Diam-diam Kejari Sungai Penuh Bidik Skandal Jual Beli Lahan TNKS, Eks Kades dan Bos PT Diperiksa!

WIB
IST

Sungai Penuh – Kejaksaan Negeri (Kejari) Sungai Penuh, Jambi tengah menyelidiki kasus dugaan penjualan lahan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kasus ini tercium sebagai tindak pidana korupsi yang melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh oknum tertentu.

Pihak Kejari secara diam-diam telah mengumpulkan data dan kini menaikkan status perkara ke tahap penyidikan, mengingat kuatnya indikasi kerugian negara dalam penjualan aset lahan konservasi itu.

Informasi mengenai dugaan jual beli lahan TNKS ini pertama kali mencuat ke publik pada September 2025, ketika sumber internal penegak hukum mengungkap adanya “skandal besar” penjualan lahan taman nasional yang seharusnya dilindungi. Proyek ilegal ini disebut melibatkan pembagian jatah dan pengaturan alur penjualan lahan yang menguntungkan segelintir pihak tertentu.

Pada acara coffee morning bersama insan pers di Sungai Penuh 12 Desember 2025, kemarin, Kejari mengonfirmasi tengah membidik kasus itu.

Kasi Pidana Khusus Kejari Sungai Penuh, Yogi Purnomo, mengungkapkan bahwa penyelidikan telah dilakukan secara intensif dan perkara resmi naik ke tahap penyidikan.

“Kasus TNKS saat ini sudah masuk tahap penyidikan. Kami sudah berkoordinasi dengan balai (pengelola TNKS), kementerian, serta BPKP. Ada indikasi kerugian negara di sana,” tegas Yogi Purnomo.

Sebelumnya, tim jaksa telah turun langsung ke lapangan untuk mengecek lokasi lahan yang diduga diperjualbelikan di dalam kawasan TNKS. Dari hasil pengecekan awal, lahan yang diperdagangkan tersebut terbukti berada di zona TNKS yang semestinya tak boleh dimiliki pribadi.

Meski demikian, pihak Kejari masih merahasiakan detail titik lokasi lahan dan skala area yang terdampak, dengan alasan kepentingan penyidikan.

“Lokasinya nanti akan kami sampaikan pada waktunya. Yang jelas, kasus ini akan kami proses lebih lanjut pada tahun 2026,” ujar Yogi.

Berdasarkan penelusuran awal, modus operandi yang digunakan pelaku diduga berupa pemalsuan dokumen pertanahan atau penyalahgunaan wewenang pejabat desa untuk menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) ilegal. Modus ini membuat seolah-olah lahan dalam kawasan TNKS memiliki status hukum untuk diperjualbelikan kepada pihak lain.

Sumber internal menyebut praktik tersebut telah diatur sedemikian rupa, melibatkan pemberian “jatah” keuntungan bagi oknum tertentu. Artinya, ada indikasi kolusi antara penjual ilegal lahan dengan pihak yang berkuasa di daerah guna melancarkan transaksi gelap ini.

Dalam proses penyelidikan, dua nama mencuat dan dipanggil untuk dimintai klarifikasi oleh penyidik. Keduanya adalah M (mantan Kepala Desa Baru Lempur, Kecamatan Gunung Raya, Kerinci) dan HS (pimpinan PT Casiavera Gemuruh Cemerlang).

Pemanggilan kedua sosok ini mengisyaratkan bahwa dugaan penjualan lahan TNKS mungkin melibatkan kerjasama antara oknum aparat desa dengan pihak swasta (perusahaan) di sektor tertentu.

Hingga kini, status tersangka resmi belum diumumkan. Namun, dengan naiknya kasus ke tahap penyidikan, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Kejari akan menetapkan tersangka apabila bukti permulaan dianggap cukup.

Indikasi adanya korupsi terorganisir cukup kuat, mengingat lahan konservasi dijual secara ilegal yang tentu melibatkan pemalsuan data dan potensi suap.

Kejaksaan Negeri Sungai Penuh menegaskan komitmennya menuntaskan kasus dugaan penyelewengan lahan TNKS ini sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dan perlindungan kawasan konservasi milik negara. Koordinasi telah dijalin dengan Balai Besar TNKS selaku otoritas taman nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung kerugian negara dan aspek legal kawasan.

Langkah terpadu ini menunjukkan keseriusan aparat dalam membongkar praktik jual beli lahan ilegal yang dapat menjadi preseden buruk bagi kelestarian TNKS.

Pihak KLHK sendiri menyambut baik pengusutan kasus ini. Sebagai instansi terkait, KLHK selama ini aktif melakukan operasi penegakan hukum di kawasan-kawasan konservasi yang terancam. Direktur Jenderal Gakkum KLHK, Dwi Januanto Nugroho, menegaskan bahwa pemerintah “tidak akan mentoleransi praktik jual beli kawasan hutan negara dalam bentuk apa pun”.

