Anggota DPR RI Komisi XII, Cek Endra, meminta Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera turun tangan mengusut kejahatan lingkungan di Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Cek Endra mengaku prihatin dengan kondisi lingkungan di Koto Boyo yang rusak parah akibat aktivitas pertambangan batubara tanpa reklamasi. Lubang-lubang raksasa bekas tambang dibiarkan begitu saja. Kondisi itu membentuk danau beracun yang mengancam ekosistem dan kehidupan.
"KLH harus turun langsung ke lokasi! Ini sudah keterlaluan! Koto Boyo tidak bisa dibiarkan menjadi kubangan raksasa tanpa ada upaya perbaikan. Pelanggaran reklamasi ini jelas-jelas harus ditindak tegas!" tegas Cek Endra.
Menurut Cek Endra, pemerintah tak boleh tinggal diam. KLH harus segera melakukan audit lingkungan terhadap seluruh perusahaan tambang di Koto Boyo. Gakkum KLH juga perlu mengungkap siapa saja yang bertanggung jawab atas kerusakan ini.
Cek Endra menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi dan pascatambang. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 juga menegaskan bahwa perusahaan yang tidak melakukan reklamasi dapat dicabut izinnya dan dikenai sanksi pidana.
Mengapa tambang di Koto Boyo tetap beroperasi meskipun kewajiban reklamasi diabaikan?
"KLH harus segera mengusut dan memberikan sanksi tegas. Kita prihatin dengan kondisi lingkungan yang rusak. Ini ancaman untuk anak cucu kita,!" tegas Cek Endra.
Selain menyoroti kejahatan lingkungan, Cek Endra juga mengungkap dugaan adanya pengusaha inisial Y yang diduga mengendalikan tambang batubara di Koto Boyo.
Pengusaha Y diduga mengendalikan sejumlah perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Koto Boyo. Dia diduga memiliki jaringan kuat dengan oknum pejabat, sehingga bisa leluasa beroperasi tanpa takut sanksi. Tidak ada kontribusi bagi warga sekitar, hanya meraup keuntungan pribadi!
Cek Endra juga memastikan akan membawa Komisi XII DPR RI untuk meninjau langsung lokasi tambang Koto Boyo. Komisi XII akan memeriksa langsung kerusakan lingkungan akibat tambang batubara. Apakah ada izin yang diterbitkan secara ilegal. Siapa saja pihak yang bermain dalam bisnis tambang Koto Boyo. Mengapa tidak ada reklamasi meskipun undang-undang mengharuskannya.
"Kami akan turun langsung! Kalau memang ada pelanggaran, DPR akan mendesak KLH dan aparat penegak hukum untuk segera menindak! Tidak boleh ada pembiaran lagi!"
Cek Endra menegaskan bahwa tidak cukup hanya menegur perusahaan tambang di Koto Boyo. Harus ada sanksi tegas.
“ Semua perusahaan yang tidak melakukan reklamasi harus harus bertanggungjawab,”tegasnya.
Sebelumnya, laporan investigasi Perkumpulan Hijau mengungkap fakta mengerikan: ratusan hektar lahan di Koto Boyo telah berubah menjadi kawah-kawah berisi air berwarna hijau pekat dan kehitaman. Air di lubang-lubang bekas tambang ini telah terkontaminasi yang berbahaya bagi manusia dan ekosistem.
Yang tersisa di Koto Boyo bukan hanya danau-danau beracun. Sejauh mata memandang, terbentang luas lahan mati yang tak bisa lagi ditanami. Hutan yang dulu rimbun, telah berubah menjadi padang tandus yang dipenuhi debu. Udara di sekitarnya dipenuhi partikel halus yang membawa penyakit, terutama saat musim kemarau tiba.
Dampak ekologis yang ditinggalkan tambang batubara sangat mengerikan. Hutan yang kaya akan flora dan fauna kini musnah. Tak ada lagi pepohonan untuk menahan erosi, tak ada lagi habitat bagi burung dan satwa liar.
Tanah pun kehilangan daya serap. Saat hujan, air tak lagi bisa meresap. Polusi udara meningkat drastis. Debu-debu tambang beterbangan. Sumber air bersih tercemar. Suhu meningkat secara ekstrem. Tanpa pepohonan sebagai penyeimbang, wilayah bekas tambang terasa jauh lebih panas, membuat kehidupan semakin sulit.
Seharusnya, sesuai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi setelah operasional mereka berakhir. Namun, fakta di lapangan berkata lain. Lubang-lubang tambang dibiarkan begitu saja, menganga seperti luka yang tak tersembuhkan.
