Polresta Jambi Tetapkan Tiga Tersangka Korupsi PDAM Tirta Mayang, Ini Perjalanan Kasusnya!

WIB
IST

Kasus dugaan korupsi di tubuh PDAM Tirta Mayang Kota Jambi resmi memasuki babak baru. Polresta Jambi akhirnya menetapkan tiga orang tersangka terkait pengadaan bahan kimia jenis Sucolite LA24HZ untuk operasional air bersih tahun 2021 hingga 2023. Ketiganya berinisial MK, HF, dan RW.

Kasatreskrim Polresta Jambi, Kompol Hendra Wijaya Manurung, membenarkan bahwa pihaknya telah menyerahkan berkas tahap pertama ke kejaksaan. “Prosesnya sudah Tahap I. Kita tunggu hasil penelitian jaksa,” ujarnya, Senin (28/7/2025).

Meski belum diungkap identitas lengkap, salah satu tersangka diduga merupakan pejabat internal PDAM. Informasi yang beredar menyebut inisial MK mengarah ke direktur teknik aktif, sedangkan RW diyakini representasi dari rekanan pengadaan.

Bagaimana perjalanan kasus ini?

Kronologi Kasus dan Konstruksi Hukum

Kasus dugaan korupsi di tubuh Perumda Air Minum Tirta Mayang (PDAM) Kota Jambi pertama kali mencuat sekitar pertengahan 2024. Bermula ketika aparat menerima pengaduan masyarakat mengenai indikasi penyelewengan anggaran dalam pengadaan barang dan jasa di PDAM tersebut.

Menindaklanjuti laporan LSM, Unit Tipikor Satreskrim Polresta Jambi membuka penyelidikan dan mulai memanggil sejumlah pihak terkait untuk klarifikasi pada Agustus 2024. Salah satu yang dipanggil kala itu adalah Direktur Administrasi dan Keuangan PDAM Tirta Mayang, meski yang bersangkutan sempat mangkir dengan alasan ada kesibukan. Penyidik juga meminta dokumen-dokumen terkait.

Penyelidikan polisi berfokus pada pengadaan bahan kimia jenis Sucolite LA24HZ untuk operasional PDAM selama tahun anggaran 2021 hingga 2023. Diduga terjadi penyelewengan anggaran dalam proyek pengadaan bahan kimia itu. Sehingga menimbulkan kerugian bagi keuangan PDAM atau daerah.

Usai melalui serangkaian pemeriksaan saksi dan analisis dokumen, kasus ini meningkat ke tahap penyidikan penuh sekitar awal 2025. Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Marhara Tua Siregar pada Oktober 2024 menyatakan pihaknya masih mengumpulkan fakta dan bukti, dan belum ada tersangka yang ditetapkan pada saat itu.

Ia juga mengonfirmasi proses klarifikasi telah melibatkan Direktur Utama PDAM, unit ULP (Unit Layanan Pengadaan) PDAM, dan pihak terkait lainnya.

Perkembangan signifikan terjadi di pertengahan 2025. Hari ini, Senin 28 Juli 2025, Polresta Jambi resmi mengumumkan penetapan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi di PDAM Tirta Mayang.

Kasat Reskrim Kompol Hendra Wijaya Manurung menyebut ketiga tersangka berinisial MK, HF, dan RW. Meski peran spesifik masing-masing belum diuraikan ke publik, mereka diduga kuat terlibat dalam penyimpangan proses pengadaan bahan kimia Sucolite LA24HZ periode 2021–2023 tersebut.

Tokoh-Tokoh yang Terlibat dan Perannya

Dalam kasus ini, terdapat beberapa figur kunci yang terlibat baik sebagai tersangka, saksi kunci, maupun pejabat yang turut terseret namanya. Tiga tersangka berinisial MK, HF, dan RW masing-masing diduga memiliki peran dalam pelaksanaan pengadaan bahan kimia di PDAM Tirta Mayang.

Pihak kepolisian belum membeberkan identitas lengkap mereka. Namun informasi yang beredar menyiratkan bahwa minimal satu di antaranya adalah pejabat internal PDAM. Misalnya, inisial MK diduga merujuk pada posisi Direktur di PDAM Tirta Mayang.

