Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Jambi terus bergerak. Setelah sekian tahun gedung megah Jambi City Center (JCC) berdiri bak bangkai arsitektur di jantung kota, kini aparat hukum mulai meraba jejak-jejak korupsi yang diduga menyelimuti megaproyek itu. Sejak awal 2025, Kejari sudah memanggil satu per satu pejabat kunci Pemerintah Kota Jambi yang terlibat dalam proyek ini.
Mulai dari Sekretaris Daerah M. Ridwan, Kepala BPKAD Suryadi, Kabid Aset Asaad, hingga Fahmi, mantan Kepala Dinas Penanaman Modal yang dulu menandatangani perjanjian kerja sama dengan pengembang PT Bliss Properti Indonesia Tbk. Mereka diperiksa secara maraton. Bahkan Kabag Hukum Pemkot, Gempa Awaljon, seorang jaksa aktif, juga turut dimintai keterangan.
Kasi Pidsus Kejari Jambi, Soemarsono, menegaskan penyelidikan ini menyasar dugaan penyalahgunaan aset daerah dan kerugian keuangan negara akibat proyek JCC yang mangkrak.
“Kami mendalami dugaan bahwa sertifikat aset milik Pemkot telah diagunkan oleh pihak pengembang ke bank,” ujarnya.
Jika dugaan ini terbukti, kata dia, maka negara bukan hanya kehilangan PAD, tapi juga berpotensi kehilangan aset fisik yang menjadi dasar proyek.
Jambi City Center, yang kini hanya bangunan kosong melompong, sejatinya dulu dijanjikan sebagai ikon kemajuan Kota Jambi. Di atas lahan bekas Terminal Simpang Kawat, Pemerintah Kota Jambi pada tahun 2014 meneken kerja sama Build Operate Transfer (BOT) dengan PT Bliss. Nilai kontribusi yang dijanjikan ke kas daerah mencapai Rp 85 miliar untuk masa kerja sama 30 tahun.
Konsepnya canggih. Ada Bagindo Plaza yang menjual unit ritel strata title, pusat belanja modern tiga lantai, dan hotel milenial. Sebanyak 311 kios dan 124 counter dipasarkan kepada pedagang dan investor sejak 2015. Pemerintah menerima kontribusi tahap pertama senilai Rp 7,5 miliar yang langsung masuk ke kas daerah.
Pada 5 Mei 2018, gedung JCC secara fisik di-launching oleh Wali Kota Syarif Fasha. Foto-fotonya ramai di media. Namun setelah itu? Sepi. Tidak ada operasional. Tidak ada tenant. Tidak ada lampu menyala. Yang ada hanya janji yang tertinggal di brosur iklan dan bangunan yang makin hari makin ditinggalkan.
Apa yang salah?
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tahun 2019 dan 2023 mengungkap fakta mencengangkan. Addendum perjanjian BOT tahun 2014 tidak ditandatangani Wali Kota, melainkan oleh Kepala Badan Penanaman Modal saat itu. Padahal sesuai Permendagri 19 Tahun 2016, perjanjian pemanfaatan aset daerah seperti BOT harus diteken oleh kepala daerah.
Akibatnya? Perjanjian ini cacat hukum. Jika dibawa ke pengadilan, sangat mungkin batal demi hukum. Lebih parah lagi, klausul sanksi untuk pengembang tidak bisa diberlakukan. Pemkot Jambi seperti kehilangan hak hukumnya. Tak bisa menagih, tak bisa menggugat.
Dan ini bukan spekulasi. Dalam dokumen LHP BPK, tercatat bahwa potensi kontribusi PAD yang hilang sejak 2020 hingga 2024 mencapai Rp 15 miliar. Jika dihitung hingga 2046 (akhir masa BOT), kerugian potensi PAD mencapai Rp 75,5 miliar.
Namun kisah menjadi lebih kelam saat informasi ini mencuat. Sertifikat HGB Jambi City Center ternyata diagunkan oleh pengembang ke Bank Sinarmas. Artinya, aset negara telah menjadi jaminan utang.
