Ribuan warga di Kenali Asam Atas dan Bawah, Kota Jambi, terdampak penetapan zona merah Pertamina sejak 2018. Sebanyak 5.500 bidang tanah bersertifikat SHM kini dibekukan hak transaksinya karena diklaim sebagai aset negara. Pemkot Jambi, DPRD, hingga DPR RI berupaya mencari solusi ke pemerintah pusat agar hak warga tak terus terombang-ambing. Warga pun berharap, momentum kemerdekaan RI 80 ini, mereka benar-benar bisa merasakan kemerdekaan. Bagaimana kronologi kasusnya? Berikut penelusuran tim Jambi Link.
***
Puluhan tahun lamanya, ribuan warga Kota Jambi menempati lahan di Kelurahan Kenali Asam Atas dan Kenali Asam Bawah. Mereka mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM) resmi atas tanah itu. Tapi, mulai 2018, status kepemilikan lahan mereka mendadak terombang-ambing.
Sedikitnya 5.500 bidang tanah bersertifikat milik warga kini dinyatakan masuk “zona merah” Pertamina. Artinya lahan itu diklaim sebagai aset milik negara yang dikelola PT Pertamina. Penetapan zona merah ini praktis membekukan hak transaksi atas tanah warga.
Situasi ini bukan saja memukul ekonomi warga. Banyak yang gagal menjual tanah atau menjaminkan sertifikat ke bank. Masalah lain, juga memicu kebingungan hukum bagi keluarga yang hendak mewariskan properti mereka. Seorang warga Kenali Asam Bawah bahkan mengaku kaget ketika proses balik nama sertifikat rumah yang dibelinya tahun 2024 ditolak BPN karena butuh izin tertulis dari Pertamina.
“Sekarang saya rugi dan bingung harus bagaimana,” keluhnya.
Sejak awal 2024, Pemkot Jambi sebetulnya gencar mencari solusi atas polemik ini. Konsultasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN sudah dilakukan.
“Kami berharap Kantor Staf Presiden (KSP) dapat memediasi lintas kementerian, karena persoalan ini melibatkan Kementerian ATR/BPN, BUMN, dan Keuangan. Harus ada penyelesaian komprehensif agar masyarakat tidak terus dirugikan,” tegas Maulana, Wali Kota Jambi.
DPRD Kota Jambi pun turun tangan. Komisi I DPRD menggelar rapat dengar pendapat dan menampung keluhan warga, notaris, hingga pengembang perumahan yang terjebak sengketa zona merah ini.
Bahkan, Rocky Candra, anggota DPR RI Dapil Jambi dari Fraksi Gerindra dan Cek Endra dari Fraksi Golkar, siap membantu memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) di parlemen pusat bersama Pertamina demi mencari jalan keluar.
Jejak Terbitnya Ribuan Sertifikat
Bagaimana ribuan sertifikat bisa terbit di atas lahan negara? Berawal pada 1988. Kala itu, wilayah Kenali Asam dan sekitarnya beralih dari Kabupaten Batanghari ke Kota Jambi. Ini akibat pemekaran wilayah. Di era itu, pendataan tanah masih manual dan terfragmentasi.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batanghari diduga belum memasukkan peta wilayah kerja Pertamina di sana ke dalam arsip resmi yang diserahkan ke BPN Kota Jambi pasca-pemekaran. Akibatnya, lahan yang sejatinya merupakan aset negara (dikelola Pertamina) terlanjur dianggap sebagai tanah biasa yang bisa diberikan hak milik.
Seiring perkembangan kota, kawasan Kenali Asam Atas dan Bawah berubah menjadi permukiman padat. Warga mendirikan rumah, permukiman tumbuh pesat, bahkan fasilitas publik dibangun. Pemerintah pun sempat membangun sarana seperti sekolah (SDN 212) dan kantor lurah di area tersebut, yang belakangan ikut tersandung status lahannya.
Banyak warga menempati lahan turun-temurun dan membayar pajak bumi bangunan rutin. Tanpa pernah tahu tanahnya berada di “karpet merah” Pertamina.
BPN Kota Jambi mulai menerbitkan SHM bagi warga di era 1990-an hingga 2000-an, saat permukiman kian meluas. Perwakilan warga mengklaim sekitar tahun 2000, BPN sempat menerbitkan sertifikat tanpa kendala. Namun situasi berubah seiring waktu.
Banyak sertifikat baru terus terbit, sementara peta aset Pertamina masih tidak kunjung masuk buku BPN. Menurut Kepala BPN Kota Jambi, Hary Susetyo, inilah akar masalah tumpang tindih 5.500 bidang tanah tersebut, data lama hasil pemekaran belum sinkron, ditambah peta aset Pertamina yang tak pernah diserahkan resmi ke BPN kota.
