Pengelolaan Pajak Air Permukaan Jambi Bermasalah: Perusahaan Tak Punya Flow Meter, Potensi Kebocoran Pendapatan Daerah

WIB
ist

Pengelolaan Pendapatan Pajak Air Permukaan (PAP) di Provinsi Jambi masih jauh dari optimal. Hasil pemeriksaan atas realisasi pajak tahun anggaran 2023, yang dilakukan BPK RI tahun 2024, menunjukkan berbagai permasalahan mendasar, mulai dari data yang tidak mutakhir, tidak adanya alat ukur volume air yang digunakan, hingga pembayaran pajak yang didasarkan pada kesepakatan tak tertulis antara perusahaan dan petugas pajak.

Dari total anggaran PAP sebesar Rp1,52 miliar, realisasinya hanya mencapai Rp1,42 miliar atau 93,39%, tetapi angka tersebut ternyata tidak mencerminkan jumlah pajak yang sebenarnya harus dibayarkan.

Menurut BPK RI, salah satu temuan utama dalam pengelolaan PAP di Jambi adalah perhitungan NPAP yang belum diperbarui sejak 2012. Gubernur Jambi kala itu menetapkan nilai dasar pajak air permukaan melalui Keputusan Gubernur Nomor 290/Kep.Gub.Dipenda./2012, tetapi aturan tersebut tidak pernah dimutakhirkan meskipun sudah ada regulasi baru dari Kementerian PUPR Nomor 15/PRT/M/2017 dan Kepmen PUPR Nomor 1698/KPTS/M/2020 yang mengatur standar perhitungan baru.

Artinya, pendapatan dari pajak air permukaan selama bertahun-tahun tidak dihitung berdasarkan aturan terbaru, yang berpotensi merugikan daerah dalam jumlah besar.

Lebih parah lagi, 21 perusahaan yang menggunakan air permukaan di enam kabupaten/kota ternyata tidak memiliki alat ukur meteran air (flow meter). Akibatnya, volume air yang mereka gunakan tidak dapat diketahui secara pasti, dan pembayaran pajak hanya berdasarkan kesepakatan tidak tertulis antara pihak perusahaan dan petugas pajak daerah.

Dalam pemeriksaan secara uji petik atas 169 tanda bukti pembayaran PAP, ditemukan bahwa 102 pembayaran dengan nilai total Rp208 juta tidak dilengkapi dengan Surat Pemberitahuan Pajak Air Permukaan (SPPAP), dokumen yang seharusnya menjadi dasar pembayaran pajak.

Artinya, ada kemungkinan jumlah pajak yang dibayarkan perusahaan jauh lebih kecil dari yang seharusnya, mengingat volume air yang digunakan tidak pernah diukur secara objektif.

Pengamat kebijakan publik Dr Dedek Kusnadi, menilai situasi ini sangat berbahaya dan berpotensi menyebabkan kebocoran pajak dalam jumlah besar.

"Jika sejak 2012 nilai perolehan air permukaan tidak diperbarui, ini berarti pendapatan daerah yang berasal dari pajak air bisa jadi jauh lebih rendah dari seharusnya. Apalagi dengan temuan 21 perusahaan yang tidak memiliki flow meter, maka pajak yang mereka bayarkan bisa jadi tidak mencerminkan pemakaian air yang sebenarnya," ujarnya.

Ia juga menyoroti fakta bahwa nilai pajak air permukaan di beberapa perusahaan hanya ditentukan berdasarkan kesepakatan informal antara petugas pajak dan pihak perusahaan.

"Tidak boleh ada transaksi pajak yang didasarkan pada kesepakatan lisan. Semua harus ada hitungan objektif berdasarkan alat ukur yang valid. Jika ini dibiarkan, kita tidak hanya bicara soal kehilangan pendapatan, tetapi juga potensi korupsi," tegasnya.

Ia juga meminta Gubernur Jambi Al Haris untuk turun tangan langsung dan memerintahkan Dinas terkait segera melakukan pembaruan data serta memastikan seluruh perusahaan memasang flow meter.

"Tidak ada alasan bagi perusahaan besar untuk tidak memasang alat ukur volume air. Jika mereka menolak atau terus menunda, cabut izin operasionalnya. Daerah tidak boleh dirugikan hanya karena ada permainan pajak seperti ini," tegasnya.

Jika masalah ini tidak segera ditindaklanjuti, Provinsi Jambi berpotensi kehilangan miliaran rupiah setiap tahunnya, sementara pengelolaan sumber daya air terus berlangsung tanpa pengawasan yang memadai. (***)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network