Pendar G30S di Tanah Melayu, Kala Gubernur Jambi "sang Loyalis Bung Karno" Terdepak dari Kursinya

WIB
IST

Hari ini, 60 tahun lalu, krisis ekonomi mencekik bangsa Indonesia. Sejumlah jenderal Angkatan Darat tewas terbunuh. Nama Gerakan 30 September PKI terpatri sebagai bab kelam bangsa. Getarannya tak berhenti di Jakarta. Gelombang reduksi G30S ikut berpendar hingga ke Jambi. Sang gubernur, seorang loyalis Presiden Soekarno, tersingkir dari kursinya. Inilah penelusuran tim Jambi Link, napak tilas jejak G30S dan imbas politiknya di tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

***

Jumat pagi, 1 Oktober 1965, udara di Kota Jambi masih terasa seperti hari-hari biasa. Di tepian Sungai Batanghari, denyut kehidupan berjalan normal. Perahu-perahu ketek hilir mudik. Pasar angso duo ramai seperti biasa.

Para pegawai bersiap menuju kantor di pusat provinsi yang baru berusia delapan tahun itu. Jambi, sebuah daerah yang masih sibuk menata fondasi pemerintahannya, terasa jauh dari pusaran intrik politik tingkat tinggi yang mendidih di Jakarta.

Di ibu kota, malam sebelumnya (30 September 1965), telah menjadi salah satu malam tergelap dalam sejarah bangsa. Enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh dalam sebuah gerakan yang menamakan diri Gerakan 30 September.  

Kabar dari Jakarta datang tersendat-sendat. Siaran Radio Republik Indonesia (RRI) pada pagi hari itu menyiarkan pengumuman dari Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang menyatakan G30S adalah gerakan internal Angkatan Darat untuk mencegah kudeta "Dewan Jenderal" terhadap Presiden Sukarno.

Pengumuman itu membingungkan. Beberapa jam kemudian, siaran tandingan dari Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), mengudara, menyatakan G30S adalah upaya kudeta dan akan segera ditumpas.  

Bagi masyarakat Jambi, dua narasi yang saling bertentangan ini menciptakan atmosfer ketidakpastian. Di warung-warung kopi dan kantor-kantor pemerintahan, bisik-bisik dan spekulasi mulai menyebar. Namun, nama Partai Komunis Indonesia (PKI) belum menjadi pusat perhatian.

Ancaman komunis di Jambi lebih terasa seperti hantu yang didengungkan dari jauh. Namun, dalam beberapa hari dan minggu berikutnya, gema dari Jakarta itu sampai ke Jambi. Reduksi itu berpendar bukan sebagai berita radio yang simpang siur.

Tapi....

Sebagai perintah operasi militer yang akan mengubah nasib ribuan orang dan mengubah sejarah provinsi bertajuk Sepucuk Jambi Sembilan Lurah itu.

Jambi era awal Kemerdekaan

Akar Merah di Tanah Adat

Detik-detik jelang peristiwa G30S ditandai ketidakstabilan ekonomi yang parah, inflasi yang meroket, dan persaingan sengit antara tiga kekuatan utama, Presiden Sukarno, Angkatan Darat, dan PKI. Di Jambi, dinamika ini memiliki warna yang berbeda.

Sebagai provinsi yang baru dibentuk pada tahun 1957, energi politik di tanah melayu ini lebih banyak tercurah pada konsolidasi administrasi dan pembangunan daerah, bukan pada pertarungan ideologi yang tajam.  

Kondisi ini menjadikan Jambi sebagai salah satu tanah tak subur bagi Partai Komunis Indonesia. Kekuatan adat yang mengakar dan religiusitas masyarakat yang kuat, menjadi benteng utama yang sulit ditembus ideologi komunis.

Berbagai referensi mencatat Pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948, bahkan tak banyak pengaruhnya terhadap rakyat daerah Jambi. Karena rakyat Jambi tak bersimpati kepada ajaran ini. Itu karena kuatnya adat dan agama yang dianutnya. Akibatnya, organisasi-organisasi front di bawah PKI seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR), Lekra, Gerwani, tak ditemukan jejaknya di Jambi pada masa itu.  