Ibarat “bom waktu” administrasi, ribuan SHM warga berdiri di atas tanah berstatus Hak Pengelolaan/Hak Pakai negara. Warga baru tersadar ketika belakangan dokumen lama rekomendasi Pertamina tak dapat ditemukan. Dan zona merah diberlakukan.
“Zona Merah” 2018
Tahun 2018 menjadi titik balik sengketa ini. Anggota DPRD Kota Jambi, Muhilli Amin, mengungkapkan bahwa status zona merah Pertamina di permukiman Kenali Asam sudah ditetapkan sejak 2018. Inilah tahun ketika Kementerian Keuangan mulai menginventarisasi kembali tanah milik negara di Kota Jambi, termasuk lahan-lahan yang digunakan Pertamina.
Fakta pentingnya, penetapan zona merah ternyata bukan langsung oleh Pertamina, melainkan oleh Kemenkeu sebagai pemilik aset, dengan Pertamina “hanya” bertindak sebagai pengguna lahan. Pertamina tentu berkepentingan mengamankan aset strategisnya. Apalagi di kawasan tersebut terdapat infrastruktur migas seperti jalur pipa dan sumur minyak aktif.
Sejak status zona merah diberlakukan, praktis semua aktivitas pertanahan di atas lahan itu dibekukan. Warga baru mengetahui saat mengurus jual-beli atau waris dan ditolak BPN.
“Anehnya, zona merah ini muncul setelah sertifikat diterbitkan oleh BPN. Kita pertanyakan, kenapa bisa begitu?” keluh Muhilli Amin mempertanyakan koordinasi antar instansi.
Terbitnya ribuan SHM sebelum 2018 seakan tak diakui lagi. Padahal, dari kacamata warga, mereka mengantongi dokumen legal hasil prosedur resmi. Kini, tiba-tiba status tanahnya “diturunkan” menjadi aset negara.
Lebih pelik lagi, zona merah Pertamina melarang warga melakukan jual-beli, hibah, bahkan pewarisan. Artinya, hak warga atas tanah sendiri tergantung restu perusahaan minyak negara itu. Aktivitas ekonomi mandek. Rumah tak bisa dijual, sertifikat tak laku diagunkan.
Sejumlah warga yang menunggak kredit pemilikan rumah (KPR) pun waswas. Bank tidak bisa mengeksekusi jaminan tanah berstatus sengketa, yang dalam jangka panjang berpotensi mengusik stabilitas perbankan. Warga juga bertanya-tanya, apakah mereka mesti terus bayar Pajak Bumi Bangunan (PBB) untuk tanah yang oleh negara dianggap bukan miliknya lagi?
“Kami tetap ditagih PBB, tapi sertifikat tak jelas statusnya. Apakah pembayaran ini sia-sia?” keluh beberapa warga.
Dari sisi Pertamina, zona merah diberlakukan karena alasan safety dan legal. Sejak dulu, ada aturan radius aman minimal 70 meter dari fasilitas migas Pertamina di Kenali Asam, di mana permukiman seharusnya dilarang. Kenyataannya, ribuan rumah telanjur berdiri di area itu.
Tragedi memang pernah terjadi. Tahun 2019 sebuah pipa sumur minyak Pertamina EP di Kenali Asam Bawah bocor, menumpahkan crude oil ke parit dan jalan kampung. Warga cemas lingkungan tercemar. Bahkan sempat menghadang petugas Pertamina yang hendak masuk sebelum dijanjikan perbaikan infrastruktur lingkungan. Insiden ini menunjukkan betapa kompleksnya kondisi di lapangan. Lahan “milik Pertamina” tersebut sudah menjadi kampung warga yang hidup berdampingan dengan jaringan pipa tua, dengan segala potensi bahaya dan konflik.
Polemik 5.500 sertifikat tumpang-tindih ini melibatkan tarik ulur banyak pihak. Di atas kertas, secara hukum positif, lahan tersebut adalah aset negara berstatus Hak Pakai yang dipinjamkan kepada Pertamina. Artinya, sertifikat SHM warga terbit di atas tanah yang seharusnya tidak bisa dimiliki perorangan.
Dari sudut pandang BPN, ini kesalahan administrasi masa lalu.
“Hasil temuan ini terjadi akibat pemekaran wilayah serta belum diserahkannya peta aset Pertamina kepada BPN Kota Jambi… Akibatnya, sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN Kota Jambi bertumpang tindih dengan lahan milik negara,” jelas Kepala BPN Jambi, Hary Susetyo.
Pihak BPN kini berkoordinasi dengan Pemkot dan DPRD mencari jalan keluar. Sembari menghentikan segala penerbitan baru maupun peralihan hak di zona tersebut. Secara implisit, BPN mengakui sertifikat warga terlanjur terbit “di atas” tanah negara, sehingga perlu langkah legal ekstra untuk mengesahkannya kembali.
