BATANGHARI – Deretan tiang cor beton tampak tegak membisu di lahan proyek pembangunan Islamic Centre Kabupaten Batanghari. Tak ada aktivitas pembangunan. Tak terlihat tukang, tak terdengar bunyi mesin. Proyek megah yang diklaim menelan anggaran Rp20 miliar ini kini justru menyisakan pertanyaan besar: ke mana aliran dananya, dan mengapa proyek ini terancam mangkrak?
Proyek ini awalnya digadang-gadang sebagai simbol kemegahan dan pusat kegiatan keislaman di Kabupaten Batanghari. Namun, di lapangan, kondisinya jauh dari harapan. Selain hanya menyisakan timbunan dan tiang pancang, sumber internal menyebut bahwa pekerja telah lama meninggalkan lokasi.
Informasi yang beredar menyebut, perusahaan pemenang tender bahkan kesulitan keuangan dan sempat mengajukan pinjaman ke bank—namun ditolak. Artinya, proyek yang dibiayai penuh dari APBD Batanghari 2024 ini, patut diduga belum sepenuhnya cair ke pihak kontraktor atau justru menghadapi persoalan likuiditas internal.
Menanggapi situasi ini, Perkumpulan Gerakan Terpadu Anti Korupsi (GERTAK) Jambi mendesak aparat penegak hukum mengusut proyek Islamic Centre tersebut.
“Kalau melihat kondisi di lapangan, dengan Rp20 miliar, masa cuma jadi timbunan dan tiang pancang? Ini sangat mengganggu akal sehat publik,” tegas Abdurrahman Sayuti, S.H., M.H., C.L.A, Ketua GERTAK Jambi, dilansir dari jambi28tv.
Ia juga menyesalkan jika proyek ini hanya dijadikan instrumen politik semata. Apalagi, di tengah krisis fiskal daerah, hak-hak pegawai dan honorer masih banyak yang belum terpenuhi.
“Jangan sampai proyek ini hanya sekadar untuk menepati janji politik, tapi justru menyakiti masyarakat karena hak-hak dasar ASN belum dibayar,” katanya.
Kuat dugaan proyek ini tidak benar-benar dikerjakan oleh perusahaan pemenang tender. Modus pinjam bendera disinyalir terjadi—di mana perusahaan hanya sebagai ‘pelengkap administrasi’, sementara pelaksana di lapangan adalah pihak lain yang tidak memiliki kontrak resmi dengan pemerintah.
Perusahaan pemenang, PT Tunas Medan Jaya, beralamat di Kepulauan Riau dan memiliki modal disetor hanya Rp1 miliar, jauh dari nilai proyek senilai Rp20 miliar. Bidang usahanya pun amat luas, mulai dari penggalian tambang, konstruksi gedung, hingga perdagangan air minum.
Tak hanya itu, perubahan data perseroan pada Juni 2024 mencantumkan nama-nama baru dalam struktur direksi dan komisaris. Dengan struktur dan modal seperti itu, publik mempertanyakan kapabilitas perusahaan dalam menyelesaikan proyek raksasa yang menyedot dana APBD.
Upaya awak media menelusuri keberadaan kontraktor maupun konsultan pengawas pun menemui jalan buntu. Tidak satu pun dari pihak terkait yang memberikan penjelasan, bahkan cenderung menghindar. Ini memperkuat dugaan bahwa ada yang sengaja ditutupi.
“Kalau memang tidak ada yang salah, kenapa takut bicara? Kenapa pekerja bubar? Kenapa lokasi kosong?” sindir salah satu warga Batanghari yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini mendapat atensi besar dari masyarakat, karena menyangkut dana publik yang sangat besar. DPRD diminta untuk memanggil pihak-pihak terkait dan memanggil ulang dinas teknis yang menjadi pengguna anggaran.
Islamic Centre seharusnya menjadi kebanggaan, bukan monumen kegagalan. Proyek ini harus diaudit secara terbuka, transparan, dan akuntabel. Jika ada permainan dalam tender, peminjaman bendera, atau penyelewengan anggaran, maka aparat penegak hukum harus turun tangan.
Rp20 miliar bukan angka kecil. Jangan biarkan uang rakyat lenyap hanya karena kelalaian, pengabaian, atau keserakahan oknum tertentu.
Batanghari butuh pembangunan, bukan polemik. Dan publik, berhak tahu kebenarannya.(*)
Add new comment