Beberapa jabatan direktur sebelumnya memang sudah diperiksa sebagai saksi. Mulai dari Direktur teknik hingga Direktur Administrasi dan Keuangan PDAM Tirta Mayang.

Selain tersangka dari kalangan internal, tak tertutup kemungkinan adanya aktor lain seperti pihak rekanan swasta yang terlibat sebagai penyedia barang. Pengadaan bahan kimia Sucolite LA24HZ tentu melibatkan pemasok atau kontraktor. Sehingga bila terdapat praktik mark-up harga atau pengadaan fiktif, perbuatan itu hampir pasti melibatkan pihak perusahaan penyedia.

Saat pengusutan berlangsung, penyidik telah memeriksa personel Unit Layanan Pengadaan (ULP) PDAM dan pihak terkait lainnya. Ini menunjukkan panitia pengadaan atau pejabat pembuat komitmen di PDAM turut diusut perannya, apakah sekadar saksi atau turut terlibat dalam modus korupsi.

Dewan Pengawas PDAM Tirta Mayang sebelumnya juga sempat menyuarakan kekhawatiran terhadap pengelolaan PDAM. Bahkan terungkap adanya surat resmi Dewan Pengawas (No. 01/Dewas-TM/III/2025 tertanggal 10 Maret 2025) yang ditujukan kepada Direktur Utama PDAM, diduga berisi teguran atau keprihatinan karena merasa “dikangkangi” atau tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan direksi.

Hal ini mengindikasikan Dewan Pengawas sebenarnya mengendus adanya hal yang tak beres atau setidaknya ketidaksesuaian prosedur di internal PDAM.

Rekam Jejak Permasalahan PDAM Tirta Mayang

Kasus korupsi di PDAM Tirta Mayang kali ini bukan yang pertama menimpa perusahaan daerah itu. Secara historis, PDAM Tirta Mayang pernah tersandung sejumlah masalah keuangan dan hukum. Bahkan, PDAM Jambi sempat mendapat predikat miring sebagai “penyumbang koruptor terbanyak” dalam organ pemerintahan Kota Jambi.

Ungkapan tajam ini merujuk pada sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat PDAM di masa lalu. Salah satu contohnya, pada 2013 mantan Direktur Keuangan PDAM Tirta Mayang bernama Masudi divonis 16 bulan penjara dan denda Rp 50 juta oleh Pengadilan Tipikor Jambi. Ia terbukti bersalah melakukan korupsi bersama-sama dengan mantan Direktur Utama (Agus Sunara) dan mantan Direktur Teknik (Yulianto) PDAM dalam penyalahgunaan anggaran perusahaan periode 2004-2009.

Modus kasus lama itu berupa pengeluaran anggaran tidak sesuai peruntukan, termasuk penyelewengan dana bantuan pendidikan serta pengelolaan dana representasi direksi yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Fakta ini menunjukkan secara kelembagaan PDAM Tirta Mayang pernah mengalami bobroknya tata kelola, di mana pimpinan tertingginya sendiri terlibat menggerogoti keuangan perusahaan.

Temuan audit dan pengawasan keuangan juga berulang kali menyoroti PDAM Tirta Mayang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan tahun 2009 dan Semester I 2010 menemukan sejumlah penyimpangan di PDAM, namun hingga Januari 2012 Pemerintah Kota Jambi belum menindaklanjuti temuan BPK tersebut.

Ini mencerminkan lambannya perbaikan atas rekomendasi audit di masa lalu, seolah ada pembiaran. Loncat ke tahun-tahun terkini, BPK RI kembali menyoroti potensi kebocoran pendapatan daerah yang terkait dengan PDAM.

Dalam audit tahun 2023, misalnya, diungkap bahwa keterlambatan PDAM Tirta Mayang menerapkan tarif retribusi baru (untuk layanan persampahan yang ditagih melalui rekening PDAM) sesuai perda 2020 membuat Pemkot Jambi berpotensi kehilangan pendapatan sekitar Rp1,9 miliar per tahun.

