SEKOLAH RAKYAT DAN JEJAK PENGABDIAN HBA UNTUK PENDIDIKAN JAMBI

WIB
IST

Oleh : Fahmi Rasid
Pusdiklat LAM Provinsi Jambi

"Pendidikan bukan sekadar program pemerintah, melainkan amanat kemanusiaan".

DALAM PERJALANAN PANJANG… pembangunan daerah, tidak banyak pemimpin yang menempatkan pendidikan sebagai pangkal perubahan sosial. Ketika sebagian besar perhatian tertuju pada pembangunan fisik dan proyek infrastruktur, Hasan Basri Agus (HBA) justru memilih jalan yang berbeda. Ia meyakini bahwa pembangunan sejati harus berakar dari manusia, dari kesadaran dan pengetahuan rakyatnya. Bagi HBA, pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, kurikulum, atau ijazah, melainkan upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat dari akar rumput — sebuah investasi moral dan intelektual yang menentukan arah masa depan Jambi.

Konsep tentang pendidikan yang membumi itu kini menemukan relevansinya kembali melalui gagasan Sekolah Rakyat. Sebuah pendekatan pendidikan alternatif yang berpihak pada masyarakat kecil, yang menempatkan pengetahuan sebagai milik bersama, bukan hak istimewa kalangan tertentu. Sekolah Rakyat sejatinya adalah ruang belajar sosial, tempat masyarakat saling berbagi pengalaman dan nilai-nilai kehidupan, tempat ilmu tidak diajarkan dari atas ke bawah, tetapi tumbuh dari interaksi dan semangat kebersamaan. Visi ini sejalan dengan pemikiran dan laku pengabdian HBA yang sejak awal percaya bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan manusia dari keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

Sebagai seorang pemimpin daerah, HBA memahami betul bahwa pembangunan yang hanya menonjolkan kemegahan fisik tanpa memperkuat fondasi pendidikan, hanya akan melahirkan ketimpangan dan ketergantungan. Karena itu, sejak masa kepemimpinannya sebagai Gubernur Jambi hingga kini sebagai anggota Komisi VIII DPR RI, ia konsisten menjadikan pendidikan sebagai poros utama pengabdian. HBA selalu percaya bahwa kecerdasan masyarakat adalah kekuatan paling besar yang dapat menggerakkan kemajuan daerah.

Salah satu jejak monumental yang tak bisa dipisahkan dari masa kepemimpinannya adalah program beasiswa S3 bagi 25 orang setiap tahun yang ia luncurkan saat menjadi BUPATI SAROLANGUN, Sebuah program yang pada masanya sangat progresif dan jarang dilakukan oleh daerah lain di Indonesia. Bagi HBA, program ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi merupakan bentuk keberanian melihat jauh ke depan. Ia ingin memastikan bahwa masa depan Jambi harus dibangun oleh anak-anak Jambi sendiri, dengan kapasitas dan ilmu pengetahuan yang tinggi, agar daerah ini tidak terus bergantung pada sumber daya luar.

Beasiswa tersebut kemudian menjadi tonggak lahirnya generasi intelektual Jambi di berbagai bidang. Banyak di antara mereka yang kini menjadi dosen, peneliti, pejabat publik, bahkan penggerak sosial yang membawa semangat perubahan di tengah masyarakat. Program itu telah menanamkan benih-benih peradaban baru: bahwa investasi terbesar sebuah daerah bukan pada jalan dan jembatan, tetapi pada pikiran manusia. Dalam konteks inilah, kepemimpinan HBA dapat dibaca sebagai upaya membangun “Jambi yang berpikir”, bukan sekadar “Jambi yang berdiri”.

Konsistensi pemikiran HBA juga tampak dalam semangat yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai program pendidikan di Provinsi Jambi, termasuk Program Dumisake Pendidikan. Program ini menjadi kelanjutan semangat yang telah diletakkan HBA, yaitu pemerataan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dumisake menegaskan bahwa pembangunan manusia harus bersifat inklusif, menolong bukan hanya mereka yang berprestasi, tetapi juga yang kurang mampu agar tidak tertinggal dalam arus modernisasi. Prinsip keberlanjutan gagasan inilah yang membedakan seorang pemimpin dengan sekadar penguasa. Bagi HBA, sebuah kebijakan akan bernilai abadi bila ia mampu menginspirasi generasi setelahnya untuk terus memperjuangkan hal yang sama.

Lebih jauh lagi, kepedulian HBA terhadap dunia pendidikan bahkan melintasi batas geografis. Salah satu catatan penting dalam masa kepemimpinannya adalah pembangunan Asrama Mahasiswa Jambi di Mesir, yang menjadi rumah bagi para pelajar Jambi di Universitas Al-Azhar, Kairo. Langkah ini memperlihatkan pandangan HBA yang luas dan mendalam tentang makna pendidikan. Ia tidak hanya berpikir tentang siswa di kampung dan kota, tetapi juga anak-anak Jambi yang menuntut ilmu hingga ke luar negeri.

