Proyek strategis Pembangunan Tanggul Penutup, Fasilitas dan Prasarana Bendung serta Jaringan Irigasi Daerah Irigasi (D.I.) Batang Asai di Kabupaten Sarolangun senilai Rp 57 miliar terus bergulir. Setelah tender fisik proyek yang diminati 100 perusahaan kini masuk tahap evaluasi teknis, kini sorotan publik tertuju pada proses tender konsultan supervisi alias pengawas proyek yang bernilai jumbo: Rp 3 miliar.
Berdasarkan data resmi LPSE, pengawasan proyek irigasi ini diminati 56 perusahaan konsultan dari berbagai daerah. Namun akhirnya, PT Mettana yang beralamat di Bandung, Jawa Barat, keluar sebagai pemenang. Mereka meraih nilai evaluasi tertinggi (91,97) dengan penawaran Rp 2.609.996.280.
Keputusan ini muncul setelah melalui evaluasi ketat, termasuk aspek teknis, harga, dan administratif. PT Mettana mengungguli peserta lain seperti PT Hilmy Anugerah, PT Tata Guna Patria, hingga PT Inakko Internasional Konsulindo yang menawarkan harga lebih murah.
Namun, ironisnya, sejumlah peserta dengan pengalaman panjang justru gugur di tengah jalan. Bahkan BUMN konsultan ternama PT Yodya Karya (Persero) digugurkan karena tidak memberikan klarifikasi dokumen. Ini menimbulkan tanda tanya besar.
“Ini proyek mahal dan strategis. Konsultan harus benar-benar independen, kompeten, dan tidak bermain mata dengan kontraktor. Pengawas itu ujung tombak kontrol mutu di lapangan,” ujar dosen UIN STS Jambi asal Sarolangun, Dr Dedek Kusnadi.

Dr Dedek menegaskan publik harus waspada terhadap potensi lemahnya pengawasan, terutama karena proyek ini sebelumnya sudah dikritik karena output-nya kecil (0,12 km tanggul) tapi menelan anggaran besar.
“Kalau pengawasnya cuma formalitas, proyek ini bisa mangkrak atau kualitasnya rendah. Jangan sampai kasus tanggul jebol atau irigasi gagal fungsi terulang,” tambahnya.
Ia juga menyoroti bahwa hasil evaluasi konsultan menunjukkan skor yang terlalu ‘rapat’, mengindikasikan kompetisi yang sangat ketat atau bahkan terkoordinasi.
“Waspadai konsorsium bayangan, waspadai konsultan titipan,” katanya.
Proyek ini dibiayai dari APBN melalui DIPA SNVT PJPA Sumatera VI Tahun Anggaran 2025 dan dikelola oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VI.
“Sekarang supervisinya sudah ditetapkan. Kita tunggu, apakah PT Mettana bisa bekerja secara profesional, mengawasi setiap detil pelaksanaan proyek fisik Rp 57 miliar itu atau tidak. Publik wajib mengawal,” tegasnya.
Ia mendesak BWSS VI untuk membuka akses publik terhadap dokumen kontrak dan jadwal pelaksanaan proyek, termasuk siapa penyedia alat berat, sumber bahan, dan metode kerja yang akan digunakan di daerah pedalaman seperti Batang Asai.
“Kita tak ingin proyek jumbo ini jadi sarang bancakan. Hentikan praktik subkontrak berkedok KSO dan pastikan supervisi dijalankan langsung oleh tenaga ahli yang kredibel, bukan hanya stempel nama perusahaan,” tutupnya.
Masa sanggah tender pengawasan akan berakhir dalam waktu dekat. Jika tidak ada protes, maka PT Mettana segera ditunjuk secara resmi. Namun publik tetap diimbau untuk mengawasi pelaksanaan proyek fisik dan kualitas pengawasan, agar dana APBN sebesar ini tidak terbuang sia-sia.
Apakah PT Mettana mampu menjawab kepercayaan publik? Ataukah proyek ini akan kembali menjadi daftar panjang proyek rawan mangkrak di Provinsi Jambi?
Kita pantau sama-sama.(*)
Add new comment