Jejak Konflik Lahan Transmigrasi Gambut Jaya, Menteri desak Tempuh Jalur Hukum, Siapa Mafia Tanahnya?

WIB
IST

Konflik lahan TSM IV Gelam Baru, Gambut Jaya, Muaro Jambi, memasuki babak baru. Menteri Transmigrasi RI turun tangan setelah 200 KK transmigran 17 tahun menanti hak lahannya. Kasus ini melibatkan sertifikat ilegal, hingga dugaan mafia tanah. Sudah ditangani Jaksa. Bagaimana jejak kasusnya? Berikut penelusuran tim Jambi Link.

***

Menteri Transmigrasi RI Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara turun langsung ke Jambi. Ia datang, sengaja untuk membantu menyelesaikan konflik lahan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) IV Gelam Baru di Desa Gambut Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi.

Rupanya, kasus ini sudah masuk ke meja kerjanya, belum lama ini. Menteri langsung menggelar dialog Rabu, 20 Agustus 2025 di Rumah Dinas Bupati Muarojambi. Ia berkomitmen mencari solusi terbaik bagi ratusan transmigran yang sudah 17 tahun menanti kepastian hak atas lahannya.

“Jika mediasi memungkinkan, itu yang kita utamakan. Namun bila tidak, jalur hukum akan ditempuh,” tegas Iftitah mengenai penyelesaian konflik lahan transmigrasi di Gambut Jaya itu.

Permasalahan ini berakar dari program transmigrasi tahun 2009 silam. Kala itu, sebanyak 200 kepala keluarga (KK) ditempatkan di unit permukiman transmigrasi SP4 (Satuan Pemukiman 4) Gambut Jaya. Itu berdasarkan SK Bupati Muaro Jambi No. 533 Tahun 2009.

Peserta transmigrasi terdiri dari 100 KK lokal Muaro Jambi dan 100 KK pendatang (kerja sama dengan Pemkab Pati, Jawa Tengah). Masing-masing KK dijanjikan lahan 2 hektare yang meliputi lahan permukiman dan lahan usaha untuk bertani.

Namun, para transmigran hanya mendapatkan lahan permukiman berukuran sekitar 0,06 hektare per KK. Sementara lahan usaha yang dijanjikan tak pernah diberikan sepenuhnya. Penyebabnya, lahan pencadangan transmigrasi SP4 tersebut ternyata telah digarap oleh pihak lain. Bahkan sejak sebelum program dimulai.

Sejak tahun 1996, area yang seharusnya untuk transmigran itu sudah dikuasai oleh warga/penduduk lain secara ilegal. Puncaknya pada tahun 2008, menjelang kedatangan transmigran, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Muaro Jambi menerbitkan 105 sertifikat hak milik (SHM) individual bagi para penggarap liar tersebut melalui program redistribusi tanah.

Penerbitan SHM di atas lahan pencadangan transmigrasi ini diduga tanpa dasar hukum yang sah dan menyalahi prosedur.

Faktanya, lahan yang dicadangkan untuk transmigrasi SP4 beralih ke tangan pihak lain. Data WALHI Jambi menunjukkan objek lahan tersebut dikuasai oleh seorang pengusaha KG, berdasarkan SHM yang diterbitkan BPN Muaro Jambi tahun 2008.

Luas lahan transmigrasi yang dialihkan ini diperkirakan mencapai 86 hektare dari sekitar 150 hektare lahan tambahan yang dijanjikan untuk 200 KK transmigran. Akibatnya, sejak penempatan di tahun 2009, ratusan transmigran kehilangan hak atas lahan usaha mereka dan hanya menempati lahan pekarangan rumah yang relatif sempit.

Lahan Desa Gambut Jaya sebelumnya memang telah dicadangkan untuk program transmigrasi sejak era 1980-an. SK Gubernur Jambi No. 188/8/398 Tahun 1986 menetapkan pencadangan lahan ±20.000 Ha di wilayah Sungai Gelam, termasuk untuk lokasi transmigrasi SP1, SP2, SP3 dan TSM SP4 Gelam Baru.

Ironisnya, dalam rentang 1986 hingga 2009, terjadi tumpang tindih kepentingan, lahan tersebut sempat dialokasikan untuk konsesi perkebunan (PT. Bahari Gembira Ria) dan di saat bersamaan sebagian area transmigrasi diokupasi pihak lain yang kemudian memperoleh sertifikat sebelum transmigran resmi datang.

Menteri Transmigrasi saat turun ke Jambi

Perjalanan Kasus

Sejak 2009, para transmigran SP4 Gambut Jaya telah berulang kali memperjuangkan hak lahan usaha mereka. Belasan kali rapat dan surat aduan telah dilayangkan kepada berbagai pihak, namun penyelesaian belum tercapai.

Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi melalui Dinas Nakertrans mencatat bahwa sampai 17 tahun berlalu, para peserta TSM IV Gambut Jaya masih belum memperoleh bagian lahan yang menjadi hak mereka.

Upaya awal sempat dilakukan tahun 2015. Salah satu perusahaan perkebunan pemegang lahan di sekitar situ, PT. MKI, melepaskan sebagian lahannya untuk transmigran. Tiap KK transmigran memperoleh lahan usaha seluas 0,75 Ha dari pelepasan lahan PT. MKI tersebut.

Lahan 0,75 Ha per KK itu pun baru mendapat kepastian hukum dengan terbitnya SHM pada tahun 2019 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Meski demikian, luas tersebut masih di bawah jatah awal yang dijanjikan (masih kurang ±0,44 Ha per KK). Sisanya inilah yang masih menjadi sengketa karena telah bersertifikat atas nama orang lain sejak 2008.

Pemerintah Provinsi Jambi dan DPRD Provinsi juga terlibat mencari solusi. Gubernur Jambi Al Haris beberapa kali memfasilitasi pertemuan, dan bahkan Komisi V DPR RI turun tangan. Anggota DPR RI Edi Purwanto menyatakan dalam rapat 30 Juni 2025 bahwa lahan transmigrasi yang berstatus kawasan hutan harus segera dilepas dari status hutan, agar transmigran mendapat kepastian hukum atas lahannya.

Selain itu, pembenahan regulasi agraria dan tata ruang menjadi perhatian agar kasus serupa tidak terulang. Artinya, sebagian masalah tertunda juga disebabkan isu legalitas lahan (kawasan hutan vs. APL) di samping sertifikat ganda.

Di sisi lain, masyarakat transmigran dibantu organisasi lingkungan WALHI Jambi menempuh jalur advokasi dan aksi. Pada 17 September 2024, perwakilan warga Desa Gambut Jaya didampingi WALHI melaporkan dugaan mafia tanah yang menyerobot lahan transmigrasi mereka ke Mapolda Jambi.

Laporan ini mendesak agar kepolisian menyelidiki penerbitan 105 SHM tahun 2008 di atas tanah pencadangan tersebut dan mengembalikan lahan kepada pemilik hak yang sah (para transmigran). Kemudian pada 26 Mei 2025, ratusan warga transmigran bersama WALHI melakukan aksi reclaiming atau pendudukan simbolis di lahan sengketa (yang mereka sebut LU II, lahan usaha II) sebagai bentuk protes.

Aksi ini untuk mendesak pemerintah segera mengembalikan tanah tersebut atau menyediakan lahan pengganti yang setara, mengingat sudah 16 tahun warga kehilangan hak bertaninya.

Aksi massa Mei 2025 itu dilatarbelakangi kekecewaan warga atas lambatnya tindak lanjut pemerintah. Sebelumnya, pemerintah daerah bersama instansi terkait sempat membentuk Tim Terpadu yang pada 8 Oktober 2024 merekomendasikan pembatalan 105 SHM ilegal di lahan transmigrasi tersebut melalui mekanisme administratif oleh Kementerian ATR/BPN. Namun hingga Mei 2025, rekomendasi itu belum dijalankan, sehingga warga merasa perlu turun aksi lapangan.

Jejak Kasus Dugaan Korupsi dan Sertifikat Ilegal

Kasus ini juga bergulir ke ranah hukum. Pada Maret 2023, Kejaksaan Negeri Muaro Jambi membuka penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi terkait program transmigrasi SP4 Gambut Jaya. Penyidikan ini menyoroti penyimpangan dalam wilayah pencadangan transmigrasi lahan usaha yang berujung pada terbitnya sertifikat ganda.

Tim jaksa telah memeriksa setidaknya 15 saksi dan 1 ahli, termasuk pejabat yang terlibat di tahun 2009 serta para penerima sertifikat ilegal. Bahkan mantan Bupati Burhanuddin Mahir turut dimintai keterangan oleh penyidik pada tahun 2023 tersebut.

Fokus penyidik antara lain memastikan status tanah sengketa (apakah masuk kategori tanah negara bebas atau memiliki status tertentu) dan mengevaluasi prosedur redistribusi tanah tahun 2008, apakah sudah sesuai aturan atau tidak.

Kejaksaan telah mengamankan 255 dokumen terkait penerbitan sertifikat dan berkoordinasi dengan BPKP untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara.