Pola ini terkonfirmasi dalam Pemilihan Umum 1955, satu-satunya pemilu bebas sebelum era Orde Baru. Secara nasional, PKI memang tampil sebagai kekuatan politik besar dengan menempati posisi keempat setelah PNI, Masyumi, dan NU. Kemenangan itu sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Analisis hasil pemilu menunjukkan bahwa 90% dari total 39 kursi parlemen yang diraih PKI berasal dari daerah pemilihan di Jawa. Di luar Jawa, terutama di wilayah-wilayah konservatif seperti Jambi, PKI bukanlah pemain politik yang signifikan.

Kekuatan politik di Jambi lebih didominasi partai-partai berbasis nasionalis dan agama, yang secara inheren menjadi lawan politik PKI.  

Meskipun lemah, bukan berarti jejak PKI sama sekali tak ada. Buku yang terbit pada tahun 2020 berjudul Jejak PKI di tanah Jambi dan jejak sejarah lainnya karya Deddy Rachmawan (eks Wartawan Tribun Jambi), membuktikan bahwa ada sisa-sisa sejarah merah di tanah Jambi.

Sesuai dengan judulnya, salah satu fokus utama buku ini adalah penelusuran jejak Partai Komunis Indonesia (PKI) di "negeri Melayu Jambi", sebuah topik yang tidak umum mengingat Jambi bukanlah basis utama PKI. Namun, cakupan buku ini jauh lebih luas dari sekadar isu PKI. Di dalamnya, penulis juga membahas berbagai kisi-kisi sejarah Jambi lainnya yang sangat beragam, mulai dari zaman Megalitikum, suasana Jambi pada masa proklamasi kemerdekaan, hingga sejarah yang lebih kontemporer seperti proses akuisisi sebuah radio swasta ternama dan kisah mengenai Arca tanpa Kepala.

Kelemahan fundamental PKI di Jambi ini melahirkan sebuah dinamika yang krusial. Operasi penumpasan yang terjadi di Jambi pasca-1965 bukanlah sebuah reaksi terhadap ancaman yang nyata dan kuat. Melainkan hanya eksekusi dari sebuah agenda keamanan nasional yang datang dari pusat.

Berbeda dengan Jawa Tengah atau Jawa Timur, di mana ketegangan sosial antara massa PKI dengan kelompok agama dan nasionalis sudah membara jauh sebelum G30S.

Begitu Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih komando Angkatan Darat di Jakarta, gelombang perintah segera mengalir ke seluruh komando teritorial di Indonesia. Di Jambi, episentrum kekuasaan militer berada di Komando Resor Militer (Korem) 042/Garuda Putih, yang didirikan pada 10 November 1959.

Sebagai perpanjangan tangan Kodam IV/Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Korem 042/Gapu menjadi instrumen utama negara dalam menjalankan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban.  

Pada saat genting itu, dua tokoh memegang posisi kunci di Jambi.

Tokoh Kunci di Jambi Selama Pergolakan 1965-1966

JabatanNamaPeriode JabatanCatatan Kunci
Gubernur JambiM. Joesoef Singedekane1957 - 1966Seorang perwira Polisi Militer yang menjadi birokrat. Gubernur pertama Jambi. Diberhentikan pada Juni 1966 di puncak konsolidasi Orde Baru.
Danrem 042/Garuda PutihLetkol Inf. Mulyono1965 - 1966Komandan militer tertinggi di Jambi, bertanggung jawab atas keamanan dan pelaksanaan operasi penumpasan PKI. Menggantikan Letkol Inf. Sumantri.
Pjs. Gubernur JambiH. Abdul Manap1966 - 1968Ditunjuk sebagai pejabat sementara gubernur segera setelah pemberhentian Singedekane, menandai transisi kekuasaan.

Komandan Korem (Danrem) 042/Garuda Putih, Letnan Kolonel Infanteri Mulyono, adalah sosok yang memegang kendali operasional di lapangan. Perintah yang diterimanya dari Panglima Kodam IV/Sriwijaya sudah jelas, amankan wilayah dan bersihkan semua unsur yang terafiliasi dengan G30S PKI.

Letkol Inf. Mulyono yang menjabat Danrem Jambi ini adalah pribadi yang sama sekali berbeda dengan Mayor Muljono, Komandan Batalion L di Yogyakarta. Mayor Muljono di Yogyakarta justru mendeklarasikan dukungan terhadap G30S dengan membentuk "Dewan Revolusi". Yang kemudian melarikan diri, tertangkap di Boyolali, dan akhirnya dieksekusi.

Di sisi lain, kekuasaan sipil di Jambi dipegang oleh Gubernur M. Joesoef Singedekane. Sebagai gubernur pertama Jambi, ia adalah seorang birokrat yang berasal dari kalangan polisi yang kemudian menjadi militer (Polisi Militer).

