Sidang panas di PTUN Jambi. Yuskandar beberkan bukti dugaan manipulasi syarat, lolosnya caleg aktif, dan pelanggaran prosedur pengangkatan Mulyadi SE sebagai Direktur Perumda Air Minum Tirta Sako Batuah tanpa pertimbangan Mendagri.
***
Kamis siang, 14 Agustus 2025, ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jambi dipenuhi ketegangan. Yuskandar, seorang peserta seleksi Direktur Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Tirta Sako Batuah Kabupaten Sarolangun, maju sendiri sebagai penggugat.
Di hadapan majelis hakim, ia membeberkan berbagai bukti dugaan kejanggalan dalam proses seleksi direksi perusahaan air minum milik daerahnya.
Pada sidang pembuktian tambahan itu, Yuskandar tampak tenang namun tegas. Ia mengklaim sedang memperjuangkan transparansi dan keadilan dalam seleksi jabatan penting tersebut.
Sengketa pemilihan Direktur Perumda Tirta Sako Batuah ini kini memasuki babak genting, adu data dan argumen di meja hijau PTUN Jambi.
Polemik ini bermula dari proses seleksi direksi PDAM Sarolangun yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Hasil akhirnya, penunjukan Mulyadi, SE sebagai direktur baru langsung menuai tanda tanya.
Proses hukum bahkan berjalan di dua jalur sekaligus: di PTUN Jambi dan Pengadilan Negeri (PN) Sarolangun.
Berdasarkan penelusuran Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jambi, tercatat dua gugatan terkait kasus ini. Gugatan pertama diajukan oleh DPP ICC-RI (sebuah organisasi masyarakat), sedangkan gugatan kedua dilayangkan langsung oleh Yuskandar, dengan Bupati Sarolangun sebagai tergugat pada kedua perkara.
Yuskandar membenarkan bahwa ia mengajukan gugatan terhadap keputusan Bupati Sarolangun di PTUN Jambi melalui perkara Nomor 12/G/2025/PTUN.JBI yang ia tangani sendiri. Gugatan ini telah memasuki tahap pembuktian, dengan agenda sidang pada Kamis, 14 Agustus 2025, untuk penyampaian alat bukti tambahan.
Dugaan Pelanggaran Hukum dan Prosedur
Apa saja kejanggalan dan pelanggaran yang diduga terjadi dalam seleksi tersebut? Berdasarkan dokumen gugatan yang disusun Yuskandar, terdapat sejumlah poin krusial yang dipersoalkan:
Perubahan Sepihak Persyaratan Pengalaman Kerja. Dalam pengumuman seleksi 8 April 2025, Panitia Seleksi diduga mengubah isi persyaratan dibanding ketentuan regulasi. Pada poin 7 persyaratan, tertera bahwa calon harus memiliki “pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum atau lembaga/instansi lainnya dan pernah memimpin tim”.
Frasa tambahan "atau lembaga/instansi lainnya" ini dianggap Yuskandar sebagai perubahan sepihak yang tidak sesuai aturan. Pasalnya, regulasi yang lebih tinggi – PP 54/2017, Permendagri 37/2018, dan Perda Kabupaten Sarolangun 4/2019 – semuanya mensyaratkan pengalaman 5 tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum (bukan instansi non-korporasi) serta pernah memimpin tim.
Contohnya, Pasal 37 huruf g Perda 4/2019 menyatakan kualifikasi calon direktur adalah “pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun di bidang manajerial perusahaan berbadan hukum dan pernah memimpin tim”. Dengan menambahkan opsi “lembaga/instansi lain”, panitia seleksi dianggap melonggarkan syarat sehingga memberi peluang bagi calon yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menjadi seolah memenuhi syarat. Yuskandar menduga langkah ini sengaja dilakukan untuk mengakomodasi calon tertentu.
Poin ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi oleh Yuskandar disebut sudah memenuhi unsur perbuatan curang. Ia bahkan mengaitkannya dengan tindak pidana korupsi.
