7 Murid Silat Jadi Korban Seksual, Modus 'Latihan Pernapasan' Tengah Malam

WIB
IST

Sebuah padepokan silat, di Olak Kemang Kota Jambi, terungkap sebagai sarang predator seksual yang mengerikan. Dua orang guru silat, H (Husni) dan HE (Heri), kini meringkuk di balik jeruji besi Polresta Jambi. Mereka tega menodai 7 murid perempuannya—salah satunya hamil 8 bulan—.

Padepokan Silat itu bernama Delapan Penjuru Mata Angin (DPMA). Berdiri dan beroperasi selama kurang lebih dua tahun terakhir, padepokan ini berhasil memosisikan diri sebagai salah satu pusat kegiatan ekstrakurikuler yang diminati. Di tengah kekhawatiran orang tua akan pergaulan bebas remaja, kehadiran padepokan silat dianggap sebagai benteng moral dan fisik.

Namun, padepokan ini beroperasi dengan pengawasan yang minim. Lokasinya yang berada di kawasan Danau Teluk, sebuah area yang kental dengan nuansa adat dan agama di Jambi, justru menjadi "kamuflase sempurna" bagi para pelaku. Orang tua percaya penuh, menyerahkan anak-anak gadis mereka untuk dididik, tanpa menyadari bahwa mereka sedang mengantar anak-anak tersebut masuk ke dalam perangkap.

Pelaku utama dalam kasus ini adalah Husni (H), pria berusia 38 tahun yang menjabat sebagai pemilik sekaligus Guru Besar di padepokan itu. Dalam struktur perguruan silat, posisi "Guru Besar" menempatkan Husni layaknya raja kecil. Titahnya adalah hukum, dan ajarannya dianggap kebenaran mutlak.

Husni tak bekerja sendiri. Ia membangun sebuah ekosistem kejahatan yang melibatkan hierarki di dalam padepokan.

Daftar Terduga Pelaku dan Status Hukum

InisialPeranStatus TerkiniKeterangan
H (Husni)Guru Besar / PemilikDITAHANOtak utama, pelaku pemerkosaan hingga korban hamil.
HE (Heri)Guru Silat / RekanDITAHANTurut serta melakukan pencabulan.
NSenior PadepokanBURON (DPO)Diduga terlibat membantu atau melakukan pelecehan.
ISenior PadepokanBURON (DPO)Masih dalam pengejaran tim buser.

Salah satu temuan paling mencengangkan dari penyidikan Unit PPA Polresta Jambi adalah modus operandi yang digunakan para pelaku. Husni dan komplotannya merancang skenario "Latihan Pernapasan" yang wajib diikuti oleh murid-murid terpilih.

Latihan ini tidak dilakukan di jam wajar. Para korban diminta datang atau tetap berada di padepokan hingga larut malam. Pemilihan waktu tengah malam ini memiliki dua fungsi strategis bagi pelaku. yakni memisahkan korban dari pengawasan orang tua dan masyarakat umum.

Kondisi fisik yang lelah dan mengantuk membuat korban lebih mudah disugesti dan dimanipulasi. Lokasi eksekusi kejahatan ini adalah lapangan terbuka di sekitar padepokan yang kondisinya gelap gulita. Kegelapan ini bukan kebetulan, melainkan setting yang disengaja.

Dalam instruksinya, Husni memerintahkan para murid perempuan untuk berbaring di atas tanah. Memejamkan mata. Berkonsentrasi penuh untuk "menerima ilmu" atau membuka aura tenaga dalam.

Di sinilah tipu daya terjadi. Dengan dalih memperbaiki posisi tubuh, menyalurkan tenaga dalam, atau mengecek pernapasan, pelaku mulai melakukan kontak fisik. Karena mata korban tertutup dan mereka didoktrin untuk patuh mutlak agar "ilmu"-nya masuk, korban tidak berani melawan saat sentuhan tersebut berubah menjadi gerilya tangan-tangan jahat yang meraba area sensitif, hingga berujung pada persetubuhan.

"Modus pelaku menggunakan latihan pernapasan malam hari di area gelap. Murid diperintahkan memejamkan mata, dan di situlah aksi terjadi," Kasi Humas Polresta Jambi, Ipda Deddy Haryadi.