Dari sisi Pertamina, perusahaan berada pada posisi serba hati-hati. Walau enggan berkomentar terbuka di media, Pertamina hanya mengikuti ketetapan Kementerian Keuangan selaku pemilik lahan. Pertamina tentu berkepentingan mengamankan objek vital nasional di wilayah itu. Misalnya memastikan tidak ada pembangunan di atas jalur pipa dan sumur.
Di lapangan, Pertamina juga harus menghadapi protes warga yang telanjur bermukim. Sejumlah pengembang perumahan bahkan terpaksa menghentikan proyek rumah subsidi di Kenali Asam dan pindah lokasi karena status lahan mendadak “terlarang”.
Iklim investasi properti di Kota Jambi ikut terdampak. Para investor khawatir menanam modal di kawasan yang berstatus hukum abu-abu karena takut tumpang tindih di kemudian hari. Kepala Dinas Penanaman Modal Jambi, Yon Heri, mengakui bahwa zona merah ini membuat pengembang ragu meski potensi lahan cukup menjanjikan.
Pemerintah Kota Jambi, baik eksekutif maupun legislatif, kompak membela kepentingan warganya. Wali Kota Maulana menegaskan pemerintah akan mengawal agar hak-hak masyarakat atas tanahnya yang sah tetap diakui dan tidak dibekukan sepihak.
DPRD Kota Jambi melalui Komisi I pun mendesak keterbukaan data. Mereka mempertanyakan mengapa penetapan zona merah dilakukan diam-diam tanpa sosialisasi luas.
“Banyak warga mengadu ke DPRD karena tidak bisa urus jual beli atau warisan. Zona merah ini muncul setelah sertifikat terbit. Kenapa bisa begitu?” kritik Muhilli Amin.
Sementara itu, ribuan warga yang terdampak mulai menghimpun diri memperjuangkan nasib mereka. Mereka berharap ada solusi win-win, lahan diserahkan ke warga, dengan tetap memperhatikan aspek keamanan operasi Pertamina. Para warga meminta agar BPN dan Pertamina duduk bersama memetakan ulang batas-batas aset secara jelas dan adil.
“Kami bahkan belum pernah melihat peta zona merah Pertamina itu sendiri. Peta itu penting supaya warga tahu persis mana saja sertifikat yang terdampak,” ungkap Yel Zulmardi, tokoh warga Kenali Asam. Keterbukaan informasi menjadi tuntutan, agar tidak ada lagi warga yang tiba-tiba terjerat status tanah tak jelas saat mengurus surat.
Upaya Penyelesaian dan Implikasi Jangka Panjang
Hingga pertengahan 2025, jalan keluar permanen belum tercapai. Tapi harapan mulai muncul. Opsi terkuat yang mengemuka adalah hibah lahan dari negara kepada warga. Artinya, Kementerian Keuangan selaku pemegang aset akan melepaskan hak negara atas lahan tersebut dan mengalihkan menjadi milik warga sepenuhnya.
Kepala BPN Kota Jambi menyebut Pemkot, DPRD, dan Kanwil BPN sudah berkoordinasi dan berencana menemui Presiden untuk membahas kemungkinan hibah 5.500 bidang lahan tumpang tindih itu kepada masyarakat.
Jika disetujui, status tanah warga akan kembali “bersih” secara hukum. Menjadi SHM murni tanpa bayang-bayang aset negara. Ribuan warga bisa bernapas lega, tak khawatir lagi rumahnya sewaktu-waktu diambil negara.
Namun, proses hibah ini bukan perkara sederhana. Karena melibatkan aset negara, keputusan final ada di tangan Kementerian Keuangan dan instansi pusat. DPRD mengungkapkan, keputusan terakhir memang ada di Kemenkeu.
Diperlukan payung hukum seperti Keputusan Menteri atau bahkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah status ribuan hektare lahan itu. Selain itu, aspek teknis pemetaan ulang harus beres. Pertamina tentu harus memastikan area yang benar-benar vital (misal tepat di atas jalur pipa atau fasilitas penting) tetap diamankan dengan semacam right of way atau jarak aman, meski hak milik dialihkan.
Bagi warga, mereka siap jika misalnya sertifikat mereka diberi catatan khusus tentang zona aman fasilitas Pertamina. Yang terpenting, tidak ada lagi “hantu” hukum yang membayangi kepemilikan tanah mereka.
Solusi apapun yang ditempuh, mulai dari hibah lahan, revisi hukum, atau mediasi khusus, akan menjadi penentu masa depan ribuan kepala keluarga. Yang jelas, di atas tanah Kenali Asam yang merah, warga berharap segera melihat kepastian yang hijau.(*)
Add new comment