Yuskandar menyoroti Panitia Seleksi yang diberi tugas menjalankan jabatan umum, diduga dengan sengaja mengubah syarat seleksi administrasi demi meloloskan calon tertentu.
Tindakan demikian, menurutnya, bisa dikategorikan melanggar Pasal 9 UU Nomor 20 Tahun 2001 (Perubahan UU 31/1999 Pemberantasan Korupsi) jo. Pasal 416 KUHP. Aturan itu menjerat penyelenggara negara yang curang dalam menjalankan tugasnya, misalnya memalsukan dokumen atau daftar dalam proses resmi.
Perubahan kriteria seleksi tanpa dasar hukum yang jelas dinilai Yuskandar sebagai bentuk manipulasi proses yang merugikan peserta lain dan publik.
Direktur Terpilih Diduga Tak Memenuhi Syarat. Sosok Mulyadi, SE yang ditetapkan sebagai direktur terpilih, menjadi sorotan utama. Berdasarkan penelusuran Yuskandar, Mulyadi seharusnya gugur dari awal jika aturan dijalankan konsisten. Ada beberapa catatan penting versi Yuskandar.
Lama Pengalaman Kerja Kurang dari 5 Tahun: Mulyadi diketahui pernah menjabat Direktur Utama PD Serumpun Pseko, sebuah BUMD milik Pemkab Sarolangun, periode 10 Oktober 2019 sampai 18 Oktober 2023. Itu adalah pengalaman manajerial di perusahaan daerah berbadan hukum. Namun durasinya hanya 4 tahun, tidak mencapai 5 tahun seperti disyaratkan. Meski panitia “mengakali” syarat dengan memperbolehkan pengalaman di instansi non-perusahaan, secara substansi Mulyadi tetap belum memenuhi angka minimal 5 tahun tersebut.
Bukti yang dihadirkan Yuskandar di persidangan berupa Surat Keterangan Kerja No. 39/PSDA/2025 yang ditandatangani Pj. Sekda Sarolangun, menunjukkan masa kerja Mulyadi di PD Serumpun Pseko persis 4 tahun (Okt 2019 – Okt 2023). Uniknya, panitia meminta peserta menyetor surat pengalaman kerja, namun Mulyadi hanya menyertakan surat keterangan bekerja dari instansi terkait.
“Yang diminta ialah surat pengalaman kerja bukan surat keterangan kerja,” ujar Yuskandar dalam gugatannya, menyoroti perbedaan substansial dokumen tersebut. Bagi Yuskandar, ini mengindikasikan kurangnya ketelitian panitia dalam verifikasi berkas.
Persyaratan Politik, Status Caleg Aktif: Dalam pengumuman seleksi poin 12, jelas tercantum syarat “Tidak sedang menjadi pengurus partai politik, calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah, dan/atau calon anggota legislatif”. Faktanya, Mulyadi terdaftar sebagai Calon Anggota Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten Sarolangun untuk Pemilu 2024. Hal ini dibuktikan dengan Surat Keputusan KPU Kabupaten Sarolangun Nomor 126 Tahun 2024 tanggal 24 Januari 2024, di mana pada lampiran Daftar Calon Tetap (DCT) DPRD Sarolangun Daerah Pemilihan 3, nama Mulyadi, SE tercantum dengan nomor urut 8 sebagai caleg dari salah satu partai.
Sampai seleksi berlangsung April 2025, tidak ada surat resmi dari KPU yang menyatakan pencalonan Mulyadi dicabut atau dibatalkan. Artinya, secara formal ia masih berstatus caleg aktif pada saat mendaftar seleksi direktur, sesuatu yang jelas melanggar syarat seleksi. Mulyadi memang dikabarkan mengajukan surat pengunduran diri dari partai (tertanggal 6 Januari 2025, diterima pengurus partai 8 Januari 2025), namun koordinasi dengan KPU tidak terbukti.