Mengapa korban diam saja? Ini adalah pertanyaan yang sering muncul di benak publik. Jawabannya terletak pada Manipulasi Psikologis. Dalam budaya bela diri, ketidakpatuhan pada guru dianggap tabu besar dan bisa berakibat "kualat" atau ilmunya menjadi tumpul. Husni memanfaatkan ketakutan irasional ini. Korban yang masih remaja (13-16 tahun) tidak memiliki kuasa untuk menolak perintah "Sang Guru", apalagi ketika dibalut dengan narasi mistis spiritual.

Hingga saat ini, polisi mencatat ada 7 orang korban yang telah teridentifikasi. Mereka semua adalah murid perempuan di padepokan tersebut dengan rentang usia remaja. 2 Orang mengalami rudapaksa (persetubuhan) berulang kali. 5 Orang mengalami pencabulan (pelecehan seksual fisik).

  1. IZ (16 tahun): Korban paling tragis yang kini hamil 8 bulan. Siswi kelas XI SMA.
  2. Adik Kandung IZ: Ternyata, adik dari IZ juga turut menjadi korban pencabulan di padepokan yang sama. Fakta ini menambah keperihan keluarga korban.
  3. Anak Saksi P (14 tahun): Korban lain yang baru berani bersuara setelah kasus ini mencuat.
  4. 4 Korban Lainnya: Identitas dirahasiakan demi perlindungan psikologis, namun mereka semua masih di bawah umur.

Kasus ini mungkin akan tertutup selamanya rapat-rapat jika bukan karena perubahan fisik pada tubuh IZ. Keluarga IZ mulai curiga melihat perubahan bentuk tubuh putrinya yang semakin membesar di bagian perut. Selain itu, perilaku IZ yang mungkin menjadi lebih pendiam atau cemas juga menjadi pertanda.

Setelah didesak, IZ akhirnya mengaku bahwa ia telah disetubuhi oleh gurunya, Husni, berulang kali dengan modus latihan malam.

Pemeriksaan menunjukkan IZ telah hamil dengan usia kandungan 8 bulan. Ini artinya, aksi bejat tersebut telah berlangsung cukup lama tanpa terdeteksi. Kehamilan tua ini menjadi bukti tak terbantahkan (corpus delicti).

Terungkapnya kondisi IZ memicu efek domino. Korban-korban lain, termasuk adiknya dan anak saksi P, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, menyingkap tabir bahwa padepokan tersebut adalah sarang predator sistematis.

Di tengah perjuangan IZ menghadapi trauma dan kehamilan yang tidak diinginkan, sebuah hantaman keras kembali ia terima. Bukan dari pelaku, melainkan dari tempatnya menuntut ilmu. Pihak sekolah tempat IZ bersekolah (sebuah SMA di Jambi) mengambil keputusan sepihak yang kontroversial. Mengeluarkan IZ dari sekolah.

Berdasarkan laporan, IZ "diminta mengundurkan diri" segera setelah pihak sekolah mengetahui kondisinya yang hamil. Narasi "mengundurkan diri" seringkali digunakan sekolah untuk memperhalus tindakan pengusiran (expulsion) agar nama baik sekolah tidak tercemar oleh siswi yang hamil.

Begitu laporan masuk dari orang tua korban, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Jambi langsung bergerak cepat. Mengingat potensi pelaku melarikan diri dan menghilangkan barang bukti, penangkapan segera dilakukan.

Husni (H) dan Heri (HE) berhasil diringkus dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditahan di sel Mapolresta Jambi.

Pelaku dijerat dengan Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya sangat berat, yakni penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, ditambah 1/3 masa hukuman karena pelaku adalah tenaga pendidik/pengasuh, sehingga bisa mencapai 20 tahun penjara atau bahkan hukuman kebiri kimia.

Kasi Humas Polresta Jambi, Ipda Deddy Haryadi, menegaskan bahwa kasus ini belum selesai.

"Dua pelaku sudah diamankan, pelaku lain masih dalam penyelidikan," ujarnya.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network