Sebelum masuk ke dalam lingkungan militer, Joesoef merupakan seorang perwira polisi yang menjabat sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Lubuk Linggau pada masa kemerdekaan. Karena kinerjanya sebagai kepala kepolisian dianggap baik, maka Kolonel Maludin Simbolon yang waktu itu menjabat sebagai Komandan Divisi VIII Garuda di Sumatera Selatan menunjuk Joesoef sebagai Kepala Polisi Tentara Sub Komandemen Sumatera Selatan dengan pangkat kapten. 

Pada tahun 1957, Maludin Simbolon, ikut dalam gerakan anti-pemerintah. Simbolon menentang Presiden Soekarno dengan membentuk Dewan Gajah (Sumatra Utara). Dewan ini lahir dari kombinasi kekecewaan pribadi,--kegagalan Simbolon terpilih sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)--, dan keluhan daerah yang lebih luas.

Meskipun Simbolon pada awalnya menyatakan kesetiaan kepada Presiden Soekarno, tindakannya membentuk dewan tersebut merupakan sebuah pelanggaran disiplin dan insubordinasi yang jelas terhadap pemerintah pusat dan komando militer.

Pada bulan Desember 1959, Joesoef Singedekane ditunjuk untuk menjabat sebagai Gubernur Jambi, menggantikan Djamin Datuk Bagindo yang menjadi penjabat gubernur semenjak provinsi tersebut dibentuk pada bulan Februari 1957. 

Pemilihan Singedekane oleh Soekarno adalah sebuah pertaruhan psikologis yang diperhitungkan. Dengan memilih seorang perwira yang mantan komandan dan pelindungnya (Simbolon) kini menjadi musuh utama negara, Soekarno dengan sengaja menempatkan Singedekane dalam posisi di mana kesetiaannya akan diuji dan dibuktikan secara tegas.

Penerimaannya atas jabatan gubernur merupakan deklarasi publik atas kesetiaannya kepada pemerintah pusat di atas loyalitas pribadi atau profesional masa lalu. Langkah ini memaksa perpecahan yang jelas. Singedekane tak bisa setia kepada Soekarno dan perjuangan Simbolon secara bersamaan.

Dengan menerima jabatan itu, ia berpihak pada Soekarno. Ini memberi sinyal kepada perwira lain di Sumatra bahwa loyalitas kepada Republik melampaui hubungan pribadi, yang berpotensi melemahkan solidaritas di dalam korps perwira pemberontak. Itu adalah sebuah langkah untuk memecah belah dan melemahkan semangat lawan.

Dengan memberikan status provinsi dan menunjuk seorang gubernur yang loyal, Presiden Soekarno secara efektif melepaskan Jambi dari lingkup pengaruh Dewan Banteng, yang kala itu menentangnya. Dewan Banteng berkuasa di Sumatra Tengah, termasuk Jambi.

Jambi memiliki keluhan lokalnya sendiri terhadap dominasi elite Minangkabau. Pemerintah Soekarno kemudian meresmikan pemisahan Jambi menjadi provinsi sendiri. Tindakan ini memuaskan aspirasi Jambi, sehingga menghilangkan alasan utama bagi Jambi untuk bersekutu dengan pemberontak regional. Dengan menempatkan loyalisnya sendiri, Singedekane, Soekarno tak hanya menetralkan Jambi sebagai area pemberontak potensial tetapi juga mengubahnya menjadi aset pro-Jakarta.

Selama menjabat sebagai gubernur, Joesoef Singedekane bersama dengan sejumlah tokoh masyarakat lainnya memprakarsai pembentukan perguruan tinggi negeri bagi Provinsi Jambi. Ia pun didapuk oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Indonesia sebagai Ketua Panitia Persiapan Pendirian Universitas Jambi.

Setelah Universitas Jambi berhasil berdiri pada tanggal 1 April 1963, Joesoef Singedekane menjabat sebagai Ketua Presidium (setingkat Rektor) pertama dari universitas tersebut.

Selain universitas, Joesoef juga memprakarsai pembangunan taman hiburan pertama di provinsi Jambi, yakni Taman Rimbo Aneka Ria.

Namun, pada Oktober 1965 itu, ia adalah kepala pemerintahan sipil yang bertanggung jawab atas hukum dan ketertiban sesuai konstitusi.