Bahkan versi Yuskandar, menurut surat dari Badan Kesbangpol Sarolangun tanggal 16 April 2025, hanya ada satu nama (Hamdan, S.IP – peserta lain) yang tercatat mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik, tidak ada nama Mulyadi. Dengan demikian, keikutsertaan Mulyadi dalam seleksi sudah cacat sejak awal karena ia masih tergolong “sedang menjadi calon anggota legislatif”, bertentangan dengan aturan yang dibuat panitia sendiri.
Rekam Jejak Kinerja Diragukan. Sebagai bagian dari penilaian kualifikasi, integritas dan rekam jejak calon direksi semestinya menjadi pertimbangan penting. Yuskandar mengungkap, Mulyadi selama menjabat Direktur Utama PD Serumpun Pseko (2019-2023) dinilai tidak menunjukkan kinerja memuaskan. Ia diduga tidak memiliki prestasi dalam memajukan perusahaan tersebut. Bahkan di akhir masa jabatannya, mencuat masalah keuangan, PD Serumpun Pseko tersangkut tunggakan pembayaran kepada pihak rekanan.
Isu ini sampai diberitakan di media lokal, Jambi Express, 28 April 2025, dengan judul “BUMD Serumpun Pseko Sarolangun disoal terkait macet bayar”. Mulyadi sempat menanggapi melalui media Sarolangun Independent, membantah bahwa masih ada utang bahan bakar yang belum dilunasi, dengan klaim “Sudah lunas pada tanggal 28 Maret 2025”.
Meski demikian, polemik tersebut mencoreng rekam jejaknya. Selain itu, Yuskandar mempertanyakan status Mulyadi pasca berakhirnya masa jabatan di BUMD sebelumnya. Berdasarkan PP 54/2017 dan Permendagri 37/2018, seharusnya ada proses evaluasi akhir masa jabatan dan keputusan perpanjangan atau pemberhentian definitif oleh pemilik modal setelah masa jabatan habis. Tidak jelas apakah Mulyadi pernah menerima surat pemberhentian resmi dari pemegang saham (Bupati) atas jabatannya di PD Serumpun Pseko.
Ketidakjelasan status ini menimbulkan pertanyaan apakah Mulyadi seharusnya boleh mengikuti seleksi baru sebelum tuntas administrasi jabatan lamanya. Walau hal ini lebih bersifat etis/administratif, bagi Yuskandar hal itu menambah daftar alasan Mulyadi bukan kandidat ideal.
Proses Tidak Sesuai Juknis dan Kurang Transparan. Selain soal individu kandidat, Yuskandar juga menuding mekanisme seleksi secara umum menyalahi ketentuan teknis. Ia menyoroti Pemkab Sarolangun yang tidak memublikasikan secara terbuka Surat Keputusan Bupati tentang pembentukan Panitia Seleksi maupun Peraturan Bupati tentang petunjuk teknis seleksi.
Padahal, transparansi semacam ini penting agar publik mengetahui siapa saja panitia dan apa acuan seleksi mereka. Lebih lanjut, Perda 4/2019 Pasal 38 mengatur bahwa tim seleksi direksi harus terdiri dari unsur pemerintah daerah, akademisi, dan praktisi keuangan.
Yuskandar menduga komposisi Pansel Sarolangun 2025 tidak memenuhi semua unsur tersebut. Kemudian, hasil uji kepatutan dan kelayakan oleh tim profesional seharusnya diberitahukan kepada DPRD. Namun dalam kasus ini, tidak ada informasi apakah DPRD Sarolangun diberi laporanh asil seleksi sebagaimana mestinya. Jika tidak, ini merupakan pelanggaran prosedur yang dapat mengurangi akuntabilitas hasil seleksi.