Pernyataan ini sejalan dengan sikap KLHK yang tahun ini menggelar Operasi Merah Putih di bentang alam Seblat (wilayah Bengkulu yang juga bagian dari TNKS). Dalam operasi tersebut, tim gabungan berhasil merebut kembali sekitar 7.755 hektare lahan TNKS yang telah lama dirambah untuk kebun sawit ilegal.

Penegak hukum bahkan menetapkan 3 orang tersangka yang berperan sebagai pemilik dan penjual lahan ilegal, dan berencana mengusut tuntas hingga ke aktor pemodal di balik jaringan perambahan hutan tersebut.

“Kawasan hutan negara, apalagi koridor penting seperti Bentang Alam Seblat, bukan untuk diperjualbelikan atau diubah seenaknya menjadi kebun sawit,” tegas Dwi Januanto.

Sementara itu, di tingkat daerah, Kejari Sungai Penuh berjanji transparan dalam penanganan kasus jual beli lahan TNKS di Kerinci ini. Yogi Purnomo menyatakan bahwa perkembangan penyidikan akan diinformasikan ke publik sesuai prosedur. Lokasi pasti lahan TNKS yang dijual beserta oknum pelakunya akan diungkap setelah tahap penyidikan lebih lanjut, untuk mencegah para pihak terkait menghilangkan barang bukti.

“Yang jelas, kasus ini akan kami proses lebih lanjut pada tahun 2026,” ujarnya.

Jejak Kasus Serupa di Kawasan TNKS

Kasus jual beli lahan dalam kawasan TNKS bukan pertama kali ini saja terjadi. Kawasan TNKS yang meliputi provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan sudah beberapa kali menghadapi masalah perambahan dan penjualan lahan ilegal oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Di Kabupaten Kerinci sendiri, kasus serupa pernah mencuat pada tahun 2017. Saat itu, Kepala Desa Bintang Marak dituduh menerbitkan surat keterangan tanah palsu untuk menjual kawasan hutan adat yang berbatasan dengan TNKS kepada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).

Akibat ulah oknum kades tersebut, PT PGE sempat melakukan kegiatan pembukaan lahan (di area proyek panas bumi “Cluster H”) karena mengira lahan tersebut resmi diperoleh. Belakangan terungkap bahwa PGE mendapatkan “surat jual beli” dari oknum perangkat desa Bintang Marak, padahal lahan itu berada di wilayah adat penyangga TNKS dan seharusnya dilindungi.

Kasus ini memicu kemarahan masyarakat adat Depati Nyato (desa Talang Kemuning dan Bintang Marak) yang merasa wilayah adatnya dijual diam-diam. Warga akhirnya mengusir Kades dari desa karena dianggap telah mengkhianati amanah dengan menjual tanah ulayat yang termasuk kawasan taman nasional.

Pihak Pertamina selaku induk PGE menyatakan mereka tidak pernah berniat membeli lahan yang berstatus taman nasional, dan mendukung langkah penegak hukum untuk mengusut tuntas masalah pemalsuan SKT tersebut. Kasus Bintang Marak ini menjadi pelajaran berharga bahwa kolusi oknum aparat desa dengan pihak luar dapat mengancam kelestarian TNKS dan memicu konflik sosial yang serius.

Lebih jauh ke belakang, pada 2008 juga terjadi kasus penjualan lahan TNKS di wilayah Provinsi Jambi. Tim patroli gabungan Balai TNKS bersama polisi dan dinas kehutanan saat itu menggagalkan aksi perambahan di kawasan TNKS wilayah Merangin, Jambi. Tiga orang petani asal Bengkulu ditangkap di lokasi saat sedang menebangi hutan TNKS untuk persiapan kebun kopi.

Setelah diperiksa, ketiganya mengaku sudah membeli areal hutan 10 hektare tersebut seharga Rp 500 ribu per hektare dari seorang warga setempat. Para petani itu berdalih tidak tahu lahan tersebut masuk zona taman nasional dan merasa telah ditipu oleh dua penjual berinisial M dan A yang mengaku sebagai pemilik lahan. Kedua penjual ilegal itu kabur dan ditetapkan sebagai buronan, sedangkan ketiga pembeli tersebut tetap diproses hukum karena telah merambah kawasan hutan tanpa izin.

Kasus ini menunjukkan bahwa praktik jual beli lahan TNKS secara ilegal sudah berlangsung lama, modusnya kerap melibatkan penduduk lokal yang menjual lahan negara kepada pendatang dengan iming-iming harga murah, lalu para pembeli memanfaatkannya untuk kebun atau ladang.

Berbagai kasus di atas menegaskan bahwa kawasan TNKS masih rentan terhadap perambahan dan transaksi ilegal lahan. Aparat penegak hukum bersama instansi terkait terus berupaya menutup celah tersebut melalui operasi patroli rutin, penegakan hukum tegas, serta sosialisasi kepada masyarakat sekitar taman nasional. Penanganan yang tegas diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan oknum yang terlibat.

Seiring berjalannya penyidikan kasus di Sungai Penuh ini, publik di Kerinci dan sekitarnya menaruh perhatian besar. Aktivis lingkungan mendesak agar kasus ini diusut tuntas dan pelakunya dihukum tanpa pandang bulu.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network