Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) yang digadang-gadang Kementerian PUPR sebagai model pembangunan pedesaan antikorupsi justru menuai kritik tajam di Kerinci dan Sungai Penuh. Alih-alih jadi cerita sukses partisipasi petani, program bernilai ratusan juta rupiah per titik ini disebut-sebut berubah menjadi "proyek asal jadi" hingga "proyek siluman".
***
Di tengah hamparan sawah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh yang subur, janji pemberdayaan P3-TGAI justru terdengar sumbang. Alih-alih menjadi kisah sukses partisipasi masyarakat, program ini justru menjadi buah bibir.
Keluhan yang muncul bukan sekadar riak kecil. Tapi, gelombang kritik ihwal adanya retakan serius pada fondasi pelaksanaan program.
Sorotan paling tajam muncul pada kualitas fisik bangunan irigasi. Istilah "proyek asal jadi" berulang kali menggema. Laporan dari warga di lapangan melukiskan gambaran pekerjaan yang diduga tak sesuai spesifikasi teknis, penggunaan material berkualitas rendah, hingga hasil akhir yang terkesan "asal tempel".
Konsekuensinya sangat fatal. Saluran irigasi yang seharusnya menjadi urat nadi pertanian dan berfungsi selama bertahun-tahun, kini terancam rapuh dan cepat rusak. Investasi negara yang mencapai ratusan juta rupiah per titik terancam menjadi sia-sia.
Salah satu temuan yang paling konsisten di lapangan adalah hilangnya papan informasi proyek. Tanpa papan nama, sebuah proyek sontak menjadi anonim, tanpa identitas yang jelas. Publik tak bisa mengetahui siapa pelaksananya, berapa nilai anggarannya, dari mana sumber dananya, dan berapa volume pekerjaannya. Proyek ini seolah berjalan dalam senyap, membuatnya dijuluki sebagai "proyek siluman".
Praktik ini ditemukan di berbagai lokasi. Di Desa Koto Padang, Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, proyek senilai Rp195 juta berjalan tanpa plang nama. Ini sempat memicu kecurigaan warga. Pola serupa juga teridentifikasi di Kecamatan Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci, di mana warga menemukan tiga P3A,--yakni P3A Talang Tangkit, P3A Air Sako, dan P3A Umo Buntak--, menjalankan proyek mereka tanpa memasang papan informasi.
"Absennya papan informasi ini bukanlah kelalaian sepele. Ini adalah pelanggaran terhadap prinsip transparansi yang menjadi pilar P3-TGAI," ujar Ahmad, warga Tanah Kampung.
Masalah lain yang mencuat adalah P3A hanya dijadikan sebagai tameng atau formalitas belaka. Nama kelompok tani dipinjam untuk memenuhi syarat administrasi. Namun pekerjaan fisik di lapangan justru diserahkan kepada pihak ketiga atau kontraktor.
Pihak ketiga inilah yang kemudian mengendalikan proyek, mulai dari pengadaan material hingga pengerjaan konstruksi.
Hermawan, warga Kerinci, dengan tegas melabeli proyek ini sebagai "bancakan elite,". Sentimen ini diamini oleh banyak pihak yang melihat program belasan miliar ini gagal menyentuh esensi pemberdayaan.
Kritik yang lebih terstruktur datang dari lembaga swadaya masyarakat. LSM Cakrawala Nusantara, misalnya, membawa persoalan ini ke tingkat yang lebih tinggi dengan mengirimkan laporan resmi kepada Direktur Jenderal Sumber Daya Air di Kementerian PUPR.
Dalam laporannya, mereka menyoroti dugaan kolusi dan penyimpangan sistematis, serta menegaskan bahwa jika dibiarkan, proyek ini tidak akan memberi manfaat apa pun bagi petani.
"Saluran irigasi yang dibangun tidak mampu mengalirkan air secara optimal. Akibatnya, lahan pertanian terancam gagal panen," tegas Ruslan dari LSM tersebut.
Tuntutan mereka jelas dan keras. Panggil Kepala BWSS VI Jambi untuk dimintai pertanggungjawaban, tunda pencairan dana tahap kedua sebelum ada perbaikan, berikan sanksi tegas kepada TPM dan pejabat balai yang terbukti lalai atau terlibat, dan lakukan investigasi transparan yang melibatkan masyarakat untuk membongkar praktik lancung ini.
Menghadapi gelombang kritik ini, Balai Wilayah Sungai Sumatera VI (BWSS VI) sebagai penanggung jawab program di Provinsi Jambi tak tinggal diam. Mereka membangun narasi tandingan melalui klarifikasi resmi dan publikasi yang terarah.