Lahan eks Terminal Simpang Kawat memang telah disertifikatkan menjadi HGB No. 25/Payo Lebar atas nama PT Bliss sejak 2015. Namun, tindakan mengagunkan HGB di atas aset milik Pemkot tanpa proses persetujuan DPRD atau Kemendagri adalah pelanggaran.
Jaksa pun kini mendalami siapa yang mengizinkan penerbitan HGB dan siapa yang tahu soal agunan tersebut. Ada indikasi kuat bahwa hal itu dilakukan atas sepengetahuan pejabat.
“Kalau lahan negara dijadikan jaminan ke bank tanpa persetujuan, itu bisa masuk pidana,” ujar seorang jaksa yang terlibat dalam tim penyidik.
Fahmi, pejabat yang menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Bliss, membenarkan bahwa ia meneken dokumen itu saat menjabat Kepala Badan Penanaman Modal. “Itu berdasarkan penunjukan Plt, bukan wali kota langsung,” katanya. Pernyataannya mengonfirmasi temuan BPK.
Sementara Kabag Hukum Gempa Awaljon menyatakan, “Saya tidak tahu isi awal perjanjiannya. Itu masa sebelum saya menjabat.” Namun ia menegaskan bahwa tim hukum Pemkot kini sedang mengkaji ulang legalitas perjanjian dan kemungkinan langkah hukum ke depan.
Pihak Kejari juga menyasar Bank Sinarmas, tempat HGB JCC diagunkan. Jika bank menerima jaminan tanpa dokumen persetujuan dari pemerintah pusat dan DPRD, maka bisa jadi ada kesalahan prosedur bahkan potensi collusion.
Skema proyek JCC sangat mirip dengan kasus Lombok City Center (LCC) di NTB. Di sana, grup Bliss juga membangun mal lewat skema KSO, mengagunkan aset daerah ke bank, hingga akhirnya mal mangkrak dan kepala daerahnya, mantan Bupati Lombok Barat, kini dipenjara.
Direktur PT Bliss cabang NTB, Isabel Tanihaha, bahkan ikut diseret ke meja hijau dalam kasus itu. Aset mall disita oleh Kejaksaan. Pola di LCC, janji kontribusi PAD, surat perjanjian cacat, aset daerah digadaikan, dan proyek mangkrak. Persis dengan yang terjadi di Jambi.
Apakah JCC akan bernasib sama?
PT Bliss Properti Indonesia Tbk adalah bagian dari grup Blacksteel, yang dikendalikan oleh keluarga Tjokrosaputro. Publik mengenal nama besar Benny Tjokro dan Teddy Tjokro, duo bersaudara yang jadi aktor utama mega skandal Jiwasraya dan Asabri.
Nama PT Bliss muncul dalam penyidikan Asabri karena sejumlah aset mall mereka, seperti Ambon City Center, Ponorogo City Center, dan Tanjungpinang City Center, dinyatakan sebagai bagian dari pencucian uang dana Asabri. Bahkan direktur Bliss sempat diperiksa oleh Kejagung.
Terkait itu, tak heran jika proyek Jambi City Center ikut terpengaruh. Ada kemungkinan, dana untuk membangun JCC berasal dari aliran dana bermasalah. Atau, justru JCC dipakai untuk mencuci dana kotor lewat penjualan unit ritel kepada masyarakat.
Koalisi warga sipil dan aktivis anti-korupsi di Jambi tak tinggal diam. Mereka menyebut proyek ini sebagai “kasus Lombok kedua” dan menuntut agar jaksa tidak berhenti di pemanggilan saksi, tetapi menelusuri aliran uang, dokumen HGB, dan siapa yang benar-benar bermain di balik layar.
“Kasus ini harus diusut tuntas,” ujar Aidil Fitri, aktivis LPI Tipikor.
“Kalau di Lombok bisa sampai penjara, kenapa di Jambi tidak?” tegasnya.(*)
Add new comment