Guru Besar Hukum UI: Kekhilafan Hakim, Mardani Maming Harus Dibebaskan!

WIB
IST

Prof. Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Politik Universitas Indonesia (UI), secara tegas menyatakan bahwa putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada Mardani H. Maming dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah suatu kekeliruan yang nyata. Menurutnya, dakwaan bahwa Mardani menerima hadiah tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena yang terjadi adalah peristiwa keperdataan, bukan pidana.

Dalam pernyataannya, Prof. Topo Santoso, yang juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum UI (2013-2017), menjelaskan bahwa tuduhan yang menyatakan Mardani menerima hadiah atau gratifikasi dari hasil proses bisnis harus ditinjau kembali. Prof. Topo menegaskan bahwa hubungan antara Mardani dan pihak terkait adalah hubungan keperdataan yang sah dalam dunia bisnis, seperti fee, dividen, atau utang-piutang. "Ini adalah hubungan yang terjadi dalam proses bisnis dan transaksi legal, bukan bentuk gratifikasi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana," ujar Prof. Topo.

Dia juga menjelaskan bahwa perkara tersebut telah diputuskan sebelumnya oleh Pengadilan Niaga, yang mengakui bahwa hubungan ini sah dan tidak ada pelanggaran hukum dalam transaksi tersebut. "Sudah ada putusan dari Pengadilan Niaga yang menegaskan bahwa hubungan yang terjadi ini sepenuhnya keperdataan, dan sidang tersebut dilaksanakan secara terbuka untuk umum. Tidak ada kesepakatan gelap atau diam-diam dalam kasus ini," jelasnya lebih lanjut.

Tidak Ada Unsur Niat Jahat (Mens Rea) dalam Kasus Ini

Prof. Topo kemudian menyentuh inti dari permasalahan hukum ini, yakni tidak adanya unsur niat jahat atau mens rea dalam tindakan yang dituduhkan kepada Mardani. Dalam hukum pidana, unsur mens rea adalah elemen yang sangat penting untuk menentukan apakah sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak. Namun, dalam kasus ini, Prof. Topo menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Mardani memiliki niat jahat atau motif untuk melakukan korupsi.

"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara keputusan yang diambil oleh terdakwa, yang saat itu menjabat sebagai Bupati, dengan penerimaan fee atau dividen tersebut. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa Mardani menerima hadiah sebagai imbalan atas keputusan atau kebijakan yang dia buat sebagai Bupati," tambahnya.

Menurut Prof. Topo, argumen yang digunakan dalam dakwaan tidak mampu membuktikan adanya kesengajaan untuk melakukan tindak pidana. Ini berarti, menurutnya, bahwa dakwaan terhadap Mardani tidak memenuhi unsur-unsur yang diperlukan untuk menyatakan dia bersalah atas tuduhan korupsi.

Kekhilafan Hakim dalam Menilai Fakta Hukum

Dalam pernyataan yang lebih tajam, Prof. Topo menyimpulkan bahwa putusan yang menjatuhkan hukuman kepada Mardani H. Maming mencerminkan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim yang memutus perkara ini. "Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa putusan ini jelas memperlihatkan adanya kekhilafan hakim dalam menilai fakta hukum yang ada," tegas Prof. Topo.

Dia menegaskan bahwa sebuah kesalahan dalam memahami konteks hubungan bisnis dan hukum keperdataan yang terjadi antara Mardani dan pihak lainnya tidak boleh mengarah pada penjatuhan hukuman pidana. "Ini adalah kesalahan mendasar yang harus diperbaiki demi menjaga integritas dan martabat hukum di Indonesia," katanya.

Mardani Maming Harus Dibebaskan Demi Keadilan

Atas dasar analisis hukum yang komprehensif ini, Prof. Topo menyerukan agar Mardani H. Maming segera dibebaskan. Menurutnya, Mardani telah menjadi korban dari proses hukum yang keliru, dan pembebasannya adalah langkah yang tepat untuk mengembalikan keadilan. Dia juga menyoroti pentingnya menjaga martabat hukum Indonesia dengan memastikan bahwa keputusan pengadilan dibuat berdasarkan fakta yang benar dan tidak dipengaruhi oleh kesalahan interpretasi hukum.

"Mardani harus dibebaskan demi tegaknya keadilan dan hukum yang benar di Indonesia. Putusan ini, jika dibiarkan, akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kita," tegasnya.

Dampak Jangka Panjang bagi Sistem Hukum

Prof. Topo juga mengingatkan bahwa kesalahan dalam kasus ini tidak hanya berdampak pada Mardani secara pribadi, tetapi juga pada integritas keseluruhan sistem hukum di Indonesia. Jika putusan yang keliru seperti ini dibiarkan, kata dia, maka akan ada preseden buruk dalam penegakan hukum, di mana hubungan bisnis yang sah dapat dikriminalisasi dan dibawa ke ranah pidana tanpa dasar yang jelas.

"Hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan alat untuk menjatuhkan orang yang sebenarnya tidak bersalah. Jika hubungan bisnis seperti fee dan dividen terus dimasukkan dalam konteks pidana, maka banyak transaksi bisnis di Indonesia yang bisa terancam oleh kriminalisasi yang tidak semestinya," tutup Prof. Topo.

Dengan pernyataan dan analisis hukum yang kuat ini, Prof. Topo Santoso berharap agar Mahkamah Agung dan otoritas hukum terkait meninjau kembali putusan terhadap Mardani H. Maming dan memberikan keadilan yang layak. Baginya, pembebasan Mardani bukan hanya soal individu, tetapi soal menegakkan martabat hukum yang benar di Indonesia.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.