UGGp Merangin Jambi hadapi revalidasi 2026. GM Dr. Agus tegaskan audit UNESCO bukan formalitas, tapi penilaian manfaat nyata bagi warga.
***
Revalidasi status UNESCO Global Geopark (UGGp) Merangin Jambi bukan seremoni belaka. General Manager Merangin Jambi UGGp, Dr. Agus, menegaskan penilaian ulang empat tahunan ini merupakan audit kinerja nyata terhadap tiga pilar utama, yakni konservasi, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan berbasis partisipasi warga.
Ia mengkritik narasi "kebanggaan global vs penderitaan lokal" yang sempat muncul terkait Geopark Merangin.
"Narasi seperti itu menyesatkan karena menyederhanakan realitas pengelolaan geopark," tegas Dr. Agus.
Sebagai informasi, UNESCO mewajibkan evaluasi ulang (revalidasi) geopark setiap empat tahun sekali oleh asesor independen. Merangin Jambi UGGp menjalani revalidasi pada Mei 2026.
Hasil penilaian itu bisa berupa "kartu hijau" (lolos tanpa catatan), "kartu kuning" (peringatan perlunya perbaikan), "kartu merah" (peringatan serius), atau bahkan pencabutan status UGGp jika kinerjanya dianggap buruk. Ini menegaskan bahwa evaluasi UNESCO sangat substantif dan berbasis kinerja lapangan, bukan sekadar formalitas administratif.
Di tengah sorotan itu, Merangin Jambi UGGp sebenarnya telah menorehkan prestasi di kancah internasional. Geopark ini meraih penghargaan Best Practice Award 2023 dalam Konferensi Internasional Geopark Global UNESCO di Marrakesh, Maroko. Penghargaan tersebut diberikan atas praktik pengelolaan yang dianggap berdampak nyata dan dapat menjadi contoh (best practice) bagi geopark lain.
"Penghargaan ini bukti dampak nyata di lapangan dan proses belajar yang terus berjalan. Bukan sekadar papan nama," ujar Dr. Agus.
Selain itu, dukungan pemerintah daerah terhadap Geopark Merangin juga konkret. Pemerintah Kabupaten Merangin bersama Pemerintah Provinsi Jambi mengalokasikan anggaran operasional untuk penguatan geopark, serta rutin mengadakan pelatihan pemandu dan promosi wisata ilmiah (geowisata) sepanjang 2023–2025. Program-program ini berjalan konsisten dan berkesinambungan, menandakan pengelolaan geopark bukan sekadar seremoni.
Kondisi kesejahteraan warga di Merangin pun tidak seburuk narasi "penderitaan lokal" yang digaungkan. Data BPS Kabupaten Merangin per Maret 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan turun menjadi 8,40%, membaik 0,50 poin persentase dibanding tahun sebelumnya.
Tak ada indikasi bahwa status UGGp membuat masyarakat makin terpuruk; tren kesejahteraan justru membaik (meski tentu tidak semata-mata karena geopark).
"Tak ada bukti status geopark membuat kesejahteraan warga merosot. Narasi 'penderitaan lokal' yang menyamaratakan warga jelas tidak didukung data," tegas Dr. Agus.
Bahkan, Dr. Agus memaparkan banyak praktik pemberdayaan masyarakat yang telah berjalan di kawasan Geopark Merangin. Berbagai kelompok usaha dan komunitas terbentuk dengan fasilitasi geopark, antara lain komunitas geowisata arung jeram, kelompok petani kopi dan penggiat kopi lokal, perajin batik bermotif warisan geologi, program Geopark Goes to School di sekolah-sekolah, hingga Program Kampung Iklim di desa sekitar situs.
Program-program itu melibatkan pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas, BUMN, hingga swasta, menunjukkan kolaborasi lintas pihak untuk meningkatkan ekonomi lokal.
Isu Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang kerap dijadikan contoh "penderitaan lokal" turut disoroti. Dr. Agus menjelaskan, PETI adalah masalah struktural lintas sektor di bidang hukum, ekonomi, dan tata ruang yang berada di luar kewenangan teknis pengelola geopark.
Aparat kepolisian dan pemda telah membentuk tim terpadu untuk menindak PETI. Bahkan operasi khusus dilakukan baru-baru ini guna mencegah aktivitas penambang liar mendekati kawasan geosite.
"Masalah PETI itu domain penegakan hukum dan tata kelola sumber daya, bukan efek geopark," tegasnya.
UNESCO sendiri menetapkan bahwa setiap geopark global harus membawa manfaat bagi masyarakat lokal. Konsep UGGp bersifat bottom-up, memadukan perayaan warisan bumi dengan pemberdayaan komunitas setempat.
Pengelola geopark wajib punya rencana yang memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi warga, melindungi lanskap, dan melestarikan budaya lokal. Ketentuan ini bukan sekadar jargon di atas kertas, melainkan menjadi salah satu kriteria utama yang diperiksa saat revalidasi.
"Memberikan manfaat ke masyarakat itu mandat dasar UNESCO, bukan bonus tambahan," kata Dr. Agus.
Ia menekankan bahwa aspek kemanfaatan bagi warga memang sudah menjadi keharusan dalam pengelolaan geopark.