Baginya, mahasiswa yang belajar di luar negeri adalah duta daerah, duta bangsa, sekaligus penjaga kehormatan Jambi di mata dunia Islam. Mereka perlu difasilitasi, diberi tempat tinggal yang layak, dan didukung agar dapat belajar dengan tenang serta membawa nama baik daerahnya. Asrama itu menjadi simbol kepedulian dan rasa hormat seorang pemimpin terhadap perjuangan intelektual anak-anak muda Jambi yang menempuh jalan panjang menimba ilmu di negeri orang. Hingga kini, bangunan itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan monumen hidup dari kepedulian seorang pemimpin yang menaruh cinta besar pada pendidikan.

Kini, setelah menyelesaikan tugas sebagai Gubernur, HBA melanjutkan pengabdiannya di tingkat nasional sebagai anggota Komisi VIII DPR RI. Di ruang legislatif ini, ia tetap membawa semangat yang sama, memperjuangkan pendidikan, sosial, dan pemberdayaan umat. Komisi VIII merupakan salah satu komisi strategis di DPR RI yang membidangi urusan pendidikan keagamaan, sosial, keagamaan, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, serta penanggulangan bencana. Dalam ruang itulah, HBA menyalurkan pandangan dan pengalamannya untuk memperjuangkan pendidikan yang berkeadilan dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ia kerap mengingatkan bahwa pendidikan nasional tidak akan berhasil jika hanya berpijak pada sistem formal semata. Diperlukan penguatan pendidikan nonformal, pendidikan sosial, dan pendidikan keagamaan agar masyarakat benar-benar berdaya. Karena itu, ia menaruh perhatian besar terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, pesantren, madrasah, serta sekolah berbasis komunitas yang selama ini menjadi bagian penting dari sistem pendidikan rakyat. Dalam berbagai forum, HBA menegaskan bahwa penguatan nilai-nilai agama dan moral adalah pondasi utama bangsa di tengah derasnya arus modernitas dan globalisasi.

Apa yang ia lakukan di parlemen hari ini sejatinya adalah kelanjutan dari apa yang telah ia bangun di Jambi dulu: menjadikan pendidikan sebagai alat pemberdayaan sosial. Dari beasiswa S3, Dumisake Pendidikan, hingga Sekolah Rakyat, semuanya adalah bagian dari satu benang merah panjang ,bahwa pendidikan harus mengangkat martabat manusia. Dalam pandangan HBA, pembangunan yang sejati adalah ketika rakyat berani berpikir, berani bermimpi, dan mampu mengubah nasibnya sendiri melalui pengetahuan.

Melihat seluruh perjalanan itu, kita menemukan bahwa HBA bukan sekadar tokoh politik atau birokrat, tetapi seorang pembelajar sejati yang menjadikan ilmu sebagai dasar pengabdian. Ia tidak hanya membangun gedung sekolah, tetapi membangun kesadaran akan pentingnya belajar. Ia tidak hanya memberi beasiswa, tetapi menyalakan semangat menuntut ilmu. Ia tidak hanya berbicara tentang pendidikan, tetapi mempraktikkannya sebagai bagian dari hidup dan jalan perjuangan.

Kini, ketika gagasan Sekolah Rakyat kembali dibicarakan dan dihidupkan di tengah masyarakat, semangat HBA terasa kembali relevan. Sekolah Rakyat bukan hanya model pendidikan, tetapi juga cara pandang: bahwa ilmu harus bisa diakses semua orang, tanpa sekat ekonomi dan status sosial. Pendidikan harus kembali menjadi gerakan rakyat, bukan proyek birokrasi. Dan dalam konteks inilah, figur seperti Hasan Basri Agus menjadi penting untuk diingat dan diteladani, bukan hanya karena apa yang telah ia lakukan, tetapi karena apa yang telah ia wariskan: keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan peradaban.

HBA telah membuktikan bahwa membangun Jambi tidak cukup dengan membangun jalan, jembatan, atau gedung tinggi. Pembangunan sejati adalah ketika pikiran rakyat ikut bertumbuh, ketika masyarakat diberi ruang untuk belajar, berpikir, dan bermimpi. Sekolah Rakyat adalah cermin dari cita-cita itu ,sebuah jalan sunyi yang menghubungkan masa kini dengan masa depan yang tercerahkan.

Di tengah dunia yang semakin pragmatis, sosok HBA mengingatkan kita bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak diukur dari berapa banyak proyek yang ia resmikan, tetapi dari seberapa besar cahaya ilmu yang ia nyalakan di hati rakyatnya. Dari beasiswa S3 hingga Sekolah Rakyat, dari asrama mahasiswa di Mesir hingga ruang-ruang diskusi di desa, semuanya adalah mozaik dari satu pengabdian panjang: mencerdaskan kehidupan masyarakat Jambi. Dan seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir, semangat itu terus hidup, menyejukkan, dan menghidupi ,bahkan ketika sang pemimpin tak lagi memegang jabatan.

HBA telah menunjukkan dengan tindakannya bahwa pendidikan bukan sekadar program pemerintah, melainkan amanat kemanusiaan. Dan bagi masyarakat Jambi, amanat itu telah ia tunaikan dengan penuh kesungguhan, ketulusan, dan cinta.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network