Kritik Rencana Pembelian Mobnas, HMI Kembali Demo Bupati Merangin

WIB
IST

“Kami datang bukan membawa senjata, bukan membawa kekacauan. Kami datang membawa suara yang selama ini tak pernah didengar.” Sandrawandi, Koordinator Aksi HMI Bangko.

Kalimat itu bergema di depan Gedung DPRD Kabupaten Merangin, siang itu, Selasa 10 Juni 2025. Bukan sekali. Bukan dua kali. Tapi untuk ketiga kalinya, barisan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bangko datang dengan satu harapan bertemu bupati mereka sendiri.

Namun lagi-lagi, yang mereka temui hanyalah pagar besi, raut dingin aparat, dan kursi kekuasaan yang kosong.

Empat tuntutan yang mereka usung sebenarnya bukan hal baru. Yakni batalkan pembelian mobil dinas baru Bupati dan Wakil Bupati. Kemudian tertibkan penyakit masyarakat (pekat) yang kian meresahkan. Lalu tata ulang keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang semrawut. Dan berantas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang mencemari sungai dan rusak hutan.

Sialnya, yang mereka dapat bukan dialog. Bukan solusi. Melainkan keheningan dan absennya sang kepala daerah.

Aksi dimulai di gedung wakil rakyat. Di sana, tak satupun wakil rakyat menyambut mereka. Dirong-dorongan dengan Satpol PP pun tak terhindarkan. Sampai akhirnya Waka I DPRD, Fahmi, datang bersama tiga anggota dewan lainnya.

"Kami tadi sedang rapat," ujar Fahmi.

Bagi mahasiswa, alasan itu terdengar seperti rekaman lama yang terus diputar. Merasa tak puas dengan jawaban wakil rakyat, mereka pun beranjak ke Kantor Bupati Merangin.

Di sana, Wakil Bupati H. A. Khafid Moein dan jajaran menyambut. Tapi sekali lagi, Bupati Syukur tak terlihat.

“Dua kali kami datang ke sini, bapak bupati selalu tidak ada,” ucap seorang mahasiswa dalam nada getir.

Dan sebagai simbol protes damai, mahasiswa kemudian membaca Al-Fatihah untuk sang bupati—bukan sebagai penghormatan biasa, tapi sebagai doa publik untuk pemimpin yang tak kunjung hadir.

Dalam klarifikasi, Bupati Syukur menyebut bahwa ia masih menggunakan mobil pribadi untuk dinas. Namun, pertanyaannya kini bukan hanya soal mobil, tapi kenapa ia tak kunjung hadir menemui anak-anak muda yang datang dengan kepala terbuka dan suara kritis?

Tiga kali datang. Tiga kali dikecewakan. Ketika mahasiswa turun ke jalan, itu artinya saluran formal telah tersumbat. Ketika kritik dibalas dengan diam, itu artinya demokrasi mulai digembok.

Dan ketika doa Al-Fatihah dibacakan di depan kantor bupati, itu bukan semata ritual. Itu adalah simbol bahwa rakyat sudah sampai di ujung harapan.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network