Ketika militer di bawah komando Danrem Mulyono mulai bergerak, --melakukan penyisiran massal terhadap PKI--, benturan kekuasaan menjadi tak terhindarkan.  

Secara struktural, Gubernur Singedekane berada dalam posisi yang sangat sulit. Di satu sisi, sebagai kepala daerah, ia bertanggung jawab atas keselamatan dan hak-hak seluruh warganya. Di sisi lain, militer bergerak atas nama keamanan nasional, seiring dengan melemahnya posisi Presiden Sukarno.

Dari sini, benih-benih kejatuhan Gubernur Singedekane mulai tampak. Sebagai Gubernur, loyalis sekaligus kesayangan Presiden Bung Karno, kekuasaan politik Singedekane di Provinsi Jambi berada di ujung tanduk.

Sang Gubernur yang Tersingkir

Di tengah gelombang penumpasan yang melanda Jambi, sebuah drama politik tingkat tinggi terjadi di kantor gubernur. Kisah pergantian Gubernur M. Joesoef Singedekane menjadi cerminan sempurna dari pergeseran kekuasaan nasional, dari era Demokrasi Terpimpin Sukarno ke era Orde Baru Soeharto.

Fakta utamanya tercatat dengan jelas, pada 16 Juni 1966, melalui Keputusan Presiden No. 103 Tahun 1966, M. Joesoef Singedekane secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Gubernur Jambi. Posisinya segera digantikan oleh H. Abdul Manap sebagai Pejabat Sementara Gubernur.  

Peristiwa penggantian Gubernur Jambi itu terjadi hanya tiga bulan pasca terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), sebuah dokumen yang secara de facto mentransfer kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto.

Pada pertengahan 1966, Orde Baru sedang berada di puncak gelombang konsolidasi kekuasaan. PKI telah dibubarkan secara resmi pada 12 Maret 1966. Militer sedang giat-giatnya membersihkan semua lini pemerintahan dari unsur-unsur yang dianggap tak sejalan.

Loyalitas Singedekane kepada Presiden Soekarno, yang posisi kekuasaannya mulai terdesak dan habis, berimbas pada jabatan politiknya. Ia diganti seiring kekuasaan Presiden Soekarno luntur.

Ia kemudian menempuh pendidikan militer lanjutan dalam sebuah kursus singkat khusus yang diadakan oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), dan menyelesaikannya pada tahun 1967.

Setahun setelah Joesoef lulus dari Seskoad, ia dimasukkan sebagai anggota Kelompok Politik dalam Tim Politik, Ekonomi, dan Sosial (Poleksos) Panglima Angkatan Darat. Selain posisinya di Tim Poleksos, Joesoef juga memegang jabatan lain, diantaranya sebagai asisten pribadi Presiden Soeharto untuk proyek-proyek nasional sejak bulan Juni 1966, Sekretaris Proyek Pemilu pada bulan Juli 1968, dan Sekretaris Sektor Khusus Irian Barat pada tahun 1972.

Jabatan asisten pribadi Soeharto dibubarkan pada bulan Juni 1968 dan Joesoef dipindahkan ke Sekretariat Negara sebagai Wakil Sekretaris Urusan Proyek-Proyek Pemerintah pada awal tahun 1969. Ia mengudurkan diri dari jabatan sekretaris proyek pemilu pada bulan Februari 1970 karena gagal menyelenggarakan pemilihan umum selama masa jabatannya. 

Jabatannya sebagai Sekretaris Sektor Khusus Irian Barat diserahterimakan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, Soenandar Prijosoedarmo, pada tanggal 8 Juli 1974.

Setelah pensiun dari militer dan pejabat pemerintah, Joesoef Singedekane bekerja sebagai direktur di Bank Tabungan Negara. Joesoef meninggal pada tanggal 1 Mei 1993 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Bung Karno pernah berpesan tegas dalam pidato terkenalnya.

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!” (Jasmerah).

Kalimat itu ia ucapkan pada 17 Agustus 1966, di tengah situasi politik yang bergolak pasca peristiwa 1965. Pesan singkat namun pekat makna ini masih relevan hingga kini. Bahwa sejarah, betapapun kelam, adalah cermin yang tak boleh kita abaikan.(*)

Comments

Permalink

kalu tak silap, istri Yusuf bernama Aisyah Mursalim adalah sepupu Fatmawati dari curup, dan Sukarno sudah mengenalnya saat pembuangan di bengkulu

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network