Transparansi juga dipermasalahkan pada tahap pengumuman hasil tes. Seperti disebut sebelumnya, Pengumuman Nomor 07/Pansel-TSB/2025 tentang hasil UKK hanya menampilkan nilai akhir total peserta tanpa perincian. Yuskandar menduga penilaian tiap indikator (pengalaman, keahlian, integritas, dll.) tidak jelas bobotnya dan mungkin tidak sesuai pedoman Permendagri 37/2018.
Ketiadaan penjelasan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada faktor tertentu yang diabaikan atau justru diberi bobot berlebih demi meloloskan kandidat tertentu. Misalnya, indikator rekam jejak keberhasilan dalam pengurusan organisasi seharusnya dinilai (Pasal 44 Permendagri 37/2018). Jika hal itu benar-benar diterapkan, mungkinkah Mulyadi dengan rekam jejak dipertanyakan bisa mendapat nilai tinggi? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang mendorong Yuskandar mendalami kasus ini.
Tidak Adanya Pertimbangan Mendagri. Poin krusial terakhir menyangkut prosedur legal paling tinggi tingkatannya. Permendagri Nomor 23 Tahun 2024 mengatur bahwa sebelum kepala daerah menetapkan direksi BUMD air minum terpilih, nama calon terpilih harus disampaikan dahulu kepada Menteri Dalam Negeri (Melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah) untuk mendapatkan pertimbangan.
Menurut Yuskandar, Aturan ini bertujuan menjaga kualitas dan integritas penunjukan pejabat BUMD strategis, mengingat sektor air minum menyangkut hajat hidup orang banyak. Bupati Sarolangun diduga mengabaikan kewajiban ini. Pada SK Bupati No.148/PSDA/2025 tentang pengangkatan Mulyadi, tidak tercantum sama sekali konsideran atau rujukan tentang adanya pertimbangan dari Menteri. Ini mengindikasikan tidak pernah ada surat persetujuan/pertimbangan Mendagri sebelum Mulyadi dilantik.
Bupati langsung menetapkan hasil seleksi menjadi SK pengangkatan pada 6 Mei, padahal seharusnya menunggu respon Kemendagri. Pelanggaran prosedur ini menjadikan SK tersebut cacat formil, kata Yuskandar, karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Yuskandar menegaskan bahwa dengan rangkaian pelanggaran di atas, SK pengangkatan direksi hasil seleksi cacat hukum dan layak dibatalkan. Dalam terminologi hukum administrasi, perbuatan tergugat disebutnya telah menabrak Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), terutama asas kepastian hukum, asas ketidakberpihakan, dan asas kecermatan.
Semua dugaan pelanggaran di atas telah dituangkan Yuskandar dalam berkas gugatannya. Ia merasa dirinyalah yang paling dirugikan atas kecurangan tersebut.
Peluangnya untuk maju ke tahap akhir pupus karena adanya calon yang seharusnya gugur sejak awal namun tetap diloloskan.
“Dengan kecurangan panitia seleksi tersebut, terjadi kehilangan kesempatan Saya selaku Penggugat untuk mengikuti tahapan berikutnya yaitu wawancara dengan Bupati selaku KPM,” kata Yuskandar.
Ia bahkan menyatakan kasus ini bukan semata demi dirinya, tapi demi terciptanya keadilan dan transparansi dalam seleksi jabatan publik di daerahnya.
Respons Panitia dan Dalih Tergugat
Di sisi lain, Panitia Seleksi dan pihak Pemkab Sarolangun memiliki versinya sendiri. Terhadap somasi Yuskandar yang dikirim 5 Mei, Pansel menjawab (pada 8 Mei) secara umum bahwa mereka telah bekerja sesuai ketentuan.
Salah satu poin dalam surat tanggapan Pansel menegaskan bahwa “setiap peserta diwajibkan untuk menyerahkan dokumen yang memuat riwayat pekerjaan, disertai surat keterangan pengalaman kerja yang diterbitkan oleh instansi tempat yang bersangkutan pernah bekerja”.
