Uang Rp 734 juta telah dikembalikan. Tapi Kejaksaan Negeri (Kejari) Jambi tak mengendur. Proses hukum tetap berjalan. Begitulah sinyal tegas yang disampaikan Kasi Pidsus Kejari Jambi, Sumarsono, ketika dikonfirmasi soal kelanjutan penyelidikan dugaan korupsi parkir di Pasar Angsoduo Kota Jambi.
"Ya, ada pengembalian uang. Tapi itu tak serta-merta menghentikan proses penyelidikan. Proses hukum tetap jalan. Dan uang itu kami anggap sebagai titipan, bukan pelunasan,” kata Sumarsono, Rabu (11/6/2025).
Dugaan korupsi ini mencuat saat terdeteksi adanya potensi kebocoran pendapatan parkir di kawasan Pasar Angsoduo sepanjang tahun 2023. Pasar ini dikelola oleh pihak swasta, yakni PT Eraguna Bumi Nusa (EBN) yang dikontrak oleh Pemkot Jambi untuk mengelola retribusi parkir dan kebersihan.
Namun dalam pelaksanaannya, Kejari Jambi menemukan indikasi kuat bahwa dana parkir tak disetorkan ke kas daerah selama lebih dari 10 bulan. Data awal menyebut potensi kerugian mencapai Rp 734 juta. Angka yang kemudian secara mengejutkan dikembalikan langsung oleh Direktur PT EBN, Nur Jatmiko, pada Kamis, 5 Juni 2025.
Pengembalian uang sebelum pemanggilan saksi utama dan penyitaan dokumen menjadi taktik hukum klasik dalam perkara korupsi. Tapi, Kejari Jambi tak terpancing lunak. Sikap tegas diambil. Pengembalian dana bukanlah tiket kebebasan.
"Ini bukan soal uang semata. Ini soal proses hukum, soal kepatuhan terhadap kontrak publik, dan soal bagaimana negara tidak bisa dibohongi dengan metode akrobat administratif,” ujar seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya.
Skema pengelolaan parkir Pasar Angsoduo sejak awal menuai kritik. Alih-alih memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD), justru memunculkan dugaan “keran bocor” di tingkat operator. Tidak adanya sistem digitalisasi parkir dan minimnya pengawasan real-time membuat potensi manipulasi pendapatan sangat besar.
Apalagi, rekonsiliasi data antara PT EBN dan Dinas Perhubungan Pemkot Jambi tidak pernah dilakukan secara berkala, membuka ruang abu-abu antara retribusi riil dan setoran fiktif.
Secara regulatif, pengelolaan retribusi parkir diatur dalam Perda dan Perwali. Kewajiban penyetorannya bersifat harus. Jika selama 10 bulan dana parkir tak masuk kas daerah, maka itu masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Uang titipan Rp 734 juta hanya menjadi bukti bahwa ada nominal yang diakui telah ‘hilang’ dari sistem, dan kini dikembalikan karena tekanan hukum, bukan karena kesadaran administratif. Kota Jambi tengah berbenah, tapi jika urusan retribusi parkir saja masih bisa dimanipulasi, apa jadinya sistem yang lain?
Add new comment