Menjelang Musyawarah Daerah (Musda) XI Partai Golkar Provinsi Jambi, siapa sosok yang benar-benar layak memimpin Golkar Jambi?
Apakah sosok yang sibuk membangun pencitraan dan manuver diam-diam, atau mereka yang telah bekerja dalam diam dan terbukti membesarkan partai?
Jawabannya makin terang. Di antara riuhnya spekulasi, Drs. H. Cek Endra justru tampil dengan tenang, konsisten, dan terukur. Ia tak banyak bicara di ruang publik. Tapi, kerja-kerjanya sudah menjawab segalanya.
Tengoklah. Di tangan Cek Endra, suara Golkar di Pileg 2024 naik signifikan. Struktur DPD dan organisasi sayap tetap solid. Golkar Jambi tetap stabil di tengah turbulensi politik daerah.
Nama-nama baru boleh saja muncul. Dengan ambisi dan seolah-olah ingin membawa angin perubahan. Tapi, perubahan bukan sekadar mengganti wajah. Perubahan sejati adalah hasil dari kesinambungan perjuangan.
Di titik ini, Cek Endra jauh lebih unggul. Ia bukan orang yang datang tiba-tiba untuk menumpang nama partai. Ia lahir dari rahim Golkar. Ditempa oleh dinamika internal. Dan memahami detak denyut organisasi hingga ke akar rumput.
Sementara itu, manuver politik yang dilakukan Bupati Tebo Agus Rubianto dan sekelompok ketua DPD II, justru dinilai sejumlah kader sebagai gerakan politis pragmatis yang mengabaikan etika kaderisasi. Mereka yang sebelumnya mendukung CE, kini mendadak berpaling tanpa alasan substantif—sebuah sikap yang mencerminkan ambivalensi dan ketidakteguhan dalam berorganisasi.
“Pak CE itu tidak banyak omong, tapi kerja nyatanya bisa dirasakan semua kader. Dia pemimpin yang lahir dari kesetiaan, bukan dari rencana dadakan,” ujar salah satu sekretaris DPD II yang tetap setia mendukung Cek Endra.
Bukan hanya dari internal, Cek Endra juga mengantongi restu langsung dari Ketua Umum DPP Golkar, Bahlil Lahadalia. Ini bukan sekadar simbol politik, tapi pengakuan resmi atas kualitas dan kontribusinya terhadap Golkar Jambi.
Dan meski beberapa ketua DPD II tampak berpaling, dukungan loyalis tetap kuat. Bahkan, friksi di internal DPD yang berpaling justru menunjukkan bahwa banyak kader menolak kepemimpinan yang dibangun dari jalan pintas.
“Kalau Golkar dipimpin oleh orang yang datang hanya karena pengaruh jabatan daerah, itu bukan kaderisasi, tapi kooptasi,” kata pengamat politik Jambi, Dr. Dedek Kusnadi.
Musda XI bukan sekadar kontestasi memilih ketua. Ia adalah ujian akal sehat dan keteguhan prinsip politik. Apakah Golkar akan tetap berada dalam tangan pemimpin yang teruji dan terbukti, atau akan diserahkan pada eksperimen kepemimpinan yang belum tentu membawa stabilitas?
Cek Endra telah menunjukkan kapasitas dan loyalitas. Ia tidak mengejar kekuasaan dengan cara instan. Ia tidak membelah organisasi demi ambisi pribadi. Ia tidak menyusun skenario penggiringan suara. Ia hanya bekerja—dan hasilnya bisa dilihat.(*)
Add new comment