Oleh. Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd.
Pemikiran Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua dan paling orisinal di Indonesia. Ia bukan hanya ruang belajar agama, tetapi juga benteng moral, sosial, dan kebangsaan. Sejarah panjang pesantren membuktikan bahwa lembaga ini mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan ruh keikhlasan dan pengabdian. Namun, di tengah modernitas digital dan derasnya arus media, pesantren mulai “diusik” oleh narasi-narasi negatif yang kadang bersumber dari ketidaktahuan atau kesalahan framing media. Fenomena terkini seperti kontroversi tayangan televisi yang menyinggung pesantren Lirboyo menunjukkan adanya gejala reduksi nilai dan citra lembaga keagamaan tradisional di ruang publik (Majid, The Role of Pesantren in Maintaining National Resilience, 2025: 14).
Sejarah Pesantren Tanah Air: Pembebas Penjajah, Pengawal Akhlak Bangsa
Pesantren telah tumbuh sejak abad ke-16, bersamaan dengan proses Islamisasi Nusantara oleh para wali dan ulama penyebar Islam. Pesantren pertama diyakini berdiri di Jawa Timur seperti Pesantren Sidogiri (didirikan 1718), Tegalsari di Ponorogo (1742), dan Lirboyo di Kediri (1910). Dalam sejarah perlawanan bangsa, pesantren berfungsi sebagai basis pergerakan anti penjajahan, dari KH. Hasyim Asy’ari di Tebuireng hingga KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta (meski berbentuk madrasah modern), mereka semua adalah ulama pembebas bangsa (Rois, The Historicity of Pesantren, 2023: 72).
Pasca kemerdekaan, pesantren berperan menjaga moralitas publik dan memperkuat karakter bangsa. Data Direktorat PD Pontren Kemenag tahun 2025 mencatat lebih dari 37.000 pesantren aktif di Indonesia dengan lebih dari 5,2 juta santri tersebar di seluruh provinsi. Angka ini menunjukkan vitalitas luar biasa lembaga tradisional ini di tengah arus globalisasi.
Pesantren: Pendidikan Original Indonesia (Salafi dan Khalafi)
Pesantren disebut “pendidikan asli Indonesia” karena lahir dari kearifan lokal dengan sistem nilai Islam yang mendalam. Dalam perkembangan epistemologisnya, pesantren terbagi menjadi dua model besar: salafi dan khalafi (modern). Pesantren salafi menekankan studi kitab kuning, tafsir, hadits, dan fiqh klasik, dengan metode sorogan dan bandongan. Sedangkan pesantren khalafi mengintegrasikan sistem madrasah, kurikulum nasional, dan bahkan perguruan tinggi.
Model hybrid kini mendominasi. Pesantren seperti Gontor, Darunnajah, dan Al-Amin Madura menjadi contoh keberhasilan integrasi sains, bahasa, dan manajemen pendidikan modern tanpa meninggalkan ruh tasawuf. Sebaliknya, pesantren tradisional seperti Lirboyo, Sarang, dan Sidogiri menjaga kemurnian sanad keilmuan. Integrasi dua arus besar ini memperlihatkan kemampuan pesantren bertransformasi menjadi lembaga pendidikan berdaya saing global (Taufikin, Redefining Islamic Pedagogy, 2025: 55).
Kontribusi Pesantren dalam Kebangsaan dan Keindonesiaan
Pesantren berperan sebagai pilar kebangsaan. Dalam ranah ideologis, pesantren mengajarkan Islam rahmatan lil ‘alamin, yang mengakar pada semangat cinta tanah air. Kiai dan santri turut dalam perumusan dasar negara dan perlawanan fisik terhadap penjajahan. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diprakarsai KH. Hasyim Asy’ari adalah bukti monumental kontribusi pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan (Majid, 2025: 32).
Dalam konteks modern, pesantren berkontribusi pada pembangunan sosial-ekonomi melalui pemberdayaan masyarakat. Banyak pesantren mendirikan koperasi santri, BMT, hingga program agribisnis dan digitalisasi ekonomi umat. Pesantren juga aktif dalam pendidikan karakter, moderasi beragama, dan literasi lingkungan. Maka, peran pesantren tak hanya religius, tetapi juga produktif dan solutif (Kamal, Isu Negatif di Pondok Pesantren, 2025: 24).
Para Kiai Sang Pahlawan dan Tokoh Bangsa
Kiai adalah pilar moral dan spiritual pesantren. Mereka bukan hanya guru agama, tetapi juga penggerak sosial dan pembimbing umat. Figur seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Sanusi, hingga KH. Ma’ruf Amin menunjukkan bahwa kiai adalah pahlawan bangsa dalam makna substantif.
Dalam konteks kontemporer, kiai tetap menjadi mediator sosial dan penyejuk umat. Ketika masyarakat dilanda krisis moral dan politik identitas, pesan kiai tetap menjadi sumber kedamaian. Mukhtar Latif (2023: 272) menegaskan bahwa kepemimpinan berbasis nilai religius dan kearifan lokal sebagaimana dipraktikkan di pesantren merupakan “modal spiritual bangsa yang tak ternilai”.