Jauh sebelum kontroversi tahun 2025 memanas, pada tahun 2020, BWSS VI pernah mengeluarkan bantahan komprehensif terhadap tudingan serupa dari LSM FAKTA dan LSM GERBANG.
Dalam klarifikasinya, BWSS VI menegaskan bahwa P3-TGAI bukanlah "proyek" dalam pengertian konvensional, melainkan sebuah program pemberdayaan masyarakat. Mereka mengklaim seluruh tahapan telah sesuai petunjuk teknis, dilaksanakan secara transparan melalui musyawarah desa (Musdes), dan diawasi dengan ketat.
Terkait tuduhan pungutan liar (pungli), mereka menyatakan bahwa Kepala Desa dan P3A telah menandatangani pakta integritas untuk tidak melakukan pungli. Tuduhan adanya pemotongan anggaran atau pungutan sebesar 15% juga dibantah mentah-mentah.
Di samping bantahan reaktif, BWSS VI juga secara proaktif membangun citra positif melalui kanal komunikasi resmi mereka. Situs web mereka secara rutin menampilkan berita-berita keberhasilan program, mulai dari seremoni penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS), serah terima hasil pekerjaan, hingga pengumuman penetapan lokasi baru.
Puncak dari strategi komunikasi ini adalah publikasi testimoni positif dari petani penerima manfaat. Sebuah berita yang dirilis pada akhir September 2025, tepat di tengah riuhnya sorotan media, menampilkan apresiasi dari warga Desa Sembilan di Kecamatan Tanah Kampung dan Desa Koto Patah di Semerap.
Para petani ini, seperti Jiburahman, bersaksi bahwa berkat P3-TGAI, saluran irigasi mereka kini menjadi lancar, bebas sampah, dan mampu mengatasi masalah banjir yang sebelumnya kerap terjadi.
"Program ini sangat bermanfaat, kami ucapkan terima kasih," kata mereka, seraya berharap program ini terus berlanjut.
Untuk diketahui, Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi, atau yang lebih dikenal sebagai P3-TGAI, adalah sebuah cetak biru ideal untuk pembangunan pedesaan di era modern. Diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), program ini dirancang bukan sekadar untuk membangun saluran air, melainkan untuk menanamkan fondasi kemandirian dan kesejahteraan langsung di jantung komunitas petani.
Sebagai bagian dari agenda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2025, P3-TGAI mengemban dua misi mulia, memperkuat infrastruktur untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan menyuntikkan stimulus ekonomi langsung ke desa-desa melalui skema padat karya tunai.
Filosofi di baliknya adalah sebuah antitesis dari model proyek pemerintah yang konvensional. Jika proyek infrastruktur selama ini identik dengan tender, kontraktor, dan rantai birokrasi yang panjang, P3-TGAI memangkas itu semua.
Program ini menempatkan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), --beserta gabungan atau induknya (GP3A/IP3A)--, sebagai subjek utama, bukan objek pembangunan. Mereka bukan lagi sekadar penonton atau penerima manfaat pasif, melainkan aktor utama yang memegang kendali sejak dari tahap perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan konstruksi di lapangan.
Dana program, yang bersumber dari APBN, tidak mampir ke banyak meja. Bantuan dalam bentuk uang ini disalurkan secara langsung dari rekening kas negara ke rekening bank milik P3A/GP3A/IP3A melalui mekanisme lumpsum. Persyaratannya ketat, rekening harus atas nama lembaga (P3A), bukan perorangan, dan P3A tersebut harus memiliki legalitas yang jelas, minimal disahkan oleh kepala desa dan idealnya berbadan hukum.
Arsitektur program ini, pada dasarnya, adalah sebuah upaya sadar dari pemerintah pusat untuk menciptakan model pembangunan skala kecil yang resisten terhadap korupsi. Dengan memotong jalur kontraktor melalui swakelola dan meminimalkan celah kebocoran anggaran melalui transfer langsung, P3-TGAI secara teori menutup pintu bagi praktik-praktik lancung yang jamak terjadi dalam proyek-proyek publik.
Untuk memastikan kepatuhan di lapangan, sebuah struktur pengawasan berlapis dibentuk. Di tingkat desa, ada Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) yang bertugas mendampingi P3A. Di tingkat regional, Balai Wilayah Sungai (BWS) atau Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) membentuk Tim Pelaksana Balai (TPB) dan dibantu oleh Konsultan Manajemen Balai (KMB).
Sementara di tingkat pusat, pengawasan dilakukan oleh Tim Teknis Pusat (TTP). Di atas kertas, jaring pengaman ini terlihat solid, siap memastikan air irigasi mengalir lancar ke sawah-sawah petani di seluruh nusantara. Namun, apa yang terjadi ketika janji mulia dari pusat ini tiba di tanah Kerinci, lumbung pangan Provinsi Jambi? (*)
Add new comment