PDAM berdalih belum ada pembaruan perjanjian dengan Dinas terkait, namun BPK menilai hal itu sebagai kelemahan koordinasi yang merugikan daerah. Meski kasus ini bukan korupsi langsung, temuan itu menambah daftar panjang persoalan manajerial dan finansial di PDAM Tirta Mayang.

Selain masalah keuangan, PDAM Tirta Mayang juga menghadapi keluhan pelayanan dan kinerja operasional. Dewan Kota Jambi melalui Komisi II DPRD pernah menggelar hearing khusus pada September 2023 karena melihat “sejumlah permasalahan” di PDAM perlu segera diatasi.

Dalam forum itu, Ketua Komisi II Junedi Singarimbun menyoroti berbagai isu. Banyak pipa distribusi PDAM yang sudah tua (jenis JE, CB, PPC) belum diganti, tingkat kehilangan air (non-revenue water) tinggi, dan tekanan air tidak merata. Ada kawasan yang tekanan airnya terlalu tinggi di malam hari sehingga sering bocor.

Kondisi itu menunjukkan inefisiensi dan potensi kerugian teknis. Ironisnya, dalam hearing itu DPRD juga mempersoalkan gaya kepemimpinan Dirut PDAM Dwike Riantara yang dinilai terlalu sering bepergian ke luar negeri, termasuk kunjungan ke Amerika setelah baru pulang dari Jepang. Meski pihak PDAM menjelaskan bahwa kunjungan itu mendampingi Wali Kota dalam acara internasional tentang air bersih.

Frekuensi perjalanan dinas luar negeri pimpinan PDAM tetap mengundang kritik publik, mengingat masalah mendasar PDAM di rumah sendiri belum tertangani optimal. Keluhan masyarakat pun kerap muncul, mulai dari pasokan air sering terganggu hingga penanganan pengaduan yang lambat.

Ketua YLKI Jambi pernah menyesalkan rencana kenaikan tarif air PDAM karena mutu pelayanan dinilai belum sebanding. Bahkan YLKI sempat mengancam menggugat jika kenaikan tarif (sempat mencapai 100%) dilakukan tanpa perbaikan layanan.

Citra PDAM Tirta Mayang di mata publik dengan demikian kurang transparan dan akuntabel.

Secara kelembagaan internal, upaya perbaikan sebenarnya pernah dicanangkan. Ketika Wali Kota Jambi (saat itu Syarif Fasha) melantik direksi baru PDAM periode 2021-2026, ia berpesan agar manajemen segera berbenah menuju sistem kerja profesional dengan memperkuat akuntabilitas kinerja.

Fasha menegaskan Tirta Mayang “harus mewujudkan perusahaan berintegritas, bersih dan melayani”. Pesan itu menjadi penanda adanya harapan agar sejarah kelam korupsi tidak terulang. Direksi baru pun berjanji meningkatkan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan menerapkan teknologi untuk efisiensi (misal rencana sensor kebocoran pipa).

Namun, fakta penindakan hukum di 2024-2025 ini menunjukkan bahwa tantangan mewujudkan BUMD air minum yang bersih masih besar. Masalah warisan, mulai dari budaya internal hingga tekanan eksternal, tampaknya belum sepenuhnya teratasi dan terus menjadi rekam jejak yang membayangi PDAM Tirta Mayang.

Dugaan Keterlibatan Aktor Eksternal

Dalam mengurai kasus korupsi PDAM Tirta Mayang, penting menyoroti kemungkinan keterlibatan aktor-aktor eksternal di luar struktur perusahaan tersebut. Sebagai BUMD milik Pemerintah Kota, PDAM tak lepas dari pengaruh Pemkot Jambi selaku pemilik modal, DPRD selaku pengawas kebijakan, maupun pihak swasta yang menjadi mitra bisnis.

Dari sisi Pemerintah Kota (Pemkot), Wali Kota memiliki peran strategis dalam pembinaan PDAM. Wali Kota bertindak sebagai Kuasa Pemilik Modal yang mengangkat direksi dan menerima laporan pertanggungjawaban PDAM.

Pola hubungan Pemkot–PDAM membuka celah pengaruh. Misalnya, PDAM Tirta Mayang rutin menyetor dividen ke kas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Jambi, seperti pada 2024 ketika menyerahkan Rp 7,6 miliar dari laba 2023 kepada Pemkot.

