Sarolangun - Ketegangan memuncak di lokasi proyek strategis pembangunan D.I. Batang Asai di Cermin nan Gedang Sarolangun. Sejumlah warga setempat nekat menghentikan paksa aktivitas pengerjaan proyek itu.
Aksi ini bukan tanpa sebab. Kemarahan warga meledak setelah pihak pelaksana proyek mulai melakukan proses pembendungan aliran sungai. Akibatnya, debit air naik drastis dan meluap hingga merendam lahan perkebunan milik warga di sekitar bantaran sungai.
Masalah utamanya, lahan yang kini tergenang air itu ternyata belum mendapatkan ganti rugi sepeser pun dari pemerintah.
Warga protes keras karena tanah yang terendam bukanlah lahan tidur. Di atas tanah tersebut berdiri aset ekonomi warga berupa kebun sawit dan pohon durian yang sudah produktif.
"Tanah kami belum dibayar, tapi air sudah naik. Kalau terendam terus, mati sawit dan durian kami. Siapa yang tanggung jawab?" ujar salah seorang warga di lokasi kejadian dengan nada tinggi.
Tindakan sepihak pelaksana proyek yang melakukan pembendungan sebelum urusan pembebasan lahan tuntas dinilai warga sebagai tindakan semena-mena.
Akibat protes keras ini, aktivitas di lapangan lumpuh total. Warga bersikeras tidak akan mengizinkan pengerjaan dilanjutkan sampai ada kejelasan dan realisasi pembayaran ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh mereka.
Hingga berita ini diturunkan, situasi di Desa Kampung Tujuh dan Desa Pemuncak mencekam. Warga memblokade lokasi dan memastikan alat berat berhenti beroperasi total.
Mereka bersumpah tidak akan mengizinkan satu pun pengerjaan dilanjutkan sampai ada pembayaran ganti rugi yang nyata atas tanah dan tanam tumbuh mereka.
Belum ada keterangan resmi dari PT Runggu Prima Jaya maupun BWSS VI Jambi terkait solusi atas blunder fatal di awal proyek ini.
Untuk diketahui, penggarap mega proyek pembangunan tanggul dan jaringan irigasi D.I. Batang Asai adalah PT Runggu Prima Jaya, perusahaan basis Jakarta Timur. Proyek ini berada di Kementerian PUPR (BWSS VI Jambi).
Saat tender, sempat terjadi banyak kejanggalan. Pasalnya, PT Runggu Prima Jaya memenangkan tender dengan penawaran yang terbilang nekat, Rp 45,59 miliar. Angka ini anjlok drastis sekitar Rp 11,4 miliar (20%) dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dipatok senilai Rp 56,99 miliar.
Dalam dunia konstruksi, selisih harga yang terlalu jomplang atau predatory bidding ini memicu kekhawatiran serius. Publik mempertanyakan logika matematika proyek tersebut: bagaimana mungkin spesifikasi teknis tinggi di lokasi terpencil bisa dikerjakan dengan pemangkasan biaya seperlima dari anggaran?
Tim investigasi Jambi Link mencium aroma tak sedap di balik strategi 'bakar harga' ini. Diskon 20% kerap kali menjadi indikasi awal potensi masalah di lapangan. Mulai dari penggunaan material murahan, pengurangan volume, hingga modus mark-up lewat addendum di tengah jalan.
"Ini mencolok. Apakah harga ini realistis? Atau hanya strategi asal menang dulu, nanti akal-akalan saat pelaksanaan?" ungkap sumber yang menyoroti tender ini.
Kekhawatiran kian beralasan mengingat lokasi proyek di Desa Kampung Tujuh dan Desa Pemuncak, Sarolangun, bisa dibilang berada di "ujung dunia". Berjarak 240 km dari Kota Jambi dengan medan berat, biaya mobilisasi logistik seharusnya tinggi, bukan malah ditekan habis-habisan.
Selain harga yang terjun bebas, pola penawaran dari para pesaing juga memunculkan kecurigaan adanya pengaturan atau bid rigging.
Dari 110 peserta, hanya 7 perusahaan yang mengajukan harga kompetitif. Menariknya, selisih antar penawar terlihat rapi dan bertingkat, seolah sudah "dikondisikan".
Berikut data penawaran yang masuk:
- PT. Runggu Prima Jaya – Rp 45,59 M (Pemenang)
- PT. Indo Teknik Pembangunan – Rp 46,11 M
- PT. Fatimah Indah Utama – Rp 47,59 M
Selisih yang tipis dan berpola ini mengarah pada indikasi bidding terkoordinasi. Muncul dugaan praktik "titipan" atau "konsorsium bayangan", di mana satu grup usaha mengirim beberapa bendera perusahaan hanya untuk memenuhi kuota dan memuluskan jalan satu pemenang.(*)
Add new comment