ke halaman Grya Mayang, rumah dinas Wali Kota Jambi. Sabtu pagi itu, 12 April 2025, udara Subuh menyelinap lembut. Embun masih betah bersembunyi di ujung dedaunan. Tapi suasana di Masjid Al-Amanah justru hangat oleh semangat yang tak biasa.
Warga berdatangan. Ratusan. Ada yang berjaket, berpeci, mengenakan sarung, bahkan membawa anak-anak. Mereka datang bukan sekadar menunaikan shalat. Mereka datang karena undangan Wali Kota—bukan dalam bentuk surat resmi, tapi lewat ajakan terbuka: datanglah, mari kita ngobrol setelah Subuh.
Di barisan depan saf, dr. Maulana berdiri khusyuk. Ia tak sedang berpidato. Tak juga memerintah. Ia ikut jadi makmum. Berdiri sejajar dengan warga, bersujud bersama rakyatnya. Di sampingnya, Wakil Wali Kota Diza Hazra Aljosha dan Sekda A. Ridwan juga ikut larut dalam keheningan ibadah.

Usai salam terakhir, gema dzikir masih bergema, Maulana lalu melangkah ke tengah kerumunan. Tak ada podium. Tak ada jarak. Hanya mikrofon di tangan dan senyum yang tak dibuat-buat.
“Kita ingin membangun komunikasi yang tulus. Yang dimulai dari tempat suci ini. Setelah Subuh, mari kita ngobrol santai, sarapan bareng, sampaikan unek-unek, saran, dan impian,” ucapnya. Suaranya tenang, tapi mengalirkan energi yang menyala.
Program ini bernama Subuh Berkah Bahagia. Ia bukan sekadar agenda keagamaan. Ia adalah medium: untuk mendengar, berbagi, dan membangun keakraban antara pemerintah dan masyarakat. Maulana ingin warga merasa memiliki ruang. Ruang yang tak kaku. Tak seremonial. Tapi akrab dan membumi.
Setelah doa dan dzikir, mulailah sesi curhat warga. Abdurrahman dari RT 11, Kelurahan Sungai Putri, angkat bicara. “Pak Wali, kami butuh penanganan lebih cepat soal banjir kecil di kawasan kami.” Di sekelilingnya, warga lain mengangguk. OPD mencatat. Beberapa langsung merespons.
Ada juga yang mengusulkan kegiatan pemuda, perbaikan saluran air, sampai permintaan jemput bola layanan kesehatan. Tak ada pertanyaan yang ditertawakan. Tak ada kritik yang ditolak. Semua diterima dengan kepala dingin.
Usai berdiskusi, sarapan hangat sudah disiapkan. Berbagai makanan dan teh manis mengepul. Wajah mereka tampak bahagia. Lansia duduk berselonjor sambil bercerita. Senyum melingkar di mana-mana.
Maulana tak berhenti di situ. Ia mengajak warga untuk menjadikan rumah dinas ini sebagai rumah bersama.
“Mau olahraga? Ayo. Setiap minggu ada senam sehat di sini. Ada lapangan tenis juga. Ini milik kita semua.”
Ia lalu menutup dengan sabda Rasulullah SAW:
"Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan seluruh isinya."
Ia membacanya pelan, serasa mengingatkan—betapa besar nilai spiritual dari awal hari yang sederhana ini.
Program Subuh Berkah Bahagia rencananya digelar rutin tiap bulan. Tapi pagi itu sudah terasa seperti tradisi yang lama dinanti. Sebuah ruang ibadah yang berubah jadi ruang demokrasi. Tempat curhat warga yang setara dengan kantor-kantor pelayanan. Dan lebih dari itu: ia membangun hubungan yang selama ini sering hilang antara pemimpin dan yang dipimpinnya—kepercayaan.
Ketika matahari mulai naik malu-malu, warga pulang dengan langkah ringan. Di hati mereka, ada rasa baru. Harapan baru. Dan cerita yang akan mereka ulang-ulang di warung kopi: “Tadi pagi, saya sarapan bareng Pak Wali.”
Add new comment