Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ikhtiar mulia pemerintah untuk memastikan anak-anak Jambi tumbuh sehat, cerdas, dan berprestasi. Target 456 dapur gizi (SPPG) sedang dikejar, meski saat ini baru 38 yang berdiri. Komitmen ini terus diperkuat melalui Diskusi Rabuan Series Tenaga Ahli Gubernur Jambi, sebagai ruang menyerap masalah dan dinamika di lapangan agar pelaksanaan MBG semakin tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh anak di Jambi.
***
Pertanyaan itu nyelekit. Lugas. Datang dari H. Tamar Tarewe. Di tengah diskusi serius soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) di ruang Mayang Mangurai Bappeda Jambi, Rabu 24 September 2025 pagi.
"Apakah tidak sebaiknya diganti dengan uang langsung?" lontarnya.
Logikanya sederhana. Berikan saja uangnya kepada masyarakat yang benar-benar butuh. Tidak perlu repot-repot membangun dapur, mengurus logistik, memasak, lalu mendistribusikan. Risiko makanan basi di jalan pun hilang. Efisien.
Tentu, forum tak langsung mengiyakan. Sebab, program ini bukan sekadar soal perut kenyang. Ir. Syahrasaddin, yang memimpin diskusi, sejak awal sudah memberi bingkai.
"MBG ini salah satu indikator pemerataan prioritas nasional. Program ini adalah program yang mulia," katanya.
Mulia, tentu. Tapi di lapangan, kemuliaan itu harus melewati jalan berliku.
Angka-angka pun bersahutan di ruangan itu. Adityo, Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), membeberkan datanya. Target untuk Jambi, 456 dapur raksasa bernama SPPG itu harus berdiri. Sebuah angka yang ambisius.
Kenyataannya?
"Sekarang yang ada baru 38," ujar Drs. H. Ismed Wijaya, Kepala Dinas Ketahanan Pangan.
Dari 38 itu pun, baru 12 yang benar-benar siap beroperasi penuh.
Bahkan, dari 11 kabupaten/kota di Jambi, tiga di antaranya masih "nol besar". Sarolangun, Bungo, dan Tebo sama sekali belum punya SPPG. Di sisi lain, Kota Jambi sudah punya 20 titik, sementara Tanjung Jabung Barat hanya dua. Sebuah ketimpangan yang nyata.
Di sinilah letak kerumitan program mulia itu. Belum lagi keluhan dari "konsumen"-nya. Perwakilan dari Kementerian Agama Provinsi Jambi curhat.
"Pernah ditemukan makanan basi," ungkapnya.
Bukan hanya itu, proses distribusi dan makan bersama memotong waktu belajar siswa. Hampir dua jam. Anak-anak memang kenyang, tapi jam pelajaran jadi korban.
Lalu, muncul kekhawatiran baru. Dari BPS. Niko namanya. Ia bertanya tajam. Kalau nanti 456 SPPG itu serentak beroperasi, pasokan pangannya dari mana?
Jangan-jangan, permintaan besar-besaran ini justru membuat harga cabai meroket. Inflasi mengancam. Terutama di daerah seperti Kerinci yang inflasinya sudah agak tinggi.
Kekhawatiran itu beralasan. Data dari Kadis Ketahanan Pangan menunjukkan, stok jagung memang aman untuk 109 hari ke depan. Tapi cabai rawit dan cabai besar? Hanya cukup untuk tiga minggu. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika 456 dapur serentak menyalakan kompornya.
Namun, ada juga pandangan sebaliknya. Edi Sukarno justru melihat ini sebagai peluang. Ia mengusulkan agar program ini diserahkan saja ke sekolah-sekolah. Biar ada multiplier effect. Uangnya akan berputar di lingkungan sekitar. Warung makan, pedagang ayam, penjual sayur, semua akan ikut hidup.
Diskusi hari itu memang penuh warna. Ada yang ingin praktis dengan uang tunai, ada yang khawatir soal makanan basi dan inflasi, ada pula yang optimistis dengan efek ekonomi berantainya.
Pada akhirnya, kesimpulan mengerucut. Program tetap jalan dengan model SPPG. PR-nya yang harus dikerjakan bersama. Tiga kabupaten yang masih "nol" itu harus segera dikejar. Pasokan pangan harus diatur agar tak memicu inflasi.
Balai POM juga harus turun tangan. Memberi bimbingan teknis agar tak ada lagi cerita makanan basi. Dan yang tak kalah penting, jadwal distribusi harus diatur ulang agar tidak lagi "mencuri" jam belajar anak-anak.
Negara, lewat program ini, memang ingin memastikan anak-anaknya tak hanya kenyang, tapi juga sehat dan pintar.(*)
Add new comment