Pemkot tentu berkepentingan PDAM sehat secara finansial. Namun di sisi lain Pemkot juga dapat menekan PDAM dalam kebijakan tarif dan pelayanan. Tekanan politis ini bisa berdampak ganda, demi popularitas, Pemkot mungkin menunda kenaikan tarif atau meminta proyek pelayanan tertentu, yang jika tidak diimbangi subsidi cukup dapat memicu improvisasi manajerial PDAM mencari pendapatan lain, terkadang melalui cara curang.

Selain itu, beberapa pejabat Pemkot sering duduk di Dewan Pengawas PDAM. Walau hal ini dimaksudkan untuk sinkronisasi kebijakan, tidak tertutup kemungkinan terjadinya konflik kepentingan. Jika oknum pengawas merangkap pejabat Pemkot bermain mata dengan direksi, pengawasan justru melemah.

Sebaliknya, jika pengawas berintegritas (seperti indikasi surat Dewan Pengawas Maret 2025 tadi), bisa jadi mereka diabaikan oleh direksi yang merasa lebih “berkuasa” secara operasional. Fenomena Dewan Pengawas “dikangkangi” direksi menunjukkan intervensi struktur di atasnya tidak berjalan semestinya.

Hal ini bisa terjadi apabila ada backing atau perlindungan politis terhadap direksi tertentu, sehingga nasehat pengawas diacuhkan. Dengan demikian, secara tidak langsung, aktor Pemkot turut berperan dalam terciptanya lingkungan yang memungkinkan korupsi apabila pengawasan dan akuntabilitas tidak ditegakkan secara tegas.

DPRD juga memiliki fungsi pengawasan atas kinerja BUMD, termasuk melalui rapat dengar pendapat (RDP) atau pansus jika diperlukan. Pada kasus Tirta Mayang, DPRD Komisi II telah menunjukkan kepeduliannya dengan memanggil direksi untuk hearing terkait berbagai masalah teknis dan manajerial.

Dalam forum itu, DPRD bahkan menyinggung perilaku Dirut PDAM yang sering keluar negeri, yang implisit mengkritik penggunaan anggaran perusahaan untuk hal yang belum tentu prioritas. DPRD juga menyetujui penyertaan modal daerah ke PDAM ataupun perubahan tarif melalui perda. Potensi keterlibatan oknum anggota dewan bisa saja terjadi, misalnya dalam penitipan proyek atau intervensi tender.

Sementara itu, pihak swasta hampir pasti terlibat karena objek perkara adalah pengadaan barang/jasa. Modus korupsi pengadaan umumnya melibatkan kontraktor atau vendor yang bekerja sama dengan oknum internal untuk mengatur spesifikasi, markup harga, atau membuat transaksi fiktif.

KAD Jambi menyoroti bahwa korupsi “bermula salah satunya dari pengadaan barang dan jasa” dan banyak kasus ditemui pengadaan fiktif yang merugikan keuangan negara. Dalam kasus Sucolite LA24HZ di PDAM, perusahaan pemasok bahan kimia tersebut patut dicurigai ikut berkolusi. Misalnya, bisa terjadi mark-up harga bahan kimia melebihi standar pasar dengan imbalan komisi kepada pejabat PDAM, atau pengadaan dalam jumlah tidak sesuai spesifikasi namun dibayar penuh (penggelembungan volume).

Pihak ketiga ini mungkin berperan memberikan gratifikasi atau kickback yang kemudian dinikmati para tersangka. Investigasi polisi tentu mendalami alur uang proyek, termasuk apakah ada aliran dana ke rekening pribadi pejabat atau ke kantong pihak luar.

Selain itu, tak tertutup kemungkinan aktor eksternal lain seperti makelar proyek atau oknum penjahit anggaran di lingkup Pemkot yang membantu meloloskan anggaran pengadaan tanpa banyak pertanyaan.

Wali Kota selaku pemilik juga harus konsisten mengawasi tanpa intervensi negatif. Seperti diingatkan oleh LSM, meruginya PDAM dalam bisnis air bersih sebenarnya tidak masuk akal jika dikelola jujur dan efisien.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.