Dr. Agus mencontohkan Geopark Gunung Sewu (DI Yogyakarta-Jawa Tengah-Jawa Timur) yang berhasil mempertahankan kartu hijau saat revalidasi UNESCO.
"Hal itu hanya mungkin karena indikator manfaat di lapangan terpenuhi. Ini menegaskan standar UNESCO memang bukan basa-basi," ujarnya.
Kritik terhadap Geopark Merangin sebelumnya juga dinilai kurang proporsional. Dr. Agus menyebut penulis kritik tersebut memakai generalisasi "prestise vs derita" dari studi kasus di tempat lain lalu diterapkan ke Merangin tanpa memperhatikan konteks.
Padahal, setiap geopark memiliki kondisi sosial-ekologis berbeda. Mulai dari karakter geositus, struktur ekonomi lokal, tingkat partisipasi warga, hingga tantangan eksternal seperti PETI. UNESCO sendiri, lanjutnya, menghindari pendekatan satu resep untuk semua. Setiap situs dinilai berdasarkan rencana pengelolaan dan pelaksanaan di lapangan sesuai kondisi lokal masing-masing.
Alih-alih terjebak dalam debat dikotomi, pengelola Geopark Merangin kini fokus menyiapkan langkah perbaikan konkret menjelang revalidasi 2026. Dr. Agus memaparkan beberapa agenda teknis yang akan ditempuh 6–12 bulan ke depan.
Pertama, pengelola akan membuat indikator manfaat bagi warga yang terukur dan transparan. Data seperti jumlah pelaku UMKM geowisata, peningkatan pendapatan pemandu dan pengelola homestay, partisipasi perempuan dalam usaha batik/kerajinan, serta keterlibatan sekolah akan dipantau dan diumumkan secara berkala melalui dashboard publik.
Kedua, disusun matriks target konservasi-edukasi-ekonomi untuk setiap geosite. Misalnya, ditetapkan target tutupan vegetasi di kawasan tersebut, jumlah kegiatan edukasi geopark di sekolah per semester, hingga konversi kunjungan edukatif menjadi transaksi ekonomi lokal. Matriks ini memadukan aspek pelestarian, pendidikan, dan kesejahteraan secara seimbang di setiap titik.
Ketiga, Geopark Merangin memperkuat kemitraan lintas sektor untuk menangani area rawan PETI. Penegakan hukum akan diintegrasikan dengan program transisi ekonomi bagi masyarakat setempat, seperti pelatihan pemandu wisata, pengembangan kerajinan berbasis geowarisan, dan pemberian akses permodalan (KUR/UMi). Dengan demikian, warga diharapkan punya alternatif mata pencaharian ketika aktivitas PETI ditertibkan, sementara aparat fokus menindak aktivitas ilegal tersebut.
Keempat, akan dilakukan audit sosial independen setiap tahun oleh perguruan tinggi atau lembaga lokal di Jambi. Audit ini akan memverifikasi secara terbuka semua klaim manfaat maupun keluhan "penderitaan" dari masyarakat, sehingga mengurangi ruang bagi kabar yang berlebihan sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap pengelolaan geopark.
Selain itu, Dr. Agus menepis anggapan bahwa Geopark Merangin kekurangan tenaga ahli. Ia menyebut pengelolaan UGGp justru diperkuat oleh kolaborasi dengan Universitas Jambi. Ini menjadikan Merangin sebagai laboratorium kebumian untuk penelitian dan praktik lapangan para dosen serta mahasiswa.
"Tim pengelola geopark bersama pakar UNJA juga tengah menyusun dokumen revalidasi (dossier) secara mandiri tanpa harus bergantung pada konsultan luar," tegas Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parhayangan itu.
Kompetensi SDM lokal pun terus ditingkatkan. Dr. Agus sendiri baru-baru ini ditunjuk oleh Badan Geologi sebagai asesor geopark Indonesia. Ia bahkan telah membantu melakukan asesmen dan pendampingan agar Geopark Ranah Minang Silokek di Sumatra Barat bisa maju menjadi UNESCO Global Geopark. Hal ini menunjukkan kemampuan tenaga ahli dalam negeri dimanfaatkan optimal di Geopark Merangin.
Pada intinya, status UGGp menuntut kerja nyata di tiga rel sekaligus: melindungi warisan bumi, mengedukasi publik, dan menyejahterakan masyarakat. Merangin Jambi UGGp sudah memiliki pijakan kuat dengan rekognisi internasional, program-program pelatihan, serta tren kesejahteraan warga yang membaik. Meski demikian, tantangan ke depan adalah memperkuat data manfaat di tingkat tapak dan koordinasi lintas sektor, terutama untuk menekan masalah PETI.
Ke depan, Dr. Agus mengajak semua pihak meninggalkan pola pikir dikotomis dan fokus pada pembuktian kinerja di lapangan.
"Revalidasi tahun 2026 akan menjadi ujian integritas tata kelola Geopark Merangin Jambi. Cara terbaik menghadapinya adalah menajamkan data manfaat bagi warga, memperkuat kemitraan lintas sektor dan penegakan hukum, serta konsisten menjaga tiga pilar UNESCO di lapangan," pungkas Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi itu.(*)
Add new comment