“Mereka sudah meraup keuntungan besar dari batubara, tetapi mereka pergi dan membiarkan kondisi ini tanpa peduli,” ujar Feri Irawan.
“Dana reklamasi yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki lingkungan entah ke mana. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah kejahatan lingkungan yang disengaja!” tegasnya.
Lebih jauh, dugaan kuat adanya permainan antara perusahaan tambang dan oknum pemerintah semakin mencuat. Jika dana reklamasi benar-benar ada, mengapa lahan-lahan ini dibiarkan terbengkalai?
“Kami menduga ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari bencana ini. Dana reklamasi ini harusnya digunakan untuk menutup lubang tambang, menanam kembali pohon, dan mengembalikan lahan ke kondisi semula. Tapi kenyataannya? Tak ada satu pun yang dilakukan! Ini skandal besar yang harus diusut oleh KPK dan Bareskrim!” tegas Feri.

Wilayah HGU Sawit yang Berubah Jadi Tambang Batubara
Menurut Direktur Perkumpulan Hijau (PH), Feri Irawan, kejahatan lingkungan ini berpusat di lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sawit Desa Makmur (SDM), yang luasnya mencapai 14.225 hektar. Namun, alih-alih digunakan untuk perkebunan sawit sebagaimana izinnya, lahan ini justru dijarah menjadi tambang batubara oleh beberapa perusahaan besar.
"Kami mendapati bahwa PT SDM sejak awal memperoleh HGU sawit, tetapi mereka tidak pernah menanam sawit. Yang muncul justru Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di lokasi itu. Ini jelas pelanggaran serius, dan pemerintah harus segera turun tangan," ujar Feri.
Menurut Feri, perusahaan milik keluarga Senangsyah, PT Sawit Desa Makmur (SDM), dituding sebagai dalang utama kehancuran ini. PT SDM awalnya mendapatkan Izin Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 1997 untuk perkebunan kelapa sawit seluas 14.225 hektare.
Berdasarkan investigasi Perkumpulan Hijau, terdapat beberapa perusahaan tambang batubara yang beroperasi di atas lahan yang seharusnya digunakan untuk perkebunan sawit tersebut. Berikut adalah daftar perusahaan yang mengelola tambang di HGU PT SDM:
1️⃣ PT TBT – Luas area: 3.220 hektar
2️⃣ PT BMS – Luas area: 1.380 hektar
3️⃣ PT KMW – Luas area: 2.000 hektar
4️⃣ PT DKC – Luas area: 1.472 hektar
Selain itu, terdapat beberapa perusahaan tambang batubara yang berada di bawah kendali Rizal Senangsyah, yakni:
5️⃣ PT BHS – Luas area: 1.946 hektar
6️⃣ PT BBMM – Luas area: 198,70 hektar
7️⃣ PT KAI – Luas area: 199,10 hektar
8️⃣ PT ASSBB – Luas area: 1.945 hektar
9️⃣ PT BHI – Luas area: 2.000 hektar

Sementara itu, PT SDM sendiri dimiliki oleh Andi Senangsyah. Anehnya, sejak memperoleh HGU Sawit seluas 14.225 hektar, PT SDM sama sekali tidak pernah menanam sawit.
"Ini pelanggaran serius. Bagaimana mungkin izin HGU untuk perkebunan sawit justru berubah menjadi tambang batubara? Jika begini, seharusnya izin HGU dicabut dan perusahaan harus bertanggung jawab atas kerusakan yang telah mereka timbulkan," tegas Feri.
Kasus ini sebenarnya bukan rahasia lagi di pemerintahan. Sebab, mantan Gubernur Jambi, Fachrori Umar, pernah menyurati pemerintah pusat untuk segera mencabut izin HGU PT SDM.
Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut yang jelas. Alih-alih dicabut, tambang batubara di kawasan HGU ini justru semakin merajalela dan semakin brutal dalam eksploitasi lingkungan.
"Kami minta Komisi III dan Komisi XII DPR RI, Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, serta Presiden Prabowo untuk turun langsung ke lokasi dan mengusut kejahatan lingkungan ini! Ini bukan hanya pelanggaran administratif, ini kejahatan lingkungan yang terjadi secara terang-terangan!" tegas Feri.
Menurutnya, jika pemerintah tetap membiarkan kejahatan ini terjadi, maka akan menjadi preseden buruk bagi daerah lain. HGU sawit bisa kapan saja berubah menjadi tambang, tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas.(Bersambung)
Add new comment