Sejarah Mencatat: Kasus Pencideraan Pesantren di Tanah Air
Meski memiliki kontribusi besar, pesantren tidak luput dari ujian. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul beberapa kasus yang menciderai citra pesantren. Salah satu yang paling viral terjadi pada Oktober 2025, saat tayangan Xpose Uncensored Trans7 menayangkan narasi yang dianggap menyinggung Pesantren Lirboyo Kediri. Tayangan itu menampilkan potongan visual yang mengesankan bahwa “santri rela ngesot demi berkah kiai” dan “kiai kaya karena uang santri”. Tayangan ini memicu protes luas dari alumni dan masyarakat, memunculkan tagar #BoikotTrans7, dan akhirnya berujung pada permintaan maaf resmi pihak stasiun televisi (Detik.com, 16/10/2025).
Kasus ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, marwah pesantren masih sangat dijaga oleh masyarakat. Kedua, media massa perlu meningkatkan etika penyiaran dan sensitivitas budaya dalam menampilkan kehidupan keagamaan. Sebab, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi simbol spiritual dan sosial bangsa (Times Indonesia, 2025).
Berkah Pesantren dan Kiai
Konsep barakah dalam pesantren adalah fondasi spiritual yang mengikat hubungan antara guru dan murid. Barakah bukan hanya keajaiban metafisik, melainkan kontinuitas ilmu, keteladanan, dan keberlanjutan amal saleh. Pesantren yang dikelola dengan niat ikhlas akan melahirkan generasi berakhlak mulia.
Dalam pandangan Mukhtar Latif (Komitmen Organisasi: Qari’ dan Qari’ah Berprestasi, 2023: 112), “barakah pendidikan” adalah integrasi antara nilai moral, manajemen profesional, dan spiritualitas kerja. Kiai dan ustadz yang tulus mengajar tanpa pamrih melahirkan sistem pendidikan yang sarat nilai-nilai keikhlasan dan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, berkah pesantren menjadi energi moral yang terus memancar bagi bangsa.
Penutup
Pondok Pesantren adalah jantung Islam di Nusantara . Ia bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga pranata sosial yang menjaga keseimbangan iman, ke-Indonesiaan dan kebangsaan. Dalam dinamika modernitas, pesantren memang menghadapi tantangan: komersialisasi pendidikan, digitalisasi nilai, dan framing negatif media. Namun, sejarah dan kenyataan sosial menunjukkan, bahwa pondok pesantren tetap adaptif, kuat, dan berakar dalam budaya bangsa.
Di saat lembaga lain gamang menghadapi perubahan global, pesantren justru menjadi jangkar moral. Ia terus mencetak manusia beriman, cerdas, dan berkarakter kebangsaan dan ke-Indonesiaan. Maka benar jika dikatakan: “Pesantren adalah benteng akhlak dan laboratorium peradaban Indonesia.”
Daftar Bacaan
Buku & Monograf
- Majid, N.F. (2025). The Role of Pesantren in Maintaining National Resilience in Indonesia. Jakarta: IAIN Press.
- Taufikin, T. (2025). Redefining Islamic Pedagogy: Transformative Approaches in Pesantren. Surabaya: Maharot Institute.
- Yunus, B.M. (2025). Menumbuhkan Semangat Kemandirian Santri Berbasis Al-Qur’an. Malang: Media Santri.
- Kamal, M.R. (2025). Isu Negatif di Pondok Pesantren: Sentimen dan Persepsi Publik. Yogyakarta: Muntahanoor Institute.
- Rois, C., Dewi, M.S., & Robaniyah, N. (2023). The Historicity of Pesantren. Progresiva Press.
- Sibron, A., & Afriantoni, A. (2025). Integrasi Kurikulum Merdeka dan Kurikulum Pesantren. Jakarta: LP2M UIN.
- Policies and Practices: Religious Moderation in Pesantren. (2025). Jakarta: Litbang Kemenag RI.
- Pondok Pesantren: Transformasi Kurikulum dan Manajemen. (2024). Bandung: Al-Afkar.
- Mukhtar Latif, M. (2023). Komitmen Organisasi: Qari’ dan Qari’ah Berprestasi. Jakarta: PT Salim Media Indonesia.
- Mukhtar Latif, M. (2020). Teori Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Artikel Jurnal
- Rois, C., Dewi, M.S., & Robaniyah, N. (2023). The Historicity of Pesantren: An Overview of Pesantren Education System in Indonesia. Progresiva, 11(01), 70–86.
- Majid, N.F. (2025). Pesantren and National Resilience: A Contemporary View. JPPI, 14(02), 45–61.
- Taufikin, T. (2025). Redefining Islamic Pedagogy in Pesantren. Maharot Journal, 9(01), 50–66.
- Amanda, A.D. (2022). Pesantren and Social Identity in Post-Digital Society. Jurnal Pendidikan Sosial-Humaniora, 13(02), 110–125.
- Rahman, F. (2024). Pesantren Resistance to Indonesia's National Curriculum. RGSA Open Access Publications, 6(03), 23–38.
Add new comment