Indikasi awal menunjukkan adanya cacat prosedur dalam penerbitan 105 sertifikat tersebut. Pihak BPN Kabupaten Muarojambi berdalih menerbitkan SHM melalui program redistribusi tanah karena lahan transmigrasi SP4 dianggap tanah negara tanpa status HPL (Hak Pengelolaan).

Namun, mekanisme penerbitan sertifikat redistribusi seharusnya mengikuti ketentuan Keppres No. 55 Tahun 1980 tentang Landreform, yang mengharuskan tahapan-tahapan formal dan koordinasi lintas instansi. Faktanya, dasar yang dipakai BPN setempat hanyalah selembar rekomendasi yang ditandatangani Bupati (saat itu Burhanuddin Mahir) tanpa keterlibatan instansi lain.

Dugaan penyalahgunaan wewenang inilah yang diselidiki. Apalagi Burhanuddin sendiri menyatakan tidak pernah mengeluarkan persetujuan resmi atau meneken surat untuk redistribusi lahan itu. Sehingga menimbulkan kecurigaan adanya pemalsuan tanda tangan atau dokumen.

Di hadapan Menteri, Burhanudin Mahir kembali menegaskan tanda tangannya dipalsukan.

Kendala dalam penyidikan, beberapa saksi kunci sudah sulit ditemukan atau meninggal dunia (misalnya mantan Kepala BPN Muaro Jambi). Sehingg memperlambat penuntasan kasus ini.

Di luar jalur kejaksaan, para transmigran melalui kuasa hukum dibantu WALHI juga mendorong penegakan hukum pidana terhadap aktor mafia tanah. Laporan warga ke Polda Jambi September 2024 menuduh adanya tindak pidana pertanahan berupa perampasan hak rakyat dan penerbitan surat tanah ilegal.

WALHI mendesak agar polisi menjerat oknum mafia tanah. Tuntutan konkret mereka antara lain membatalkan 105 SHM terbitan 2008 secara administratif melalui Kementerian ATR/BPN, mengembalikan lahan pada transmigran atau memberikan ganti rugi lahan yang sepadan, serta menindak oknum yang terlibat dalam konspirasi perampasan lahan.

Hingga kini, pembatalan sertifikat tersebut masih menjadi tarik-ulur. Kementerian ATR/BPN di level pusat sebenarnya punya wewenang untuk membatalkan sertifikat cacat hukum. Namun perlu dasar dan proses hukum yang kuat agar tidak digugat balik.

Menteri pun Turun Gunung

Kunjungan Menteri Transmigrasi Iftitah S. Suryanegara pada 20 Agustus 2025 kemarin memberikan angin segar bagi penyelesaian konflik ini. Ia menegaskan akan berkoordinasi langsung dengan Kementerian ATR/BPN untuk mencari solusi tunta.

Bahkan, Kementerian Transmigrasi disebut telah menjalin MoU dengan ATR/BPN sebagai payung untuk menyelesaikan persoalan agraria di kawasan transmigrasi. Langkah mediasi akan ditempuh terlebih dahulu. Misalnya mencoba membujuk pemegang sertifikat ilegal agar melepaskan klaim atau menerima ganti rugi.

Jika mediasi buntu, jalur hukum akan diambil, termasuk kemungkinan pembatalan sertifikat lewat pengadilan atau keputusan administrasi pusat.

“Misal tidak berani membatalkan (secara mediasi), tempuh jalur hukum, cari saksi kunci yang menguasai (informasi),” ujar Iftitah, sembari menyatakan keterangan saksi-saksi kunci akan sangat penting dalam proses ini.

Pada pertemuan di Muaro Jambi itu, hadir pula Gubernur Al Haris dan jajaran Forkopimda Jambi yang siap mendukung langkah pusat. Pemerintah daerah berharap momentum kunjungan Menteri ini bisa memutus kebuntuan koordinasi yang selama ini terjadi.

“Kedatangan Pak Menteri diharapkan permasalahan di Gambut Jaya bisa selesai. Saya yakin Pak Menteri mampu mengurai masalah ini,” kata Burhanuddin Mahir yang turut hadir memberikan keterangan dalam forum tersebut.

Ke depan, tim terpadu pusat-daerah kemungkinan akan dibentuk ulang untuk mengeksekusi solusi. Kementerian ATR/BPN dapat melakukan tindakan seperti pencabutan SHM melalui keputusan Menteri ATR jika terbukti cacat administrasi, atau menerbitkan hak pengelolaan baru untuk transmigran. Sementara itu, Kejaksaan dan Kepolisian diharapkan melanjutkan proses hukum kepada oknum-oknum yang terbukti melakukan pemalsuan dokumen ataupun korupsi pengelolaan lahan negara.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network