BPK RI 2025 menemukan aset tanah miliaran rupiah di perumahan elit Kota Jambi yang sudah diserahkan pengembang, namun belum berstatus Hak Pakai. Risiko sengketa dan kerugian daerah mengintai jika Pemkot tak segera menindaklanjuti.
***
Audit BPK RI ini menunjukkan lemahnya pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) di Kota Jambi. Data BPK menyebut sejumlah aset bernilai di atas Rp 1 miliar yang sudah diserahkan pengembang tetap tercatat bukan sebagai HP.
Beberapa di antaranya bahkan berada di kawasan perumahan premium, antara lain:
- Tanah jalan Puri Tampak Siring, Kenali Asam Bawah – Rp 1,1 miliar
- Jalan lingkungan Viena Residence, Kenali Asam Bawah – Rp 1,6 miliar
- Jalan lingkungan Bukit Asrie Residence 1, Kenali Asam Bawah – Rp 3,6 miliar
- Jalan lingkungan Bukit Asrie Residence 2, Kenali Asam Bawah – Rp 1,1 miliar
- Jalan lingkungan Jasmine Residence 1, Kenali Asam Bawah – Rp 1,2 miliar
- Jalan lingkungan Permata Land 2 (PT Multi Nutara Prima) – Rp 1,2 miliar dan Rp 2 miliar
- Ruang terbuka hijau Perum Citra Land NGK Cluster 5 – Rp 1,5 miliar
- Ruang terbuka hijau Puri Indah, Alam Barajo – Rp 1,1 miliar
- Jalan Permata Land Blok 3 Garnet – Rp 2,3 miliar
- Jalan Perum Citra Land NGK Cluster 5 – Rp 4,2 miliar
- Jalan Perum Kampoeng Suka Jadi – Rp 1,5 miliar
- Jalan Perum Puri Indah, Alam Barajo – Rp 2,7 miliar
Selain aset miliaran rupiah, BPK juga mencatat masih banyak bidang tanah PSU di sejumlah perumahan dengan nilai bervariasi mulai dari Rp 10 juta hingga Rp 900 juta. Seluruhnya sudah diserahkan pengembang kepada Pemkot Jambi namun tetap belum berstatus HP.
Total nilainya mencapai puluhan miliar rupiah.
Dalam dokumen audit BPK RI tersebut, Kepala Bidang Perumahan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Kota Jambi mengakui status HP belum sepenuhnya rampung. Menurutnya, ini dilakukan agar aset dari pengembang dapat segera diterima dan tercatat di neraca daerah. Minimal, pengembang sudah membuat akta peralihan hak ke Pemkot Jambi sebagai tanda peralihan kepemilikan.
Jika harus menunggu sertifikat HP selesai, proses penyerahan PSU dinilai akan terhambat. DPRKP juga mengaku memiliki target tahunan penerimaan PSU sehingga skema ini dianggap solusi cepat.
BPK memperingatkan lambannya proses peralihan dari HGB atau status lain ke HP berisiko membuat tanah tersebut rawan sengketa, sulit dimanfaatkan optimal, bahkan bisa membebani keuangan daerah jika nantinya pengurusan harus diambil alih Pemkot.
Kantor Pertanahan Kota Jambi kepada BPK RI mengonfirmasi bahwa proses administrasi sering terhambat karena dokumen dari pengembang belum lengkap. Perubahan status tanah sangat bergantung pada kesadaran pengembang untuk memenuhi persyaratan.
Potensi masalah hukum yang mengintai dalam kasus aset tanah PSU perumahan elit di Kota Jambi ini cukup serius. Antaralain sebagai berikut:
1. Risiko Sengketa dan Potensi Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Karena sebagian aset masih berstatus HGB, SHM atas nama pihak ketiga, tanah wakaf, atau bahkan belum bersertifikat, secara hukum Pemkot belum memegang hak penuh. Situasi ini membuka celah bagi pihak lain, termasuk mantan pemilik atau pengembang, untuk melakukan klaim. Dalam konteks hukum perdata, ini masuk ranah perbuatan melawan hukum jika terjadi pengalihan atau penggunaan tanpa hak.
2. Dugaan Pelanggaran terhadap UU Pengelolaan Barang Milik Daerah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 27 Tahun 2014 jo. PP No. 28 Tahun 2020, dan Permendagri No. 19 Tahun 2016 mengatur bahwa aset daerah harus memiliki bukti kepemilikan yang sah (sertifikat HP untuk tanah). Menerima PSU tanpa menyelesaikan proses perubahan status ke HP berpotensi melanggar prinsip akuntabilitas dan tertib administrasi barang milik daerah, yang bisa diinterpretasikan sebagai kelalaian pejabat.
3. Potensi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Jika aset bernilai miliaran rupiah ini dibiarkan tanpa status jelas, nilainya bisa hilang atau berkurang akibat sengketa, penyerobotan, atau pengalihan tidak sah. Dalam perspektif Pasal 3 dan Pasal 2 UU Tipikor, kelalaian yang menyebabkan kerugian negara, baik disengaja maupun akibat pembiaran, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
4. Dugaan Kelalaian Jabatan (Maladministrasi)
Lemahnya pengawasan oleh Sekda, Kepala DPRKP, dan Kabid Perumahan bisa dinilai sebagai maladministrasi menurut UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Termasuk kategori penundaan berlarut dan penyalahgunaan wewenang jika ada unsur kesengajaan membiarkan dokumen tidak lengkap demi memenuhi target serah terima.
Keterlambatan yang diakibatkan dokumen tidak lengkap bisa saja menjadi modus untuk menahan status kepemilikan demi kepentingan pihak tertentu.
6. Potensi Gratifikasi atau Konflik Kepentingan
Kebijakan menerima PSU cepat tanpa sertifikat HP bisa dimanfaatkan sebagai ruang kompromi antara pengembang dan oknum pejabat. Ada potensi gratifikasi atau barter kepentingan jika pengembang yang belum melengkapi dokumen tetap mendapat keuntungan lain dari oknum pejabat.
BPK menilai permasalahan ini terjadi karena lemahnya pengawasan berjenjang, mulai dari Sekda Kota Jambi selaku Pengelola Barang dan Ketua Tim Verifikasi PSU, yang dianggap belum optimal memeriksa kelengkapan dokumen.
Kepala DPRKP kurang cermat membina dan mengawasi penggunaan aset daerah. Kepala Bidang Perumahan DPRKP tidak teliti mengendalikan proses administrasi serah terima PSU.
Sekda, Kepala DPRKP, dan Wali Kota Jambi sepakat dengan temuan BPK dan berkomitmen menindaklanjutinya. BPK merekomendasikan agar Pemkot memperketat verifikasi dokumen sebelum menerima PSU dari pengembang serta memastikan semua aset tanah segera diubah statusnya menjadi Hak Pakai.
Dengan nilai mencapai miliaran rupiah per bidang, publik menunggu langkah tegas Pemkot. Sebab, tanpa status HP yang jelas, aset tanah PSU perumahan elit ini bisa menjadi “aset tidur” yang tak memberi manfaat maksimal bagi warga Kota Jambi.(*)
Add new comment