Panitia beranggapan surat keterangan pengalaman dari instansi non-perusahaan pun sah-sah saja. Pernyataan ini seakan membenarkan bahwa calon seperti Mulyadi, yang pengalaman kerjanya di instansi pemerintah (BUMD), tetap dianggap memenuhi syarat meski regulasi mensyaratkan pengalaman di perusahaan berbadan hukum.
Bagi Yuskandar, dalih tersebut normatif dan mengaburkan esensi aturan. Jelas bahwa keterangan pengalaman kerja Mulyadi, SE yang diterbitkan instansi (bukan perusahaan berbadan hukum) merupakan pelanggaran terhadap Pasal 57 huruf g PP 54/2017 jo. Pasal 35 huruf g Permendagri 37/2018 jo. Pasal 37 huruf g Perda 4/2019, tegas Yuskandar dalam sanggahannya. Namun, tampaknya Pansel bergeming dengan jawaban formalnya.
Sementara itu, dalam persidangan PTUN, tergugat (Bupati Sarolangun cq. pemerintah daerah) mengajukan eksepsi dan jawaban yang intinya menyangkal tudingan cacat prosedur.
Kuasa hukum tergugat menyatakan bahwa Pemkab Sarolangun telah melaksanakan kewajiban administratif dengan menyampaikan surat kepada Kemendagri terkait pengangkatan direktur Perumda Tirta Sako Batuah.
Mereka menyebut telah mengirim Surat Bupati Sarolangun Nomor 005/85/PSDA/2025 perihal Pemberitahuan Pengangkatan Direktur Perumda Tirta Sako Batuah ke Kemendagri, sebagai bentuk kehati-hatian dan koordinasi vertikal. Tidak adanya balasan, teguran, ataupun keberatan dari Kemendagri, menurut tergugat, menandakan bahwa proses dan prosedur dianggap sudah sesuai ketentuan berdasarkan asas presumption of legality (praduga keabsahan). Dengan kata lain, pembelaan Bupati: “kami sudah kasih tahu pusat, karena tidak ada protes, ya sah-sah saja langkah kami.”
Akan tetapi, Yuskandar dengan sigap membongkar kelemahan argumen tersebut. Dalam sidang, ia memanfaatkan hak inzage (pemeriksaan berkas bukti) terhadap dokumen yang diajukan tergugat.
Hasilnya, ditemukan fakta bahwa surat pemberitahuan ke Kemendagri itu ternyata bertanggal 26 Mei 2025. Artinya, surat baru dikirim setelah SK pengangkatan Mulyadi dikeluarkan (6 Mei), bahkan setelah Yuskandar mengajukan keberatan administratif (14 Mei).
Selain itu, sifat surat tersebut hanyalah pemberitahuan sepihak, bukan permohonan pertimbangan yang menunggu jawaban.
“Surat tersebut dimaknai sebagai informasi tertulis mengenai peristiwa yang telah atau akan terjadi. Tidak diperlukan balasan,” kata Yuskandar, menyoroti bahwa pemkab sengaja tidak mencantumkan tanggal surat dalam jawabannya di persidangan.
Terkait isu perubahan syarat dan kelolosan Mulyadi, tergugat (termasuk Tergugat II Intervensi, yakni pihak Mulyadi sendiri sebagai pihak terkait yang bergabung dalam perkara) menilai hal itu tidak menyalahi hukum. Mereka mengajukan eksepsi bahwa objek sengketa (SK pengangkatan) tidak cacat formil maupun materiil.
Menurut tergugat, selama proses seleksi sudah dijalankan panitia yang dibentuk dan hasilnya diserahkan ke Bupati, maka keputusan pengangkatan adalah kewenangan diskresi kepala daerah.
Pihak Mulyadi tentu berkepentingan menyatakan bahwa ia memenuhi syarat dan dipilih melalui tahapan yang ada. Namun, serangkaian bukti yang diajukan Yuskandar di persidangan cukup sulit terbantahkan.(*)
Add new comment